Pemangkasan Vonis Pinangki Membuat Pemberantasan Korupsi Kian Suram
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memangkas vonis hukuman terhadap Pinangki, dari 10 tahun menjadi empat tahun penjara. Ini membuat pemberantasan korupsi jadi mengkhawatirkan. Terlebih Pinangki adalah jaksa.
Oleh
Susana Rita Kumalasanti
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemotongan hukuman terhadap Pinangki Sirna Malasari, dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, membuat agenda pemberantasan korupsi di republik ini kian mengkhawatirkan. Majelis hakim dinilai belum menilai korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa, dan menafikan masyarakat luas sebagai korban tidak langsung dari perbuatan korupsi.
”Ada kekhawatiran kalau kita lihat tren pemberantasan korupsi ke depan. Apalagi jika dikaitkan dengan pelemahan lembaga antikorupsi, juga semakin ringannya putusan korupsi. Tidak hanya di pengadilan tinggi, tetapi juga di tingkat kasasi ataupun peninjauan kembali yang juga muncul akhir-akhir ini,” ujar Febri Diansyah, mantan juru Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), saat dihubungi, Senin (14/6/2021) malam.
Seperti diketahui, Pinangki merupakan terdakwa pengurusan fatwa bebas Mahkamah Agung untuk terpidana kasus Bank Bali, Joko S Tjandra. Saat terlibat dalam perkara itu, Pinangki berprofesi sebagai jaksa dan menjabat sebagai Kepala Subbagian Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan. Pada Februari lalu, Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan vonis hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 600 juta kepada Pinangki.
Sebagai upaya hukum lanjutan, Pinangki mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Majelis hakim pun mengabulkan permohonan banding itu dan memangkas hukuman Pinangki selama 10 tahun penjara menjadi empat tahun penjara. Adapun pertimbangan majelis hakim di tingkat banding mengurangi hukuman Pinangki, di antaranya, yang bersangkutan mengaku bersalah dan menyesali perbuatannya, serta ikhlas dipecat dari profesinya sebagai jaksa. Selain itu, Pinangki dinilai masih dapat diharapkan akan berperilaku baik sebagai warga masyarakat.
Pertimbangan lain, Pinangki adalah seorang ibu dengan anak yang masih balita sehingga layak diberi kesempatan mengasuh dan memberi kasih sayang kepada anaknya dalam masa pertumbuhannya. Majelis hakim pun mempertimbangkan Pinangki sebagai Wanita yang harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan adil.
Menurut Febri, ada pertanyaan mendasar mengenai hal-hal yang meringankan dan memberatkan bagi terdakwa. Di dalam putusan hakim, masyarakat jarang sekali mendengar majelis hakim mempertimbangkan korban korupsi.
”Yang selalu muncul adalah terdakwa pernah berjasa, terdakwa berkelakuan baik di persidangan. Semua dilihat dari sisi terdakwa. Apakah tidak memungkinkan untuk menggali kebenaran materiil dan keadilan publik. Sudah saatnya MA (Mahkamah Agung) membahas secara serius di rapat pleno kamar pidana untuk meletakkan faktor korban sebagai alasan yang memberatkan,” ujar Febri.
Menurut dia, dalam kasus Pinangki yang notabene merupakan penegak hukum, tindakannya justru memiliki dampak yang luar biasa bagi institusi tempat Pinangki berasal. Kepercayaan publik dan kepercayaan dunia internasional kepada integritas institusi penegak hukum dipertaruhkan.
Dalam kasus Pinangki yang notabene merupakan penegak hukum, tindakannya justru memiliki dampak yang luar biasa bagi institusi tempat Pinangki berasal. Kepercayaan publik dan kepercayaan dunia internasional kepada integritas institusi penegak hukum dipertaruhkan.
Hal senada diungkapkan oleh peneliti senior Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Charles Simabura. Menurut dia, hukuman kepada Pinangki seharusnya harus diperberat mengingat statusnya sebagai penegak hukum. Ini sesuai dengan ketentuan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyebutkan bahwa jika penegak hukum melakukan tindak pidana, hukumannya ditambah sepertiga.
”Dia (Pinangki), kan, penegak hukum. Harusnya ditambah sepertiga. Sebab, sebagai penegak hukum, dia seharusnya memberi contoh, tetapi justru melemahkan komitmen untuk memberantas mafia hukum di lingkungan penegak hukum sendiri. Kalau dilihat potretnya, ini kan perilaku mafia-mafia hukum,” ujar Charles.
Sebelumnya, Pinangki dinilai terbukti bersalah menerima suap, melakukan tindak pidana pencucian uang, dan permufakatan jahat terkait sengkarut penanganan perkara korupsi pengalihan piutang (cessie) Bank Bali, Joko S Tjandra.
Lebih jauh Charles mengungkapkan, majelis hakim PT DKI Jakarta tidak melihat perkara tersebut secara komprehensif. Dalam kasus tersebut, majelis hakim tidak mempertimbangkan peran aktif Pinangki yang menghubungi Joko Tjandra hingga mendatangi kantornya di Kuala Lumpur, Malaysia, bersama rekan pengacaranya.
”Seolah-olah hakim hanya melihat di ujung, di persidangan. Tapi, tidak dilihat kronologisnya, keaktifan Pinangki tidak dilihat. Mahkamah Agung perlu mengoreksi putusan ini,” ujar Charles.
Hemi memperkirakan putusan MA nantinya jika jaksa mengajukan upaya hukum kasasi, tidak akan jauh berbeda dengan putusan di tingkat banding.
Begitu pula dengan pertimbangan majelis banding yang menyebutkan bahwa Pinangki bukan satu-satunya pelaku yang harus bertanggung jawab dalam perkara tersebut. Bagi Charles, jika ada konspirasi dengan pihak lain dalam melakukan tindak pidana, vonis yang dijatuhkan seharusnya setimpal.
Peneliti bidang hukum The Indonesian Institute, Hemi Lavour Febrinandez, pesimistis jika nantinya MA akan mengoreksi putusan Pinangki dengan mengembalikan ke putusan semula (Pengadilan Tipikor). Hemi memperkirakan putusan MA nantinya jika jaksa mengajukan upaya hukum kasasi, tidak akan jauh berbeda dengan putusan di tingkat banding.
”Bisa jadi nanti MA akan menurunkannya dengan pertimbangan yang lebih ajaib dari PT,” ujarnya.
Sebelumnya, MA telah memberikan keringanan hukuman melalui putusan PK kepada sejumlah terpidana korupsi. Misalnya, hukuman bekas Ketua Dewan Perwakilan Daerah Irman Gusman dipotong dari 4,5 tahun penjara menjadi 3 tahun penjara. Begitu pula dengan hukuman bekas politikus Partai Golkar, Idrus Marham, yang disunat dari 3 tahun penjara menjadi 2 tahun penjara.
MA juga mengurangi hukuman bekas Bupati Talaud Sri Wahyumi Manalip dari 4,5 tahun menjadi 2 tahun penjara. Kasus terakhir, MA juga menyatakan bekas Wali Kota Medan Rahudman Harahap lepas dari tuntutan hukum meskipun pada tingkat kasasi yang bersangkutan dihukum 10 tahun penjara.
Dalam kasus Pinangki, Hemi juga mempertanyakan pertimbangan majelis banding terkait Pinangki sebagai perempuan, seorang ibu yang memiliki anak kecil. Ia membandingkan hal tersebut dengan kasus Baiq Nuril di mana MA menolak kasasi dan PK yang diajukan. Pengampunan justru diberikan oleh Presiden kepada Baiq Nuril.