Pedoman UU ITE Tak Dipatuhi, Pimpinan Penegak Hukum Bertanggung Jawab
Setelah pedoman implementasi UU ITE disahkan, pemerintah segera menyosialisasikannya ke aparat penegak hukum. Penerapan pedoman akan dievaluasi. Jika ada yang tak patuh, menjadi tanggung jawab pimpinan instansi.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah Surat Keputusan Bersama tentang Pedoman Kriteria Implementasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik disahkan pada Rabu (23/6/2021), pemerintah segera menyosialisasikan aturan itu kepada aparat penegak hukum. Jika nantinya aturan dalam surat keputusan bersama tak dipatuhi, akan menjadi tanggung jawab pimpinan instansi penegak hukum.
Deputi III Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) Sugeng Purnomo dalam jumpa pers secara daring, Kamis (24/6/2021), mengatakan, surat keputusan bersama (SKB) akan dibuat menjadi buku saku sebagai panduan aparat penegak hukum dalam menangani perkara berkaitan dengan sejumlah pasal dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Buku saku itu sedang disusun oleh Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Setelah dicetak, buku saku akan didistribusikan kepada aparat. ”Sekarang kami sedang fokus bersama tim dari Ditjen Aptika Kemenkominfo untuk mempersiapkan buku sakunya sebelum disebarkan kepada aparat penegak hukum untuk menjadi pegangan di lapangan,” kata Sugeng.
Sebelum buku saku terbit, SKB dalam format PDF sudah dikirimkan ke setiap instansi aparat penegak hukum, baik penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) Kemenkominfo, Polri, maupun Kejaksaan Agung. Dengan demikian, pada saat sosialisasi SKB nantinya, aparat penegak hukum diharapkan sudah membacanya. SKB tersebut diharapkan efektif menutup celah multitafsir norma hukum UU ITE.
Terkait dengan seberapa mengikat SKB tersebut, Sugeng mengatakan bahwa SKB merupakan bentuk komitmen tertulis dari ketiga instansi pemerintah. SKB juga bagian dari instruksi Presiden untuk mengatasi masalah pasal karet dalam UU ITE. Karena itu, seharusnya SKB dipedomani dan dilaksanakan di lapangan.
”Nanti akan kami evaluasi juga praktiknya seperti apa di lapangan, apakah masih ada penyimpangan atau tafsiran berbeda atau tidak. Jika memang SKB tidak dipatuhi, nanti itu akan menjadi tanggung jawab pimpinan unit di setiap kementerian dan lembaga,” kata Sugeng.
Sugeng juga menegaskan, dalam implementasi SKB ini, prinsip penegakan hukum yang dilakukan aparat akan mengedepankan keadilan restoratif. Artinya, pemidanaan dan proses hukum di peradilan dilakukan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium).
Sugeng optimistis prinsip tersebut dapat diterapkan karena setiap aparat telah memiliki aturan dengan prinsip keadilan restoratif. ”Di Polri ada peraturan kapolri yang mengatur keadilan restoratif. Di kejaksaan juga ada peraturan jaksa agung yang mengatur hal sama. Jadi, menurut kami, keadilan restoratif dalam pasal karet UU ITE tidak sulit dilakukan,” kata Sugeng.
Perbaikan implementasi
Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengapresiasi SKB Pedoman Kriteria Implementasi UU ITE. Menurut dia, sejumlah ketentuan yang diatur berpeluang membantu perbaikan implementasi UU ITE di lapangan agar tidak lagi multitafsir.
Misalnya, pedoman tentang pasal pencemaran nama baik yang diatur dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE, yang dianggap dapat memperjelas perbuatan menyerang kehormatan. Sebelum ada SKB, pasal ini dianggap kerap digunakan untuk mengkriminalisasi pendapat dan opini masyarakat yang kritis. SKB dianggap berhasil mengecualikan perbuatan seseorang sehingga tidak mudah diinterpretasikan sebagai perbuatan penghinaan dan pencemaran nama baik.
Dalam SKB, khususnya penjelasan Pasal 27 Ayat (3), diterangkan di antaranya muatan penghinaan atau pencemaran nama baik bukan sebuah delik pidana yang melanggar pasal tersebut jika konten berupa penghinaan yang kategorinya cacian, ejekan, atau kata-kata tidak pantas. Khusus untuk ini, dapat menggunakan kualifikasi delik penghinaan ringan seperti disebut dalam Pasal 315 KUHP.
Selain itu, tidak termasuk pula delik pidana yang melanggar Pasal 27 Ayat (3) jika kontennya berupa penilaian, pendapat, hasil evaluasi, atau sebuah kenyataan.
Hal lainnya, ditegaskan pula bahwa delik pidana Pasal 27 Ayat (3) merupakan delik aduan absolut. Karena itu, harus korban sendiri yang melaporkan, bukan institusi, korporasi, profesi, atau jabatan, kecuali korban masih di bawah umur atau dalam perwalian. Selain itu, bukan merupakan delik penghinaan atau pencemaran nama baik jika konten disebarkan melalui sarana grup percakapan yang bersifat tertutup atau terbatas.
Selain itu, pedoman pada Pasal 27 Ayat (1), Pasal 27 Ayat (4), Pasal 28 Ayat (2), Pasal 29, dan Pasal 36 juga dinilai cukup baik meski ada catatan perbaikan dari ICJR. Misalnya, pedoman Pasal 29 tentang pengancaman di ruang siber (perundungan siber) dianggap masih bermasalah karena tidak memasukkan syarat pasal sebagai delik aduan. Pasal itu seharusnya merupakan delik aduan karena ditujukan pada pribadi.
Revisi UU ITE
ICJR pun mendorong agar setelah penandatanganan SKB itu, revisi UU ITE bisa segera dibahas oleh pemerintah dan DPR.
”Pedoman ini baik dalam konteks sembari menunggu revisi UU ITE di DPR seperti dijanjikan pemerintah. Namun, pedoman semacam ini bukanlah final, karena untuk menjawab permasalahan norma dalam UU diperlukan revisi. Ini untuk menjamin berbagai persoalan yang tidak bisa disentuh oleh pedoman tersebut,” tegas Erasmus.
Sugeng mengatakan, dirinya sepakat dengan masyarakat sipil bahwa SKB saja tidak cukup untuk mengatasi kompleksitas masalah UU ITE. Oleh karena itu, Tim Kajian UU ITE Kemenko Polhukam juga merekomendasikan revisi terbatas UU ITE. Dalam revisi terbatas itu ada empat pasal yang akan direformulasi, yaitu Pasal 27, 28, 29, dan 36, serta penambahan satu pasal baru, yaitu Pasal 45C.
”Pedoman implementasi ini digunakan sembari menunggu revisi UU ITE berproses di DPR. Ini untuk memperjelas norma yang ada dalam UU ITE. Sementara formulasi norma barunya telah dimasukkan dan direkomendasikan juga oleh tim,” jelas Sugeng.
Menurut Sugeng, saat ini draf revisi UU ITE sedang disiapkan oleh pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Diharapkan revisi terbatas UU ITE masuk dalam perubahan Program Legislasi Nasional 2021 yang diagendakan akan dibahas pada Juli mendatang. Menko Polhukam Mahfud MD juga sudah mengirimkan surat kepada Menkumham untuk membuat naskah akademis dan juga draf revisi terbatas UU ITE.
”Keputusan revisi terbatas UU ITE itu sudah disetujui dan diterima oleh Presiden. Sekarang, prosesnya semua sedang bergulir di Kemenkumham sebelum masuk ke DPR untuk diajukan dalam perubahan Prolegnas Prioritas 2021,” terang Sugeng.