Keputusan Jaksa Tak Ajukan Kasasi Perkara Pinangki Diduga untuk Lindungi Pihak Lain
Tak dilakukannya upaya kasasi oleh jaksa terhadap putusan banding Pinangki dinilai sebagai kebijakan kejaksaan. Dari rangkaian pelarian Joko Tjandra, tampak adanya peran pihak lain yang lebih berkuasa daripada Pinangki.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tidak dijalankannya upaya hukum kasasi terhadap putusan banding bekas jaksa Pinangki Sirna Malasari dinilai bukan semata pertimbangan jaksa, melainkan keinginan kejaksaan selaku institusi. Dengan demikian, pihak-pihak lain yang diduga turut terlibat dalam pelarian buron kasus pengalihan piutang (cessie) Bank Bali, Joko Soegiarto Tjandra, menjadi tidak tersentuh.
Pernyataan untuk tidak melakukan upaya hukum kasasi disampaikan Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat Riono Budisantoso pada Senin (5/7/2021), hari terakhir mengajukan kasasi. Dengan demikian, putusan banding berupa pengurangan hukuman dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara bagi Pinangki menjadi berkekuatan hukum tetap.
Saat ditanya mengenai keputusan jaksa penuntut umum yang tidak melakukan upaya hukum kasasi, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak hanya meminta untuk langsung ditanyakan kepada Kejari Jakspus.
Apakah mungkin seorang Pinangki bisa mengatur agar terpidana buron Joko Tjandra ini tidak dieksekusi. Tidak mungkin. Pasti membutuhkan orang dengan kekuasaan yang jauh lebih besar. Sebetulnya ini tugas kejaksaan untuk mengungkap kasus ini demi mendapat kepercayaan publik. Tapi, yang terjadi sebaliknya.
Di pengadilan tingkat pertama, Pinangki divonis bersalah membantu Joko Tjandra untuk pengurusan fatwa bebas Mahkamah Agung. Ia dijatuhi hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 600 juta oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta. Setelah mengajukan banding, Pinangki memperoleh keringanan hukuman dari majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta sehingga hukumannya dipotong menjadi empat tahun penjara.
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda, ketika dihubungi pada Rabu (7/7/2021) berpandangan, tidak dilakukannya upaya hukum kasasi oleh jaksa terhadap putusan banding Pinangki merupakan kebijakan kejaksaan terhadap perkara tersebut. Sebab, dari rangkaian peristiwa pelarian Joko Tjandra, tampak adanya peran pihak lain yang lebih berkuasa dan berpengaruh daripada Pinangki.
Menurut Chairul, pihak tersebut kemungkinan tidak hanya berasal dari institusi kejaksaan, tetapi juga institusi lain, termasuk Mahkamah Agung. Tuntutan 4 tahun penjara oleh jaksa penuntut umum dan putusan banding berupa pengurangan hukuman menjadi 4 tahun oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperlihatkan bahwa kedua institusi ingin Pinangki divonis ringan.
”Apakah mungkin seorang Pinangki bisa mengatur agar terpidana buron Joko Tjandra ini tidak dieksekusi. Tidak mungkin. Pasti membutuhkan orang dengan kekuasaan yang jauh lebih besar. Sebetulnya ini tugas kejaksaan untuk mengungkap kasus ini demi mendapat kepercayaan publik. Tapi, yang terjadi sebaliknya,” tutur Chairul.
Menurut Chairul, desakan publik agar jaksa melakukan upaya hukum kasasi karena publik menangkap adanya peran pihak lain yang hingga saat ini belum terungkap. Meski demikian, pertimbangan dalam putusan banding justru memperlihatkan bahwa selain kejaksaan, MA pun dianggap juga ingin agar kasus tersebut berhenti di Pinangki.
Majelis hakim tingkat banding menimbang bahwa pidana penjara yang dijatuhkan terhadap Pinangki terlalu berat dan terdakwa telah dipecat dari profesinya sebagai jaksa. Selain itu, majelis hakim juga menimbang bahwa Pinangki adalah ibu dari seorang balita.
”Pertimbangan pengadilan tinggi itu bukan pertimbangan terhadap perkara, melainkan terhadap diri terdakwa. Jadi, ini pertimbangan yang dicari-cari dan diada-adakan untuk memenuhi kesepakatan antara kejaksaan dan MA untuk menyelesaikan perkara ini cukup di Pinangki,” kata Chairul.
Alasan kejaksaan bahwa putusan banding telah sesuai dengan tuntutan jaksa secara normatif dapat diterima. Namun, menurut Chairul, kesan yang ditangkap adalah upaya untuk menutup kasus tersebut.
Kalau sekarang Kejaksaan Agung melemparkan kasus ini ke Kejari Jakpus, itu artinya memang lempar tanggung jawab dan ini tidak etis.
Secara terpisah, Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia Boyamin Saiman berpandangan, kasus pengurusan fatwa bebas MA dengan terdakwa Pinangki ditangani Kejaksaan Agung sedari awal, mulai dari penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan. Sementara fungsi Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat adalah fungsi administratif.
Oleh karena itu, menurut Boyamin, menyerahkan urusan perkara itu kepada Kejari Jakpus justru memperlihatkan Kejagung yang ingin melemparkan tanggung jawab. ”Kalau sekarang Kejaksaan Agung melemparkan kasus ini ke Kejari Jakpus, itu artinya memang lempar tanggung jawab dan ini tidak etis. Mestinya Kejagung tegas saja menyatakan bahwa jaksa memang tidak kasasi dan memerintahkan Kejari Jakpus untuk tidak kasasi,” kata Boyamin.
Menurut Boyamin, keputusan untuk tidak melakukan upaya hukum kasasi tersebut semakin memperlihatkan sikap tertutup dan kesan ada hal yang disembunyikan. Selain itu, kejaksaan juga dinilai tidak profesional karena menerima begitu saja putusan banding yang mengurangi hukuman dari 10 tahun menjadi 4 tahun.
Berkaca pada kasus lain, pada kasus suap jaksa urip Tri Gunawan, Urip dituntut 15 tahun penjara dan divonis 20 tahun penjara pada pengadilan tingkat pertama yang dikuatkan di tingkat banding.
”Dalam kasus Pinangki ini, banyak hal yang tampak tidak profesional, seperti tuntutan yang hanya 4 tahun. Sepertinya ada banyak hal yang hendak dilindungi,” ujar Boyamin.