Peradilan Independen untuk Cegah Penyalahgunaan Pasal Penghinaan Presiden
Pasal Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden di Rancangan KUHP di satu sisi dikhawatirkan bisa digunakan membungkam kritik. Di sisi lain, pasal ini dinilai penting untuk mencegah konflik horizontal.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Beragam rumusan pasal penghinaan Presiden dalam rancangan kitab undang-undang hukum pidana dinilai tidak dapat menutup celah pembungkaman kritik dari masyarakat sipil. Oleh karena itu, dibutuhkan peradilan yang independen untuk menjamin penafsiran hakim dalam membedakan kritik dan penghinaan selalu obyektif.
Aturan tentang penghinaan terhadap Presiden tertera dalam Pasal 217, 218, 219, dan 220 draf Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Pemerintah telah menyerahkan dan mengusulkan draf tersebut untuk masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021 pada awal Juni.
Pada Pasal 217, disebutkan bahwa setiap orang yang menyerang diri Presiden atau Wakil Presiden yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun. Selanjutnya pada Pasal 218 Ayat (1), disebut setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Pasal 218 Ayat (2) menyebutkan, tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Kemudian, Pasal 219 menyebutkan, setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Adapun dalam Pasal 220 Ayat (1) disebutkan, tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan. Pada Ayat (2), pengaduan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden.
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung, Agustinus Pohan dihubungi dari Jakarta, Minggu (13/6/2021), mengakui, keberadaan pasal penghinaan Presiden mengancam demokrasi. Aturan itu bisa digunakan untuk membungkam kritik masyarakat sipil atau alat untuk menghabisi lawan politik Presiden atau Wakil Presiden.
Ia menilai, sebenarnya pemerintah sudah berupaya meminimalkan pembungkaman kritik. Salah satunya dengan merumuskan pidana penghinaan Presiden sebagai delik aduan. Akan tetapi, rumusan itu tidak menutup celah penyalahgunaan karena akan sangat bergantung pada sikap pribadi Presiden atau Wakil Presiden yang tengah menjabat. Oleh karena itu, kekhawatiran terhadap penyalahgunaan pasal akan selalu muncul.
Dalam tataran praktis, pasal itu pun membutuhkan tafsir hakim. Upaya pemerintah dengan membuat rambu-rambu sebagai pedoman hakim dalam menafsirkannya belum cukup. Sejauh ini, masih ada anggapan peradilan Indonesia bisa diintervensi sehingga tafsir hakim terhadap suatu pasal tidak selalu obyektif.
”Sekarang yang dibutuhkan bagaimana kita bisa mendorong agar pengadilan bisa bertindak obyektif, bisa memilah mana yang menghina dan mengkritik. Kalau (peradilan) bisa diintervensi, tafsir hakim akan berpihak pada penguasa,” kata Pohan.
Ia melanjutkan, kini saatnya memberikan kepercayaan pada peradilan. Jika dalam praktiknya putusan hakim memenuhi rasa keadilan, Indonesia justru akan memiliki yurisprudensi yang secara jelas bisa memisahkan antara kritik dan penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden.
Bagi Pohan, keberadaan pasal ini penting untuk mencegah konflik horizontal di tengah masyarakat. Tanpa aturan hukum yang jelas, masyarakat bisa terjerumus dalam perdebatan atau perkelahian tidak berujung jika ada hal-hal yang dianggap menghina Presiden atau Wakil Presiden yang sesuai dengan preferensi politiknya.
Namun, sanksi yang diatur terlalu berat. Pohan mengusulkan, ancaman pidana maksimal satu tahun sudah cukup untuk menciptakan efek jera. Berkaca pada kasus penamparan Presiden Perancis Emmanuel Macron pada Selasa (8/6/2021), pelaku divonis penjara empat bulan.
Jamin kebebasan kritik
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani mengatakan, pasal penghinaan Presiden dalam RKUHP sudah menampung aspirasi masyarakat agar tak disalahgunakan untuk membungkam kritik dari masyarakat sipil. Di antaranya dengan menjelaskan maksud penghinaan atau penistaan.
Pada bagian penjelasan Pasal 218 Ayat (1) draf RKUHP disebutkan, yang dimaksud dengan ”menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri” pada dasarnya merupakan penghinaan yang menyerang nama baik atau harga diri Presiden atau Wakil Presiden di muka umum, termasuk menista dengan surat, memfitnah, dan menghina dengan tujuan memfitnah. Ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk meniadakan atau mengurangi kebebasan mengajukan kritik ataupun pendapat yang berbeda atas kebijakan pemerintah.
Masih di bagian tersebut, penghinaan pada hakikatnya merupakan perbuatan yang sangat tercela, jika dilihat dari berbagai aspek antara lain moral, agama, nilai-nilai kemasyarakatan, dan nilai-nilai hak asasi manusia atau kemanusiaan, karena menyerang/merendahkan martabat kemanusiaan (menyerang nilai universal). Oleh karena itu, secara teoretik dipandang sebagai rechtsdelict, instrinstically wrong, mala per se, dan oleh karena itu pula dilarang (dikriminalisasi) di berbagai negara.
”Pasal karet harus dipagari, dipagarinya itu di penjelasan agar tafsirnya tidak selalu seperti keinginan penegak hukum,” kata Arsul.
Sebelumnya, dalam rapat di Komisi III DPR pada Rabu (9/6), Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menjamin, pasal penghinaan Presiden tidak mengurangi hak masyarakat untuk mengkritik kebijakan Presiden dan pemerintah. Aturan itu dibuat agar kritik yang disampaikan tidak menyerang harkat dan martabat Presiden atau Wakil Presiden secara personal.