Permasalahan dinilai berakar dari UU ITE sehingga penerbitan Surat Keputusan Bersama Pedoman UU ITE dianggap tidak cukup memberikan solusi.
Oleh
IQBAL BASYARI/KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mempertanyakan kelanjutan rencana pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE seusai terbitnya Surat Keputusan Bersama Pedoman Kriteria Implementasi UU ITE. Permasalahan dinilai berakar dari UU ITE sehingga penerbitan surat keputusan bersama dianggap tidak cukup memberikan solusi.
Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di DPR Sukamta, di Jakarta, Sabtu (26/6/2021), mengatakan, PKS mengapresiasi langkah pemerintah menerbitkan Surat Keputusan Bersama Pedoman Kriteria Implementasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai upaya membenahi penegakan hukum dari UU tersebut.
Namun, dari segi substansi, SKB itu dinilai belum mampu menyelesaikan permasalahan, terutama terkait keberadaan pasal karet di UU ITE. SKB hanya berisi pedoman implementasi, padahal yang menjadi hulu permasalahan adalah UU ITE itu sendiri. UU ITE pun tidak mengamanatkan ada SKB dalam mengimplementasikan UU tersebut.
”Bagaimana nasib revisi UU ITE? Sementara hulu persoalan ada di level undang-undang. Adanya SKB ini jangan dijadikan alasan bagi pemerintah untuk tidak merevisi UU ITE,” kata anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat itu.
Oleh sebab itu, PKS menegaskan revisi UU ITE tetap wajib dilakukan. Revisi dilakukan dengan memperjelas delik yang ada, menambah pasal, atau melakukan harmonisasi dengan ketentuan delik dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Hal ini perlu dilakukan agar tidak ada penafsiran berbeda kepada setiap obyek hukum sehingga menimbulkan istilah pasal karet.
Akumulasi pidana
Selain itu, wakil rakyat dari daerah pemilihan DI Yogyakarta itu menyoroti aspek akumulasi atau gabungan pidana pada kasus-kasus pelanggaran UU ITE. Ia mengingatkan ada tiga pandangan soal ini, yakni concursus idealis (gabungan satu perbuatan), voortgezette handelling (perbuatan berkelanjutan), dan concursus realis (gabungan beberapa perbuatan).
Terkait concursus idealis, Pasal 63 KUHP telah mengatur sanksi yang diberikan kepada seseorang adalah yang paling memenuhi prinsip lex specialis. Satu tindak pidana hanya dapat dihukum dengan satu sanksi, tidak bisa akumulatif. Dengan demikian, jika terdapat beberapa peraturan yang mengatur sanksi untuk satu tindak pidana, yang berlaku adalah peraturan yang paling khusus atau spesialis.
”Akumulasi pidana hanya berlaku dalam tindak kejahatan berlanjut atau satu perbuatan diikuti atau mengakibatkan perbuatan lainnya, serta gabungan perbuatan kejahatan berlapis,” tuturnya.
Oleh sebab itu, penegak hukum harus bisa membuktikan hal tersebut dengan cermat dan tidak bisa gegabah dalam menentukan suatu perbuatan merupakan akibat ikutan atau lanjutan dari perbuatan lainnya. Misalnya perbuatan menyebarkan hoaks tidak serta-merta mengakibatkan suatu perbuatan membuat keonaran dengan sengaja.
”Di sini, penegak hukum harus berpijak pada ultimum remedium dan restorative justice yang semangatnya adalah tidak mudah untuk menjatuhkan hukuman karena hukuman adalah jalan terakhir,” ucap Sukamta.
Dirumuskan Kemenkumham
Deputi III Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) Sugeng Purnomo saat jumpa pers, Kamis (24/6/2021), mengatakan, usulan pasal-pasal yang akan direvisi di UU ITE plus penambahan satu pasal baru yang dibuat Tim Kajian UU ITE bentukan Kemenko Polhukam saat ini sedang dibahas di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
Menurut rencana, revisi terbatas UU ITE akan diusulkan pemerintah agar bisa masuk dalam perubahan Program Legislasi Nasional 2021 pada Juli mendatang. Beberapa yang akan direvisi adalah Pasal 27, 28, 29, dan 36 UU ITE. Selain itu, diusulkan penambahan satu pasal baru dalam UU ITE, yakni Pasal 45C, yang mengatur tentang penyebaran berita bohong.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Taufik Basari, berharap SKB Pedoman Implementasi UU ITE betul-betul dijadikan acuan untuk menangani kasus-kasus pelanggaran UU ITE. Dengan demikian, bisa mencegah terjadinya multitafsir atau bahkan kriminalisasi dengan menggunakan pasal-pasal di UU ITE.
”Sembari menunggu rencana revisi diajukan Pemerintah ke DPR, SKB ini bisa digunakan,” ucapnya.
Dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR, Rabu (16/6/2021), Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo mengatakan, penegakan hukum UU ITE dilakukan lebih selektif sesuai dengan perintah Presiden Joko Widodo. Perintah yang dimaksud adalah mengutamakan prinsip keadilan restoratif sehingga dapat mengubah tampilan wajah Polri yang represif dalam menangani kasus terkait UU ITE.
Untuk itu, Polri membuat peringatan virtual polisi (PVP) atau yang dikenal dengan virtual police. Program itu diharapkan bisa menjadi sarana edukasi masyarakat dalam memanfaatkan media sosial. ”Polri telah melakukan program PVP terhadap 419 konten, 98 konten di antaranya tidak lolos verifikasi karena memenuhi unsur ujaran kebencian (SARA),” kata Listyo.
Ia mengklaim keberadaan PVP efektif meningkatkan literasi warga dalam bermedia sosial. Sebab, dari 106 akun yang mendapatkan peringatan dari kepolisian, sebanyak 49 akun mematuhinya. Sementara itu, 46 akun tidak mematuhi dan 11 akun lainnya belum merespons peringatan.
”PVP cukup efektif (46,2 persen) dalam meningkatkan kepatuhan masyarakat agar bijak dalam bermedia sosial,” ujar Listyo.
Mengenai penerapan keadilan restoratif, dari total 52.590 perkara tindak pidana, 1.864 di antaranya telah diselesaikan dengan prinsip tersebut. Dalam pelaksanaannya, ia menekankan pada seluruh jajaran agar mengedepankan hukum progresif dan tidak transaksional.