Jaksa Terima Potongan Hukuman Pinangki, Pengamat: Mafia Hukum Bisa Merajalela
Keputusan jaksa yang tak akan mengajukan kasasi atas putusan Pinangki Sirna Malasari dinilai sebagai kemunduran dalam pemberantasan korupsi. Keputusan bisa membuat mafia hukum merajalela. Selain itu, mengecewakan publik.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar/SUSANA RITA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jaksa penuntut umum memutuskan untuk tidak mengajukan kasasi terhadap putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta atas terdakwa bekas jaksa Pinangki Sirna Malasari. Alasannya, tuntutan jaksa penuntut umum telah dipenuhi di dalam putusan tersebut.
Seperti diketahui, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta memvonis Pinangki hukuman pidana 10 tahun penjara dan denda Rp 600 juta subsider 6 bulan dalam kasus pengurusan fatwa bebas Mahkamah Agung untuk terpidana kasus Bank Bali, Joko Tjandra. Putusan tersebut lebih tinggi dari tuntutan jaksa, yakni pidana penjara 4 tahun dan denda Rp 500 juta. Namun, majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengabulkan permohonan banding Pinangki dan memangkas hukuman Pinangki dari 10 tahun penjara menjadi empat tahun penjara atau sesuai dengan tuntutan jaksa sebelumnya.
Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat Riono Budisantoso, ketika dihubungi, Senin (5/7/2021), mengatakan, jaksa penuntut umum tidak mengajukan permohonan kasasi atas putusan banding Pinangki karena jaksa penuntut umum dalam kasus itu berpandangan bahwa tuntutan jaksa telah dipenuhi di dalam putusan pengadilan tinggi.
”Jaksa penuntut umum berpandangan bahwa tuntutan JPU (jaksa penuntut umum) telah dipenuhi dalam putusan pengadilan tinggi. Selain itu, tidak terdapat alasan untuk mengajukan permohonan kasasi sebagaimana ketentuan di dalam Pasal 253 Ayat (1) KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,” tutur Riono.
Atas keputusan dari jaksa penuntut umum, pengajar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Jakarta, Abdul Fickar Hadjar, dapat memahaminya. Pasalnya, melalui putusan banding tersebut, target tuntutan jaksa telah tercapai.
Meski demikian, seharusnya jaksa penuntut umum juga melakukan pendekatan sosiologis berupa rasa keadilan yang hidup di masyarakat. Dengan pengurangan hukuman terhadap Pinangki dari 10 tahun menjadi 4 tahun, mestinya ada kewajiban moral dan kewajiban hukum bagi jaksa penuntut umum untuk melakukan kasasi. Terlebih, perbedaan hukuman di tingkat pertama dengan kedua tampak begitu mencolok.
”Dengan tidak kasasi itu, kan, menjadi indikator bahwa perkara ini memang ingin diakhiri saja. Jadi semangatnya itu semangat menutup, bukan mengembangkan kasus. Padahal, semangat memberantas kejahatan khususnya korupsi itu seharusnya semangat untuk mengembangkan dan membuka siapa yang ada di balik kasus,” tutur Fickar.
Menurut Fickar, majelis hakim di pengadilan tingkat pertama sebetulnya telah menangkap adanya indikasi keterlibatan pihak lain yang hingga kini belum tersentuh. Hal itu kemudian dituangkan dalam vonis kepada Pinangki yang jauh lebih tinggi dari tuntutan jaksa. Namun, pengadilan tinggi yang seharusnya turut menangkap rasa keadilan masyarakat malah mengurangi putusan bagi Pinangki.
Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia Boyamin Saiman pun menilai keliru pertimbangan jaksa yang memutuskan tidak mengajukan kasasi.
Menurut dia, ketika jaksa mengajukan memori banding putusan Pinangki tidak semata untuk mengimbangi banding yang diajukan terdakwa, melainkan di dalamnya juga mencakup persetujuan jaksa terhadap putusan 10 tahun penjara bagi Pinangki.
Di sisi lain, putusan empat tahun tersebut mengakibatkan adanya disparitas hukuman di antara para terdakwa dalam kasus pengurusan fatwa bebas MA bagi Joko Tjandra. Pada kasus itu, Andi Irfan Jaya divonis 6 tahun penjara dan Joko S Tjandra divonis 4 tahun 6 bulan penjara.
”Padahal, Pinangki yang seharusnya dihukum dengan hukuman tertinggi. Jadi di sini jaksa menutup diri terhadap rasa keadilan,” kata Boyamin.
Alasan jaksa penuntut umum tidak mengajukan permohonan kasasi sebagaimana ketentuan di dalam Pasal 253 Ayat (1) KUHAP juga dinilai tidak tepat. Sebab, yang berwenang menilai kasasi memenuhi tiga syarat sebagaimana tertulis dalam pasal tersebut adalah MA, bukan jaksa penuntut umum. Demikian pula soal dikabulkan atau tidak merupakan wewenang MA.
Peneliti Pusat Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (Pukat FH UGM) Zainur Rohman juga turut mengkritisi keputusan jaksa penuntut umum. Keputusan tersebut dinilai sebagai sebuah kemunduran yang signifikan di dalam pemberantasan korupsi. Hal tersebut dinilai bakal membuat efek jera semakin hilang, pejabat dan aparat penegak hukum tidak lagi khawatir akan risiko melakukan korupsi karena pidananya sangat rendah.
Dikhawatirkan, hal tersebut akan membuat mafia hukum di negeri ini bakal lebih merajalela. ”Mafia hukum akan merajalela karena ternyata risikonya lebih kecil daripada potensi keuntungan yang didapat dengan memperjualbelikan hukum. (Hukuman) 4 tahun ini juga nanti dapat remisi (potongan hukuman karena berkelakuan baik di penjara). Paling hanya menjalani dua pertiganya saja,” ujar Zainur.
Ia juga mempertanyakan sikap jaksa yang dianggapnya mengecewakan publik. Menurut dia, problemnya bukanlah putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memotong hukuman Pinangki dari 10 tahun menjadi 4 tahun itu sudah sesuai dengan tuntutan jaksa. Jaksa seharusnya menilai putusan tingkat banding itu dibandingkan dengan putusan pengadilan tingkat pertama. Apabila putusan banding kurang dari dua pertiga putusan tingkat pertama, jaksa harus kasasi. Begitu pula jika putusan tingkat pertama kurang dari dua pertiga tuntutan, jaksa harus banding.
”Dengan tidak mengajukan kasasi, menurut saya, ini menunjukkan tidak adanya itikad baik dari kejaksaan untuk membongkar kasus ini secara lengkap. Keseriusan kejaksaan terhadap kasus ini juga dipertanyakan karena kasus ini menyangkut korps mereka sendiri,” ungkapnya.
Publik, tambahnya, sebenarnya bertanya-tanya apakah hanya Pinangki semata yang terlibat di dalam kasus pelarian Joko Tjandra. ”Pinangki hanya eselon II, kewenangannya juga sangat kecil. Jabatannya juga tidak strategis. Apa benar hanya Pinangki seorang diri?” tanyanya.
Dibandingkan dengan penanganan kasus dugaan suap jaksa Urip Tri Gunawan yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, hukuman untuk Pinangki sangat ringan.
Jaksa Urip dihukum 20 tahun penjara oleh pengadilan tingkat pertama saat menerima suap dari pengusaha Artalyta Suryani. Dalam kasus Pinangki, hukum sebenarnya memberi alternatif penggunaan Pasal 12 Huruf a UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyediakan hukuman hingga seumur hidup.