Pedoman Ditetapkan, Implementasi UU ITE Diharap Tak Multitafsir Lagi
Pedoman implementasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik resmi ditetapkan. Perbedaan pandangan dalam menafsirkan pasal-pasal dalam UU tersebut diharap tak terjadi lagi.
Oleh
Mawar Kusuma Wulan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah akhirnya menerbitkan pedoman implementasi pasal-pasal tertentu dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Tak hanya mencegah munculnya tafsir yang berbeda dalam proses penegakan hukum, keberadaan pedoman itu diharapkan dapat menjamin terwujudnya rasa keadilan masyarakat.
Pedoman pelaksanaan UU ITE termuat dalam surat keputusan bersama (SKB) tiga lembaga yang ditandatangani Menteri Komunikasi dan Informatikan Johnny G Plate, Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo, dan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin di kantor Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Jakarta, Rabu (23/6/2021). Penandatanganan SKB Pedoman Kriteria Implementasi UU ITE itu disaksikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM Mahfud MD.
Penyusunan SKB itu merupakan tindak lanjut dari instruksi Presiden Joko Widodo pada pertengahan Februari lalu. Presiden melihat pentingnya pedoman pelaksanaan sejumlah pasal dalam UU ITE agar tidak multitafsir.
Instruksi itu disampaikan setelah Presiden melihat maraknya aksi saling melaporkan pelanggaran UU ITE di masyarakat. Fenomena itu menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yang menganggap hukum belum memenuhi rasa keadilan masyarakat. Padahal, UU ITE dibuat untuk menjaga ruang digital Indonesia agar bersih, sehat, beretika, dan bisa dimanfaatkan secara produktif sehingga sudah semestinya regulasi itu diimplementasikan secara adil.
”Sambil menunggu revisi terbatas UU ITE, pedoman implementatif yang ditandatangani tiga menteri dan satu pimpinan lembaga setingkat menteri bisa berjalan dan bisa memberikan perlindungan yang lebih maksimal kepada masyarakat,” ujar Mahfud.
Selain menerbitkan pedoman pelaksanaan, saat ini pemerintah juga tengah merumuskan draf revisi UU ITE. Revisi terbatas UU ITE itu ditargetkan bisa masuk daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Perubahan tahun 2021.
SKB merupakan pedoman implementasi UU ITE yang digunakan sebagai buku saku bagi pemerintah dan aparat penegak hukum. Mahfud menjelaskan, SKB diterbitkan untuk merespons suara masyarakat yang menyatakan bahwa UU ITE kerap memakan korban lantaran mengandung pasal-pasal karet yang berpotensi multitafsir. Selain itu, ada pula pasal-pasal yang dinilai dapat menimbulkan kriminalisasi, termasuk diskriminasi.
Pedoman di antaranya dibuat untuk pelaksanaan Pasal 27, 28, 29, dan 36. Pasal- pasal tersebut berisi ketentuan yang sering digunakan serta krusial bagi aparat penegak hukum. Pedoman implementasi untuk Pasal 27 Ayat (1), misalnya, menyebut bahwa pasal ini fokus pada kegiatan pendistribusian, penyebaran, dan pengiriman konten kesusilaan secara aktif melalui kegiatan mengunggah atau mengirimkan konten kesusilaan, bukan pada tindakan asusilanya. Definisi konteks kesusilaan dalam pasal ini harus sesuai dengan UU No 44/2008 tentang Pornografi dan/atau Pasal 281 dan 282 KUHP.
Penegakan UU ITE
Johnny menambahkan, pedoman implementatif ini dapat mendukung upaya penegakan UU ITE selaku ketentuan khusus dari norma pidana atau lex specialis yang mengedepankan penerapan keadilan restoratif. Selanjutnya, penyelesaian masalah yang terkait UU ITE dapat dilakukan tanpa harus menempuh mekanisme peradilan. ”Hal ini perlu dilakukan untuk menguatkan posisi ketentuan peradilan pidana sebagai ultimum remedium atau pilihan terakhir dalam menyelesaikan permasalahan hukum,” ujarnya.
Pedoman penerapan itu, lanjut Johnny, berisi penjelasan terkait definisi, syarat, dan keterkaitan dengan peraturan perundangan lain terhadap pasal yang sering menjadi sorotan masyarakat. ”Pedoman penerapan ini merupakan lampiran dari surat keputusan bersama yang tadi ditandatangani, mencakup delapan substansi penting pada pasal-pasal UU ITE,” tuturnya.
Penandatangan SKB disambut optimistis oleh kalangan masyarakat sipil. ”Finally, dan intinya ya, pemahaman harus sama dan berperspektif HAM. Kalau enggak, masalahnya akan sama. Biar konsisten upaya ini dan penerapannya,” ujar Direktur Eksekutif The Indonesia Institute (TII) Adinda Tenriangke Muchtar.
TII juga meminta pemerintah merevisi pasal multitafsir dalam UU ITE. Berdasarkan studi kebijakan TII yang berjudul ”Mendorong dan Melindungi Kebebasan Berekspresi Warga Negara terhadap Pemerintah dalam Ruang Digital di Indonesia”, disebut beberapa pasal yang selama ini menjadi permasalahan dalam penerapan UU ITE, antara lain Pasal 26 Ayat (3), Pasal 27 Ayat (1), Pasal 27 Ayat (3), Pasal 28 Ayat (2), Pasal 29, Pasal 36, Pasal 40 Ayat (2a), Pasal 40 Ayat (2b), Pasal 45 Ayat (3).
Keberadaan pasal bermasalah itu diperkeruh dengan masih lemahnya perspektif HAM dan kebebasan sipil dari penegak hukum. Aparatur negara dinilai cenderung menjalankan hukum dalam perspektif mereka sendiri.
Beberapa rekomendasi kebijakan dari hasil studi TII antara lain adalah perlunya memperjelas perbedaan antara ekspresi dan pelanggaran hukum, mengupayakan kolaborasi antara eksekutif dan legislatif dalam menangani persoalan pasal multitafsir dalam UU ITE, mengembalikan beberapa ketentuan yang memuat sanksi pidana di dalam UU ITE ke KUHP, dan pengarusutamaan perspektif HAM kepada penegak hukum yang didukung dengan merevisi pasal multitafsir dalam UU ITE.
Christina Aryani, anggota Komisi I DPR, menekankan pentingnya revisi UU ITE dan perlunya mencari alternatif sanksi hukum lain selain pemidanaan. Revisi UU ITE diharapkan bisa memperbaiki pasal-pasal yang problematik.