Serapan Belanja Pemerintah Daerah Masih di Bawah Target
Anggaran pemerintah, termasuk APBD, menjadi sandaran untuk menggerakkan perekonomian masyarakat di tengah berbagai kesulitan akibat pandemi Covid-19. Namun, kenyatannya realisasi anggaran pemda masih relatif rendah.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hingga tujuh bulan pertama tahun 2021, serapan anggaran pendapatan dan belanja daerah atau APBD masih rendah, bahkan di bawah target yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah didorong untuk segera membelanjakan untuk kebutuhan yang bersifat strategis, seperti membayar insentif tenaga kesehatan dan memberikan bantuan sosial untuk mendukung pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM darurat.
Data Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri menunjukkan, hingga 9 Juli 2021, realisasi APBD provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia baru sebesar 30,15 persen. Jumlah tersebut lebih rendah daripada realisasi anggaran pada 31 Juli tahun 2020 yang mencapai 37,62 persen. Tak hanya itu, serapan APBD tahun ini juga masih di bawah target yang ditetapkan pemerintah pusat, yakni minimal 40 persen pada akhir Juni.
Dari 34 provinsi yang ada, Lampung menjadi provinsi dengan realisasi anggaran belanja tertinggi, yakni mencapai 49,97 persen. Sementara provinsi dengan serapan anggaran terendah adalah Papua Barat, yakni 23,62 persen. Sementara Kabupaten Cianjur di Provinsi Jawa Barat menjadi kabupaten dengan realisasi anggaran belanja tertinggi, yakni sebesar 44,87 persen, dan terendah Mamberamo Tengah, Papua, dengan 6,36 persen.
Kami pahami betul itu. Jangan sampai nanti mereka paksa belanja tinggi ternyata ke depan ada beban belanja yang menjadi tanggung jawab mereka akibat dampak Covid-19 yang besar. Uangnya tidak ada. Nah, itu yang dikhawatirkan. (Dirjen Bina Keuangan Daerah Kemdagri Mochamad Ardian)
Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri Mochamad Ardian mengakui, serapan APBD pemerintah daerah pada tahun ini lebih rendah dibandingkan dengan tahun lalu. Hal itu karena daerah sangat bergantung pada dana transfer.
Menurut Ardian, salah satu faktor rendahnya serapan anggaran adalah karena pemda berhati-hati dalam belanja. ”Kami pahami betul itu. Jangan sampai nanti mereka paksa belanja tinggi ternyata ke depan ada beban belanja yang menjadi tanggung jawab mereka akibat dampak Covid-19 yang besar. Uangnya tidak ada. Nah, itu yang dikhawatirkan,” kata Ardian saat dihubungi di Jakarta, Kamis (15/7/2021).
Ia menjelaskan, kebijakan transfer ini sangat bergantung pada kondisi keuangan pemerintah pusat. Karena itu, pemda biasanya menyisakan maksimal 10 persen untuk cadangan. Namun, biasanya menjelang akhir tahun, tepatnya mulai Oktober pemda akan mempercepat belanja.
Untuk mencapai target yang ditetapkan pemerintah pusat, Kemendagri mendorong pemda membelanjakan anggaran, terutama untuk kebutuhan yang sifatnya strategis. Salah satu kebutuhan yang dianggap strategis adalah insentif tenaga kesehatan. Pemda diminta untuk segera membayarkan insentif yang merupakan hak para tenaga kesehatan karena mereka sudah melaksanakan kewajiban.
Selain itu, Kemendagri juga mendorong percepatan pemberian bantuan sosial untuk mendukung pelaksanaan PPKM darurat. Bantuan sosial tersebut dapat diberikan kepada masyarakat, khususnya mereka yang bergantung pada upah harian. Sebab, merekalah yang diyakini paling terdampak PPKM darurat karena mobilitas dan waktunya dibatasi.
Ardian menegaskan, pemda harus responsif mencegah dampak risiko sosial pada masyarakat.
Menjadi sandaran
Secara terpisah, anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, mengatakan, di tengah pandemi Covid-19, APBD dan APBN memang menjadi sandaran. Sebab, selama pandemi, konsumsi turun akibat banyaknya masyarakat yang pendapatannya turun atau bahkan kehilangan penghasilan. Padahal, pertumbuhan ekonomi sangat bergantung pada konsumsi masyarakat. Dengan demikian, belanja pemerintah menjadi satu-satunya harapan untuk mendongkrak konsumsi masyarakat.
Endi menjelaskan, sebenarnya sejak awal pandemi pada Maret 2020, pemerintah, baik pusat maupun daerah, sudah melakukan realokasi dan refocusing anggaran untuk penanggulangan Covid-19. Tiga sektor dikuatkan, yakni sistem kesehatan, perlindungan sosial, dan dampak ekonomi akibat Covid-19.
Namun, kenyataannya, pemda belum sepenuhnya membelanjakan anggaran. Menurut Endi, setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan pemda belum membelanjakan APBD secara penuh, yakni politik, hukum, dan teknis. Faktor politik menyangkut komitmen kepala daerah dalam menangani permasalahan Covid-19 dan relasinya dengan DPRD. Masalah hukum terjadi karena kerangkanya yang masih belum jelas. Adapun masalah teknis terjadi karena birokrasi belum terbiasa dengan bekerja dari rumah.
Ia mengungkapkan, masalah utama dalam menajemen fiskal, yakni alokasi yang lebih menitikberatkan pada belanja birokrasi daripada belanja modal atau publik. Selain itu, daya serap yang tiap tahun mengalami masalah sama dan kualitas pelaporan yang belum baik karena korupsi.
Endi menegaskan, permasalahan tersebut membuat proyek pemda dengan PPKM berskala mikro dan darurat menjadi tersendat. Karena itu, keberanian dari kepala daerah untuk melakukan terobosan menjadi sangat penting.
Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center Roy Salam mengatakan, persoalan rendahnya serapan APBD terjadi karena perencanaan yang bermasalah. Selain itu, pengawasan oleh DPRD juga masih rendah serta pembinaan dari Kemendagri dan Kementerian Keuangan dinilai kurang.
DRPD gagal menjalankan pengawasan kebijakan keuangan daerah. (Roy Salam)
Ia mengungkapkan, program yang dibuat oleh pemda umumnya tanpa disertai perencanaan yang lengkap. Akibatnya, ketika anggaran tersebut turun, rencana belanja sulit dilaksanakan karena pemda belum memiliki kerangka acuan kerja. Alhasil, anggaran tersebut justru hanya disimpan di bank.
Roy juga melihat sistem pengelolaan APBD, khususnya pengawasan di daerah, tidak maksimal. Hal itu terjadi karena peran DPRD tidak optimal. ”DPRD ini harus direformasi. DRPD gagal menjalankan pengawasan kebijakan keuangan daerah,” ujarnya.
Di sisi lain, menurut Roy, pengawasan dan pendampingan dari pemerintah pusat, dalam hal ini Kemendagri dan Kemenkeu, juga kurang. Seharusnya, Kemendagri dan Kemenkeu membuat saluran komunikasi untuk mengimplementasikan dana transfer ke daerah. Namun, kenyataannya, instrumen untuk memberikan penghargaan dan hukuman yang dibuat pemerintah pusat belum efektif diimplementasikan.
Roy menyesalkan rendahnya belanja pemda karena seharusnya serapan APBD di masa pandemi Covid-19 lebih tinggi dari kondisi normal. Menurut Roy, salah satu usaha yang dapat dilakukan pemda, yakni menggunakan APBD dalam membantu usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), untuk membangun sistem pemasaran.