Buka Ruang Partisipasi Publik dalam Pembahasan Rancangan KUHP
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sepakat untuk kembali membahas Rancangan KUHP pada tahun 2021. Pembahasan diharapkan dilakukan secara terbuka dengan melibatkan masyarakat.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan DPR diminta untuk tidak mengulang penyusunan rancangan kitab undang-undang hukum pidana secara tertutup seperti pada tahun 2019. Pembahasan selanjutnya harus dilakukan secara transparan dan melibatkan publik. Sebab, sejumlah pasal kontroversial yang dapat memberangus kebebasan masyarakat sipil masih disertakan dalam draf RKUHP.
Pemerintah dan DPR sepakat untuk kembali membuka pembahasan rancangan kitab undang-undang hukum pidana (RKUHP) tahun ini. Dalam rapat kerja Komisi III dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly, Rabu (9/6/2021), disepakati, RKUHP akan dimasukkan dalam daftar prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2021.
Karena pembahasan RKUHP sifatnya melanjutkan, pemerintah tidak akan mengajukan draf RKUHP baru. Pemerintah dan DPR hanya akan membahas pasal-pasal yang pada pembahasan sebelumnya belum disepakati.
Padahal, dalam draf RKUHP yang diajukan pemerintah dan sudah sempat dibahas bersama DPR pada tahun 2019 itu masih terdapat sejumlah pasal yang dinilai kontroversial dan berpotensi memberangus kebabasan sipil.
Berdasarkan analisis Aliansi Nasional Reformasi KUHP, terdapat sejumlah pasal yang berpotensi membatasi kebebasan masyarakat sipil. Salah satunya tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil presiden yang diatur dalam Pasal 218-220 RKUHP.
Selain itu, juga ketentuan tentang pidana penghinaan terhadap pemerintah pada Pasal 240-241, penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara pada (Pasal 353-354), dan pidana penyelenggaraan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi tanpa izin dalam (Pasal 273). Adapula aturan terkait tindak pidana gangguan dan penyesatan proses peradilan yang diatur dalam Pasal 281.
Anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP sekaligus Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia Julius Ibrani, dalam diskusi daring ”Rancangan KUHP dan Pasal-pasal Pembunuh Demokrasi”, Kamis (10/6/2021), mengatakan, pasal-pasal itu akan membatasi ruang gerak masyarakat sipil dalam mengkritik penyelenggaraan negara. Semua tahapan yang biasa ditempuh masyarakat berpotensi mendapat ancaman pidana.
Contohnya gerakan buruh, kritik terhadap kebijakan pemerintah yang merugikan dan memiskinkan mereka bisa dianggap menghina presiden, pemerintah, dan kekuasaan umum atau lembaga negara. Penyampaian kritik melalui aksi demonstrasi pun terancam pidana penyelenggaraan pawai atau unjuk rasa. Selanjutnya, mereka yang dikriminalisasi biasanya memicu solidaritas masyarakat yang mempertanyakan proses hukum dan peradilan. Hal itu juga terancam ditindak pidana terkait gangguan dan penyesatan proses peradilan.
”Ini jelas melanggar HAM, masyarakat sipil (bisa) dipidanakan dengan rangkaian yang sangat runut, bukan asal,” kata Julius.
Ia melanjutkan, sejumlah pasal kontroversial itu bertentangan dengan semangat dekolonialisasi hukum pidana. Masyarakat Indonesia memiliki latar belakang sejarah sebagai korban penjajahan dan keinginan memerdekakan diri. Namun, sebagian dari pasal yang kontroversial itu justru merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda. Pemerintah kolonial saat itu membuatnya demi menjaga kehormatan raja dan ratu di Belanda serta membatasi perlawanan masyarakat jajahan.
Beberapa pasal itu sebenarnya sudah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam Putusan 013-022/PUU-IV/2006, misalnya, MK menyatakan bahwa pasal penghinaan presiden sudah tidak relevan karena menegasikan prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum.
