Selain pemidanaan yang tak bisa diukur, besarnya uang yang dikorupsi tak sebanding dengan hukuman. Putusan pengadilan menimbulkan elegi, yakni elegi ketidakadilan.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Dua kasus mafia peradilan sedang ditangani pengadilan. Dua kasus itu melibatkan Joko Sugiarto Tjandra dan bekas Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung Nurhadi.
Kedua kasus itu ditangani tiga lembaga berbeda dalam penyidikan, yakni Polri, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sama-sama menimbulkan kekecewaan publik terhadap putusan majelis hakim. Persidangan gagal mengungkap siapa di balik masuknya kembali pengusaha Joko Tjandra. Jaksa Pinangki Sirna Malasari yang dituntut rendah oleh jaksa, tetapi dihukum lebih berat oleh majelis hakim, tetap menyimpan rapat siapa ”king maker” yang dimaksud. Majelis gagal mengungkap siapa ”king maker”.
Reaksi eks Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte setelah divonis empat tahun penjara menarik didalami. Vonis hakim itu lebih berat daripada tuntutan tiga tahun oleh jaksa. Semua terdakwa dalam kasus Joko divonis lebih berat daripada tuntutan jaksa. Pinangki dituntut empat tahun penjara oleh koleganya sesama jaksa, tetapi divonis 10 tahun.
Terhadap vonis hakim, Napoleon banding dan berujar, ”Saya lebih baik mati daripada martabat keluarga dilecehkan seperti ini.” Terasa ada ketidakadilan di balik jeritan Napoleon. Banding adalah pilihan dan ruang yang tepat bagi Napoleon untuk membuka apa yang diketahuinya. Janji untuk buka-bukaan pernah disampaikan Napoleon.
Selain pemidanaan yang tak bisa diukur, besarnya uang yang dikorupsi tak sebanding dengan hukuman, putusan pengadilan menimbulkan elegi. Elegi ketidakadilan. Apalagi jika sistem peradilan seperti membiarkan ada orang tidak tersentuh hukum. Situasi ini seperti model ”pengadilan terpimpin”. Pengadilan terpimpin seperti ada yang mengatur siapa yang harus diadili dan bagaimana dituntut dan membiarkan saja orang yang kabur atau tetap menjadi misteri.
Nurhadi, yang memperoleh keuntungan Rp 83 miliar dalam aktivitas mengatur perkara di Mahkamah Agung (MA), divonis enam tahun penjara dari tuntutan 12 tahun penjara. Pinangki, yang terbukti menerima suap 500 juta dollar AS (sekitar Rp 6,6 miliar), dihukum 10 tahun penjara. Dalam pertimbangannya, majelis dalam kasus Nurhadi menolak permintaan jaksa KPK agar Nurhadi membayar uang pengganti Rp 83 miliar. Hakim berpendapat, uang diperoleh Nurhadi dari pihak swasta. Majelis memvonis ringan dengan alasan Nurhadi berjasa bagi MA. Diskon vonis itu tidak menolong perbaikan peradilan.
Dengan menghormati prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman, pertimbangan hakim itu memprihatinkan. Hakim gagal menangkap rasa keadilan masyarakat. Menjadikan perdagangan perkara sebagai upaya memperoleh keuntungan pribadi sama saja dengan merobohkan tembok kebenaran dan keadilan. Sayangnya, prinsip itulah yang dibela majelis hakim dalam kasus Nurhadi. Namun, apa pun ketidakpuasan terhadap putusan tetap harus dijalankan lewat proses pengadilan. Banding harus dilakukan sebagai ikhtiar untuk mengupayakan hadirnya kebenaran dan keadilan.