Pemidanaan sejumlah kasus pelanggaran UU ITE diduga bertentangan dengan SKB Pedoman UU ITE sehingga semestinya dihentikan.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU/SUSANA RITA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Aparat penegak hukum diminta untuk meninjau ulang pemidanaan kasus-kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE menyusul terbitnya Surat Keputusan Bersama tentang Pedoman Implementasi UU ITE. Pemidanaan sejumlah kasus ditengarai bertentangan dengan pedoman yang tertera di surat keputusan bersama sehingga semestinya dihentikan.
Ketua Paguyuban Korban Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (Paku ITE) Muhammad Arsyad yang dihubungi dari Jakarta, Jumat (25/6/2021), mengatakan, hingga saat ini, pihaknya menangani 18 kasus dugaan pelanggaran UU ITE yang tengah berproses di seluruh Indonesia. Empat kasus ada di tahap penyelidikan dan tujuh kasus tengah dalam penyidikan. Selebihnya sedang dalam penuntutan, pengadilan tingkat banding, praperadilan, dan kasasi.
Pemidanaan sejumlah kasus tersebut ditengarai berlawanan dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) Pedoman Implementasi UU ITE yang ditandatangani Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate, Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo, dan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin pada Rabu (23/6/2021).
Ini terutama menyangkut pedoman implementasi Pasal 27 Ayat (3) UU ITE. Dalam SKB disebutkan, harus korban penghinaan atau pencemaran nama baik yang mengadukan kepada aparat penegak hukum. Pelapor harus orang perseorangan dengan identitas spesifik, bukan institusi, korporasi, profesi atau jabatan.
Sementara itu, kasus-kasus yang masih berproses tidak semua dilaporkan oleh perseorangan. Beberapa juga bermula dari laporan kampus, perusahaan, dan pejabat daerah.
Salah satunya perkara Wahyu yang menulis keluhan perbaikan mobil di sebuah perusahaan penyedia jasa pada 2017 di sebuah blog, kemudian digugat mencemarkan nama baik perusahaan terkait pada 2021. Stella Monica di Surabaya, Jawa Timur, juga dilaporkan oleh sebuah klinik kecantikan karena mengeluhkan layanan klinik tersebut di media sosial.
Selain itu, Wali Kota Baubau, Sulawesi Tenggara, AS Thamrin juga melaporkan Sekretaris Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Rendy Saputra ke Polda Sulawesi Tenggara atas tuduhan pencemaran nama baik. Laporan itu tetap ditindaklanjuti oleh Polda Sultra meski sebelumnya Rendy telah memenangi perkara yang sama dalam sidang praperadilan.
”Dengan adanya SKB ini, (secara tidak langsung) pemerintah mengakui bahwa UU ITE itu bermasalah. Seharusnya orang-orang yang dijerat dengan UU ITE kasusnya dihentikan juga,” kata Arsyad.
Direktur Amnesty International Usman Hamid menambahkan, keberadaan SKB akan efektif jika bisa digunakan oleh penegak hukum untuk meninjau kembali seluruh dugaan pelanggaran UU ITE. Di tingkat kepolisian, semestinya seluruh perkara yang dilaporkan bukan oleh orang perorangan dihentikan, sekalipun sudah ada tersangka yang ditetapkan.
“Laporan-laporan yang saat ini masuk dari institusi (juga) semestinya ditolak, jangan diambangkan karena akan membuka ruang tawar menawar, apalagi jika pelapornya adalah pihak yang punya uang, kekuasaan, atau pengaruh,” ujar Usman.
Ia melanjutkan, SKB juga seharusnya digunakan Jaksa Agung dan seluruh unsur kejaksaan di berbagai wilayah untuk menimbang perkara yang telah dilimpahkan oleh kepolisian namun belum sampai ke pengadilan. Perkara-perkara yang dimaksud perlu dikesampingkan untuk kepentingan umum.
Jika perkara sudah di pengadilan, kata Usman, masyarakat dan penegak hukum sudah tidak bisa mendorong apapun karena sudah ranah keputusan hakim. Setelah vonis dijatuhkan, hanya Presiden yang bisa berperean. Dalam hal ini, Presiden memiliki preseden yakni memberikan amnesti kepada Baiq Nuril, terpidana pelanggaran UU ITE, karena pertimbangan kemanusiaan pada 2019.
Ia menambahkan, tanpa penghentian kasus dan laporan kasus dugaan pelanggaran UU ITE yang masih ada di penegak hukum, keberadaan SKB tidak berpengaruh signifikan dalam melindungi warga. Pedoman teknis implementasi itu justru menunjukkan sikap bahwa pemerintah tidak menganggap ada masalah dalam UU ITE yang selama ini mengandung banyak pasal karet dan rawan digunakan untuk mengkriminalisasi pihak tertentu.
“(Dengan adanya SKB) ruang kosong yang ada itu tidak terjawab. Tidak akan mungkin bisa menghentikan potensi penggunaan UU ITE untuk mengancam kebebasan berpendapat, kebebasan pers, kebebasan berekspresi, dan kebebasan beroposisi,” ujar Usman.
Akan ikuti SKB
Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Komisaris Besar Ahmad Ramadhan mengatakan, penanganan dugaan tindak pidana UU ITE akan berpedoman pada SKB. Tak hanya itu, masih terbuka ruang bagi kasus pelanggaran UU ITE untuk dipertimbangkan kembali jika penanganannya masih ada di kepolisian.
”Sistem peradilan itu, kan, ada tahapan. Kalau kasus masih di polisi, kami masih memedomani itu. Tetapi kalau berkas sudah dikirim ke jaksa, itu sudah akan berjalan karena sudah merupakan kewenangan jaksa penuntut umum, apalagi sudah sampai dilimpahkan ke pengadilan,” kata Ramadhan.
Kompas telah menghubungi Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak untuk memberikan penjelasan terkait. Namun, hingga Jumat malam, ia tidak memberikan jawaban.
Sebelumnya, Deputi III Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Sugeng Purnomo mengatakan, SKB merupakan bentuk komitmen tertulis dari ketiga instansi pemerintah. SKB juga bagian dari instruksi Presiden untuk mengatasi masalah pasal karet dalam UU ITE. Karena itu, seharusnya SKB dipedomani dan dilaksanakan di lapangan.
”Jika memang SKB tidak dipatuhi, akan menjadi tanggung jawab pimpinan unit di setiap kementerian dan lembaga,” katanya (Kompas, 25/6/2021).
Terkait rencana pemerintah melanjutkan pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), Direktur Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Fajri Nursyamsi meminta pemerintah memublikasikan draf RKUHP terbaru ke publik sebelum diajukan ke DPR.
Ia menilai keliru jika pemerintah menunda-nunda membuka draf terbaru RKUHP dengan alasan belum diserahkan ke DPR. Sebab, pembentukan undang-undang sudah dimulai sejak fase persiapan, yakni saat pengusul RUU menyiapkan drafnya. Dalam fase ini, transparansi dan partisipasi publik harus dibuka.
Selain itu, menurut Ketua Bidang Humas DPP Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Erwin Natosmal Oemar, pemerintah dan DPR seharusnya terlebih dulu merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) daripada revisi KUHP. Jika tidak bisa, sebaiknya revisi KUHP dibahas bersama-sama revisi KUHAP.