DPR dan Pemerintah Bisa Sama-sama Usung Revisi UU ITE
Terbuka kemungkinan bagi pemerintah dan DPR sebagai pembentuk UU untuk sama-sama mengusulkan revisi UU ITE sebagai inisiatif bersama kedua lembaga. Saat ini pemerintah juga tengah menyiapkan draf kajiannya.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat bisa sama-sama menjadi inisiator revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Revisi UU ITE itu pun sebenarnya telah masuk sebagai salah satu RUU di dalam daftar program legislasi nasional jangka panjang 2020-2024. Namun, pengusulnya adalah DPR.
Terbuka kemungkinan, baik bagi pemerintah maupun DPR sebagai pembentuk UU dapat sama-sama mengusulkan RUU ITE sebagai inisiatif bersama kedua lembaga karena pemerintah juga tengah menyiapkan draf kajiannya. Sebelumnya, Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan, dalam waktu dekat ini draf RUU ITE akan diusulkan pemerintah untuk masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2021. Artinya, pemerintah juga berinisiatif untuk mengajukan revisi UU ITE sebagai salah satu RUU prioritas tahun ini.
Terbuka kemungkinan, baik bagi pemerintah maupun DPR sebagai pembentuk UU dapat sama-sama mengusulkan RUU ITE sebagai inisiatif bersama kedua lembaga karena pemerintah juga tengah menyiapkan draf kajiannya.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Willy Aditya saat dihubungi, Minggu (27/6/2021) dari Jakarta, mengatakan, RUU ITE itu sudah masuk ke dalam daftar tunggu RUU di dalam prolegnas jangka panjang. Hanya saja pengusungnya adalah DPR. Jika pemerintah ingin mengusulkannya menjadi prolegnas tahunan 2021, usulan dapat dimasukkan saat dilakukan evaluasi prolegnas tengah tahunan.
”Bisa saja jika pemerintah memang lebih siap dengan drafnya dan ingin menjadikannya prolegnas tahunan, itu akan dibahas di dalam evaluasi prolegnas tengah tahunan, sekitar Juli atau Agustus 2021,” katanya.
Sebelumnya, saat pembahasan Prolegnas Proritas 2021, RUU ITE ini juga ditawarkan kepada pemerintah, tetapi pada saat itu belum ada kesiapan. Jika sekarang pemerintah lebih siap dengan draf revisi UU ITE, lanjut Willy, DPR akan mendorong untuk segera dituntaskan.
”Bisa saja nanti pengusungnya diubah menjadi pemerintah, atau bisa juga menjadi inisiatif DPR dan pemerintah. Itu nanti akan dibahas di dalam rapat kerja dengan pemerintah,” ucapnya.
Di dalam rapat kerja evaluasi tengah tahunan, Juli atau Agustus nanti, menurut Willy, DPR akan melihat apakah ada penawaran dari pemerintah untuk mengajukan RUU ITE sebagai salah satu RUU prioritas untuk dituntaskan 2021. Selain RUU ITE, DPR juga memperhatikan adanya keinginan dari pemerintah untuk memasukkan RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Revisi UU ITE yang direncanakan pemerintah, yakni terkait dengan empat pasal, yaitu Pasal 27, 28, 29, dan 36, menurut Willy, tidak akan terlalu sulit dilakukan karena revisi yang dilakukan bersifat terbatas. Soal komisi mana yang akan membahas perubahan itu, apakah Komisi I ataukah Komisi III, serta apakah akan dibahas di dalam panitia khusus, hal itu akan dibicarakan lebih lanjut di dalam Badan Musyawarah ketika revisi UU ITE itu disepakati masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2021, Juli atau Agustus 2021.
Sebelumnya, pemerintah telah menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Pedoman Kriteria Implementasi UU ITE. Dengan adanya pedoman ini diharapkan penegakan hukum terkait UU ITE tidak menimbulkan multitafsir dan dapat menjamin terwujudnya rasa keadilan masyarakat, sambil menunggu RUU itu masuk dalam perubahan Prolegnas Prioritas Tahun 2021. Petunjuk teknis yang sudah ada, seperti SE Kapolri dan pedoman Jaksa Agung, bisa terus diberlakukan.
”Sambil menunggu revisi terbatas, pedoman implementatif yang ditandatangani tiga menteri dan satu pimpinan lembaga setingkat menteri bisa berjalan dan bisa memberikan perlindungan lebih maksimal kepada masyarakat. Ini dibuat setelah mendengar dari para pejabat terkait, dari kepolisian, Kejaksaan Agung, Kominfo, masyarakat, LSM, kampus, korban, terlapor, pelapor, dan sebagainya. Semua sudah diajak diskusi, inilah hasilnya,” kata Menko Polhukam Mahfud MD, pekan lalu.
Sambil menunggu revisi terbatas, pedoman implementatif yang ditandatangani tiga menteri dan satu pimpinan lembaga setingkat menteri bisa berjalan dan bisa memberikan perlindungan lebih maksimal kepada masyarakat. (Mahfud MD)
Mahfud menegaskan, SKB yang ditandatangani Menko Polhukam, Menkominfo, Jaksa Agung, dan Kapolri itu menindaklanjuti keputusan rapat kabinet internal, 8 Juni 2021. Rapat kabinet memutuskan dua hal. Pertama, rencana revisi terbatas UU ITE. Kedua, tentang pembentukan pedoman implementasi beberapa pasal UU ITE, yaitu Pasal 27, 28, 29, dan 36. Mahfud juga mengatakan, suara atau aspirasi masyarakat masih bisa diteruskan lagi dalam revisi UU ITE ketika nanti legislasi itu dibahas di DPR atau sedang diolah di Kementerian Hukum dan HAM.
Dihubungi secara terpisah, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Muhammad Iqbal, mengatakan, keluarnya SKB itu baik karena dapat menjadi panduan bagi penegak hukum dalam menggunakan pasal-pasal yang selama ini dinilai ”karet” dalam UU ITE. Meski demikian, keluarnya SKB itu tidak cukup.
”Lebih bagus lagi jika hal itu dikuatkan dengan revisi UU ITE, seperti rencana semula. Kalau dengan SKB, tidak sekuat seperti diatur di dalam UU. Kami di DPR mendukung jika pemerintah merevisi UU ITE. Dengan demikian, ada kepastian hukum yang lebih baik,” ujarnya.
SKB saja tidak cukup untuk menghindari pasal-pasal karet di dalam UU ITE. (Muhammad Isnur)
Secara terpisah, Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan, SKB saja tidak cukup untuk menghindari pasal-pasal karet di dalam UU ITE. Revisi UU ITE itu harus tetap dilakukan oleh pemerintah dan DPR.
Pertama, dari segi prosedur, pembuatan SKB itu tidak sesuai dengan prinsip negara hukum dan konstitusi. Alasannya, sejauh mana SKB itu dipatuhi oleh penegak hukum dan sampai pada batas apa penegak hukum dapat mengikuti SKB itu. Kalaupun mengikat, SKB itu hanya berlaku untuk penegak hukum, tetapi tidak pada hakim.
”Oleh karena itu, ini harus dilanjutkan dengan revisi UU ITE. Tidak semua persoalan di dalam norma UU itu dapat diperbaiki dengan SKB. Nanti akhirnya, kalau ada norma yang keliru dalam UU, muncul lagi SKB-SKB serupa. Tentu itu tidak sesuai dengan prinsip negara hukum dan konstitusi,” katanya.