Perubahan skema bansos dari bantuan berupa kebutuhan pokok menjadi bantuan sosial tunai tak menutup celah korupsi. Yang utama, semua tergantung pada kualitas data penerima bansos.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyaluran kembali bantuan sosial atau bansos di tengah pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM darurat harus didukung data penerima bansos yang mutakhir. Selain itu, pengawasan yang ketat oleh aparat penegak hukum dan warga juga perlu ditingkatkan. Ini demi mencegah berulangnya kasus korupsi bansos.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Sjafrina dalam diskusi bertajuk ”PPKM Darurat: Jangan Ada Babak Baru Korupsi Bansos”, Selasa (6/7/2021), mengatakan, di PPKM darurat ini, Kementerian Sosial mengubah skema bansos dari bantuan berupa sembako (sembilan bahan pokok) menjadi bantuan sosial tunai (BST). Ini bertujuan untuk menutup celah korupsi.
Namun, menurut Almas, perubahan skema ini tidak serta merta menghilangkan potensi penyalahgunaan bansos. Sebab, yang utama, semua tergantung pada kualitas data penerima bansos. ”Pemberian bansos tunai dan bantuan usaha rentan disalurkan tidak tepat sasaran, terlebih lagi terdapat persoalan pemutakhiran data dan penerima ganda,” ujar Almas.
Acara yang diinsiasi oleh ICW ini dihadiri juga oleh mantan Kepala Satuan Tugas Penyidikan Perkara Korupsi Bansos di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Andre Dedy Nainggolan; dan pengacara warga penggugat korupsi bansos, Fauzi.
Selain persoalan data, Almas mengingatkan, korupsi kecil-kecilan dalam bentuk pungutan liar (pungli) juga perlu diantisipasi. Secara regulasi, penyaluran BST dilakukan melalui kantor pos. Namun, di daerah-daerah terpencil BST masih disalurkan melalui pemerintah desa maupun lurah.
Sejak penyaluran bansos pada 2020 kemarin, ICW menerima banyak laporan pungli atau pemotongan dengan beragam modus. Misalnya, di salah satu kecamatan di Sumenep, Madura, jumlah pungli mencapai ratusan ribu dengan modus pembuatan dokumen kependudukan pengganti kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu keluarga (KK).
”Masyarakat mau tidak mau akhirnya membayar untuk dapat bansos. Jadi, pemerintah jangan menyepelekan masalah ini. Pengawasan harus sampai tingkat bawah,” ucap Almas.
Kerawanan lain penggunaan dana Covid-19 adalah masalah pengadaan barang dan jasa. Menurut Almas, sejumlah pemda umumnya masih menyalurkan bantuan dalam bentuk barang, seperti sembako, masker, dan obat-obatan.
Untuk itu, lanjutnya, ICW meminta agar regulasi pengadaan dalam kondisi darurat perlu dilengkapi dengan mekanisme yang lebih menjamin transparansi dan akuntalitas sehingga celah korupsi tertutup. Penyedia yang ditunjuk oleh pejabat pembuat komitmen tidak ditunjuk berdasarkan nepotisme, melainkan rekam jejak dalam menyediakan barang sejenis atau terdaftar dalam e-katalog.
”Jangan sampai kondisi kedaruratan ini menjadi ladang baru dari korupsi. Kami sangat khawatir karena belajar dan flashback dari kasus yang sudah-sudah di mana masih banyak korupsi bansos,” ujar Almas.
Sebagaimana diketahui, kasus korupsi bansos telah menyeret sejumlah pejabat pusat dan daerah. Mereka, antara lain, mantan Menteri Sosial Juliari P Batubara, dan Bupati Bandung Barat Aa Umbara Sutisna.
Pengawasan
Almas berharap, pemerintah dapat mengefektifkan peran pengawas internal pemerintahan demi mencegah penyalahgunaan bansos. Selain itu, pemerintah juga perlu mengaktifkan pengawasan masyarakat yang diawali dengan keterbukaan informasi terkait program-program pemerintah, informasi pengadaan, serta realisasinya.
Andre Dedy Nainggolan sependapat dengan Almas bahwa perubahan skema bansos dari sembako ke bantuan tunai tidak menjamin bebas dari korupsi. Menurut dia, prmasalahan utama yang harus dibenahi adalah data penerima.
”Apakah data itu sudah benar-benar termutakhir? Apakah sudah tepat? Karena saya khawatir kalau tidak salah pada Mei, Bu Risma (Menteri Sosial Tri Rismaharini) menyatakan, ada 21 juta data yang terpaksa ditidurkan. Apakah data itu sudah diperbarui? Kami tidak tahu. Jangan sampai ini menjadi masalah kembali,” ujar Andre.
Menurut Andre, kejahatan akan selalu mencari cara baru untuk mengambil keuntungan. Apabila penyaluran bantuan diubah dengan metode tunai, pengawasan terhadap pihak-pihak yang mendistribusikan bantuan tersebut haruslah diperketat.
”Karena masyarakat kecil itu terkadang hanya berpikir yang penting saya terima, tidak apa-apa tidak mendapat 100 persen. Begitu permasalahannya. Mereka sering kali tidak sadar bahwa mereka itu tidak mendapat secara utuh,” ucap Andre.
Selanjutnya, lanjut Andre, kembali lagi kepada integritas para pejabatnya dalam menjalankan program-program, serta pengawasan dari pihak-pihak yang bertugas untuk mengawasi. Misalnya, jika program itu merupakan program eksekutif, pihak legislatif harus menjalankan pengawasan dengan benar. ”Tentu, juga mengikutsertakan masyarakat,” katanya.