Kemunduran demokrasi
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Koban Tindak Kekerasan (Kontras) Fatia Maulidiyanti menambahkan, RKUHP dengan sejumlah pasal kontroversial itu akan memperburuk demokrasi Indonesia. Tanpa aturan tersebut, kebebasan masyarakat sipil untuk berpendapat dan berekspresi saja sudah kerap dibatasi dengan cara-cara mutakhir, di antaranya serangan digital dan represifitas aparat penegak hukum.
Kontras mencatat, dalam periode Desember 2019-November 2020, ada 938 orang yang ditangkap dengan alasan melanggar protokol kesehatan dalam berdemonstrasi. Terjadi pula 200 penyerangan terhadap pihak yang terkait, paling banyak ketika aksi demonstrasi penolakan Rancangan Undang-Undang tentang Cipta Kerja digelar di sejumlah daerah.
”Hak untuk memprotes adalah bagian paling esensial dalam negara demokrasi, kalau pelarangan ini terbentuk, Indonesia tidak bisa dikatakan sebagai negara demokratis,” kata Fatia.
Ia menambahkan, penyusunan RKUHP hendaknya tidak mengulang proses yang tidak transparan pada 2019. Saat itu, pemerintah dan DPR membahas draf RKUHP tanpa partisipasi publik sehingga memunculkan penolakan besar-besaran yang berakibat pada jatuhnya lima korban jiwa.
”Rakyat masih menunggu aspirasinya didengarkan, (pemerintah dan DPR) jangan sebatas membuat gimmick untuk meredam kemarahan rakyat,” kata Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia Leon Alvinda Putra.
Direktur Center for Media and Democracy Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Wijayanto mengatakan, munculnya RKUHP sejalan dengan kemunduran demokrasi Indonesia yang sudah terjadi beberapa tahun terakhir. Kemunduran itu ditandai dengan adanya pelanggaran aturan main demokrasi, pemberangusan oposisi, dan adanya toleransi terhadap kekerasan negara terhadap masyarakat. Ancaman terhadap kebebasan sipil di ruang maya dan secara langsung, serta politisasi ilmu pengetahuan dan pembatasan kebebasan akademik di universitas juga menandainya.
Berdasarkan laporan The Economist Intelligence Unit pada 2020, indeks demokrasi Indonesia meraih skor 6,3 atau capaian terendah dalam 14 tahun terakhir. ”Indonesia mengalami masalah kemunduran demokrasi yang serius, yang telah mengarah pada putar balik ke arah otoriter,” kata Wijayanto.
Partisipasi publik
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani membenarkan, pemerintah sudah menyerahkan draf RKUHP dan mengusulkannya untuk masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas (Prolegnas) 2021. Draf tersebut sudah disertai catatan hasil sosialisasi RKUHP ke sejumlah daerah.
Namun, pemerintah dan DPR belum menyepakati pembahasan sejumlah pasal kontroversial yang mendapat sorotan publik. Catatan yang didapat dari sosialisasi di berbagai daerah tidak serta merta menjadi dasar untuk meloloskan sejumlah pasal tersebut.
Menurut Arsul, ruang partisipasi publik pun masih terbuka. ”Komisi III juga berencana akan membuat ruang aspirasi, baik dengan diskusi publik maupun rapat dengar pendapat umum (RDPU),” kata Arsul.
Sebelumnya, Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan, sudah ada kesepakatan antara pemerintah dan DPR bahwa RKUHP akan segera masuk dalam prolegnas prioritas 2021. Substansi pembahasan terbatas pada pasal-pasal yang belum tuntas dibahas pada periode 2014-2019, karena RUU ini merupakan peralihan atau carry over dari DPR periode sebelumnya.
Ia mengklaim, sudah membuka ruang partisipasi dan menyerap aspirasi publik dengan sosialisasi RKUHP ke 11 daerah. Terakhir, sosialisasi akan digelar di Jakarta pada 14 Juni mendatang.