Pedoman Pemidanaan Tipikor yang Terukur Diperlukan
Dibutuhkan pedoman tuntutan dan putusan pada perkara korupsi yang lebih terukur dan komprehensif. Ini untuk mengatasi persoalan disparitas.
Oleh
Tim Kompas
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pedoman yang lebih komprehensif dan terukur terkait pasal-pasal dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi amat dibutuhkan guna meminimalisasi disparitas dalam penuntutan dan putusan perkara korupsi. Langkah itu penting untuk menyinkronkan penegakan hukum dan menjaga rasa keadilan masyarakat.
Sebelumnya, dua terdakwa dalam perkara pengurusan fatwa bebas Mahkamah Agung untuk Joko Tjandra dan penghapusan namanya dari daftar pencarian orang di sistem imigrasi divonis lebih tinggi dari tuntutan jaksa. Ini berbanding terbalik dengan perkara suap serta gratifikasi yang melibatkan bekas Sekretaris MA Nurhadi dan menantunya, Rezky Herbiyono.
Adapun terkait terpidana kasus cessie Bank Bali, Joko S Tjandra, ada tiga perkara terkait, yakni kasus pembuatan surat jalan palsu, pengurusan fatwa bebas MA melalui Kejaksaan Agung, dan penghapusan daftar pencarian orang (DPO) Joko Tjandra dari sistem keimigrasian. Dalam ketiga kasus itu, tujuh terdakwa seluruhnya divonis lebih berat dari tuntutan jaksa.
Terkait dengan pemberatan pidana, Wakil Ketua MA Bidang Yudisial Andi Samsan Nganro, Jumat (12/3/2021), mengatakan, tidak ada standar tertentu terkait hal itu, tetapi biasanya pada rasa keadilan.
Secara terpisah, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak mengatakan, terhadap perbedaan putusan dan tuntutan, kejaksaan menghormati proses hukum yang ada.
Meski demikian, Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak berpandangan, dalam perkara terkait Joko Tjandra, satu benang merah yang tampak adalah majelis hakim menilai tuntutan terlalu rendah.
Menurut Barita, perbedaan antara tuntutan dan vonis pada dasarnya hal yang lumrah. Itulah sebabnya terdapat ruang banding dan kasasi. Namun, pedoman penuntutan tetap diperlukan, khususnya jika melibatkan penegak hukum yang mestinya mendapat pemberatan atau hukuman lebih berat.
Atasi disparitas
Pedoman penuntutan dan putusan juga dinilai perlu untuk mengatasi disparitas tuntutan dan putusan. Berdasarkan pantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada semester I tahun 2020, disparitas pemidanaan dan penuntutan terjadi dalam beberapa perkara.
Misalnya, anggota DPR, M Romahurmuziy, divonis 2 tahun penjara. Di sisi lain, Staf Khusus Bupati Kudus, Jawa Tengah, Agoes Soeranto divonis 4 tahun 6 bulan penjara. Keduanya sama-sama dijatuhi hukuman berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Nilai suap Romahurmuziy Rp 255 juta, sedangkan Agoes Rp 50 juta.
Dari sisi penuntutan juga terjadi disparitas. Kepala Dinas Pekerjaan Umum Klaten, Jateng, Abdul Mursyid dituntut 2 tahun 6 bulan, sedangkan Camat Sesayap Hilir, Kalimantan Utara, Muhamad Yakub dituntut 6 tahun. Keduanya sama-sama dituntut dengan Pasal 11 UU Tipikor. Padahal, nilai suap Abdul Rp 202 juta, sedangkan Yakub Rp 75 juta.
Menurut peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, tahun lalu MA mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 yang berisi pedoman bagi hakim untuk pemidanaan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor. Peraturan itu direspons positif.
Namun, ICW memandang, perlu ada pedoman pemidanaan pasal lain dalam UU Tipikor. Sebab, perkara yang berkaitan dengan kejahatan korupsi lain tidak sedikit, seperti suap. Data KPK, sejak 2004 hingga 2020, suap jadi kasus yang terbanyak ditangani lembaga itu, yakni 739 kasus dari total 1.122 kasus.
Direktur Penuntutan KPK Fitroh Rochcahyanto mengakui, KPK banyak menangani perkara terkait pasal suap. Ia pun berharap agar ada pedoman pemidanaan perkara suap (Kompas.id, 5/9/2020).
Koordinator Harian Strategi Pencegahan Korupsi Sekretariat Nasional Pencegahan Korupsi Herda Helmijaya mengungkapkan, KPK dan kejaksaan telah membuat pedoman penuntutan tipikor. Hal tersebut dilakukan untuk menyinergikan pedoman penuntutan tipikor dengan pemidanaannya. Hasil penuntutan diharapkan dapat memberi rasa keadilan yang setara.
”(Pedoman penuntutan yang baru) KPK sudah jadi, tinggal menunggu pengesahan saja. Ada usulan juga agar diintegrasikan menjadi satu pedoman penuntutan mengingat yang disebutkan JPU (jaksa penuntut umum) adalah jaksa, baik yang bertugas di KPK ataupun di Kejaksaan Agung,” kata Herda.
Fokus awal terkait Pasal 2 dan 3 karena rentang hukumannya sangat jauh, yaitu 4 tahun sampai 20 tahun dan setahun sampai seumur hidup. ”Namun, tidak tertutup kemungkinan kita dorong juga perluasan pedoman penuntutan untuk pasal-pasal lain manakala mulai terlihat ada disparitas mencolok. Akan tetapi, hasil pengamatan sementara saat ini belum,” tuturnya.
Saat ini, pedoman yang ada adalah Surat Edaran Jaksa Agung (SEJA) Nomor 3 Tahun 2010. Pedoman ini masih menimbulkan tafsir yang berbeda sehingga sering terjadi disparitas penuntutan, baik di dalam internal Kejaksaan Agung maupun dengan jaksa KPK. Karena itu, SEJA No 3/2020 perlu direvisi untuk mengurangi disparitas penuntutan tipikor.
Target revisi telah tercapai dengan diterbitkannya Pedoman Penanganan Perkara Tipikor Nomor 1 Tahun 2019. Secara substansi, perubahannya adalah besaran tuntutan telah disesuaikan dengan berbagai faktor, seperti persentase uang hasil korupsi yang dinikmati, persentase pengembalian uang hasil korupsi, dan pengaruh pada keuangan negara.
Konsep ini sama dengan konsep pedoman penuntutan yang dibuat oleh tim KPK. Termasuk juga adanya pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu terkait jabatan, pekerjaan, fasilitas perbankan, dan jasa profesi, serta hak politik.
”Dengan adanya kesamaan konsep tersebut, kami optimistis disparitas akan semakin berkurang karena menggunakan pedoman yang serupa. Meskipun demikian, kami juga harus tetap menghormati independensi jaksa penuntut dalam menyusun tuntutannya,” kata Herda.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Krisnadwipayana Indriyanto Seno Adji mengatakan, menghindari disparitas dalam penuntutan dan putusan bukanlah sesuatu yang mustahil. Bahkan, hal tersebut bisa dianggap sebagai kebutuhan.
”Dalam rangka sinkronisasi dan harmonisasi penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana, memang sebaiknya dihindari disparitas penuntutan dan vonis. Ini penting bagi pencari keadilan yang mengalami disparitas pemidanaan,” ujarnya. (PDS/DEA/NAD/ANA)