16 Bulan Pandemi, Model Realisasi Belanja Pemda Tak Berubah
Data realisasi pendapatan dan belanja hingga 15 Juli 2020 menunjukkan serapan belanja jauh di bawah realisasi pendapatan. Situasi serapan anggaran ini cenderung sama dengan tahun-tahun sebelum pandemi Covid-19.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Memasuki bulan ke-16 pandemi Covid-19, model realisasi belanja di mayoritas pemerintah daerah di Indonesia tak berubah dibandingkan kondisi normal. Serapan anggaran sejak awal hingga pertengahan tahun masih rendah. Padahal, situasi saat ini memerlukan terobosan dan inovasi dalam membelanjakan keuangan daerah guna mengatasi dampak pandemi, terutama bagi pekerja harian dan tenaga kesehatan.
Situasi tersebut tecermin dalam laporan data realisasi penyerapan anggaran pemerintah daerah yang dihimpun Kementerian Dalam Negeri. Data realisasi pendapatan dan belanja hingga 15 Juli 2020 menunjukkan, serapan belanja jauh di bawah realisasi pendapatan. Situasi serapan anggaran ini cenderung sama dengan tahun-tahun sebelum pandemi Covid-19.
Memasuki pertengahan bulan ke-7 tahun anggaran 2021, realisasi pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) provinsi serta kabupaten/kota mencapai Rp 488,87 triliun atau 48,21 persen, tetapi realisasi belanja baru Rp 410,06 triliun atau 33,08 persen.
Provinsi DI Yogyakarta menjadi daerah dengan realisasi pendapatan tertinggi, yakni 59,11 persen, tetapi realisasi belanjanya baru 37,56 persen. Artinya, ada 21,55 persen anggaran yang belum diserap atau dibelanjakan. Berbeda halnya dengan Provinsi Lampung yang selisih antara pendapatan (49,97 persen) dan belanja (47,52 persen) hanya 2,45 persen.
”Antara realisasi pendapatan dan belanja seharusnya bisa berimbang, kalaupun ada selisih jangan terlalu jauh,” kata Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri Mochamad Ardian saat konverensi pers secara virtual, Senin (19/7/2021).
Di masa pandemi, menurut Ardian, rutinitas pemda dalam membelanjakan anggaran harus diubah. Model realisasi belanja yang melandai sejak awal tahun dan baru menanjak di akhir tahun harus diubah. Belanja perlu segera dimaksimalkan, terutama anggaran untuk penanganan dampak pandemi Covid-19.
”Budaya (belanja di akhir tahun) yang sudah menjadi rutinitas tiap tahun harus diubah,” ujarnya.
Dalam anggaran penanganan dampak pandemi, total anggaran seluruh provinsi dan kabupaten/kota mencapai Rp 54,64 triliun. Anggaran itu dibagi jadi tiga bagian, yakni bidang kesehatan (Rp 39,07 triliun), penyediaan jaring pengaman sosial (Rp 6,46 triliun), dan bidang ekonomi (Rp 9,11 triliun). Namun, hingga jalan ke bulan ke-7, realisasi belanja daerah hanya 22,13 persen atau Rp 12,09 triliun.
Untuk insentif tenaga kesehatan yang berasal dari refocusing dana bagi hasil atau dana alokasi umum sebesar 8 persen, realisasinya telah meningkat dalam satu pekan terakhir. Adapun realisasi pada 9 Juli sebanyak 13 persen dan meningkat menjadi 23,66 persen pada 17 Juli.
Menurut Ardian, rendahnya serapan anggaran pemda di masa pandemi salah satunya disebabkan kurangnya koordinasi antara Badan Keuangan Daerah, dinas kesehatan, serta rumah sakit atau fasilitas kesehatan. Hal itu membuat serapan anggaran, terutama untuk penanganan dampak pandemi di bidang kesehatan, masih rendah.
”Kemendagri telah menegur 19 gubernur dan 410 bupati/wali kota yang realisasi insentif untuk tenaga kesehatan di bawah 25 persen, seharusnya realisasi hingga Juli sudah di atas 50 persen,” katanya.
Sementara itu, untuk dana bantuan sosial yang dianggarkan dalam APBD, realisasinya baru 29,13 persen. Padahal, anggaran bansos yang dialokasikan mencapai Rp 15,08 triliun, tetapi baru diserap Rp 4,39 triliun.
Oleh sebab itu, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian telah menerbitkan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyediaan dan Percepatan Penyaluran Bansos yang Bersumber dari APBD.
Pemda diharapkan segera mencairkan anggaran bansos dengan melibatkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan agar prosesnya bisa cepat. Percepatan penyaluran bansos menjadi penting di kala masa pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat yang membatasi pergerakan warga.
”Bansos untuk menjamin masyarakat rentan saat PPKM darurat, terutama pekerja yang bergantung dengan upah harian,” ucap Ardian.
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Bambang Soesatyo mengatakan, pemda harus berkomitmen merealisasikan anggaran untuk penanganan Covid-19 secara maksimal, seperti untuk insentif tenaga kesehatan, alat kesehatan, infrastruktur, sarana, dan prasarana rumah sakit. Jika pemda menemui hambatan, hal itu perlu segera disampaikan kepada pemerintah pusat agar mendapatan solusi.
”Selain memberikan teguran, pemerintah pusat juga perlu turun tangan langsung memberikan arahan dan bantuan kepada daerah yang masih kesulitan merealisasikan anggaran penanganan Covid-19,” katanya.
Terkait insentif untuk tenaga kesehatan, Bambang meminta pemda bergerak cepat mencairkan anggaran tersebut. Jangan sampai kendala teknis peraturan dan birokrasi menyebabkan pencairan insentif untuk tenaga kesehatan tertunda.
”Jangan ada satu pun pihak yang berani memotong insentif untuk tenaga kesehatan. Karenanya, perlu pengawasan dari semua pihak agar tidak terjadi pemotongan. Jika terbukti ada yang melakukan pemotongan tanpa dasar hukum, harus mendapatkan ganjaran hukum yang setimpal,” tuturnya.