RUU KUHP Dinilai Membatasi Kebebasan dan Berpendapat
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS-- Masuknya kembali sejumlah pasal pidana dalam RUU KUHP terkait upaya kritik terhadap pemerintah, menimbulkan ancaman kriminalisasi bagi pegiat anti korupsi maupun jurnalis untuk bebas berpendapat. Padahal, sejumlah pasal ini telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dan sifatnya multi tafsir.
Peneliti Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Lalola Easter mengatakan, ada sejumlah pasal yang hidup kembali pasca dibatalkan MK, seperti pasal 259 RUU KUHP tentang pernyataan permusuhan pada pemerintah dan pasal 238 RUU KUHP tentang penghinaan presiden dan wakil presiden.
Ini seperti pasal zombi yang hidup kembali dan dapat membungkam para pegiat anti korupsi dan masyarakat pada umumnya
"Ini seperti pasal zombi yang hidup kembali dan dapat membungkam para pegiat anti korupsi dan masyarakat pada umumnya," ucapnya dalam diskusi bertajuk \'Mendorong RKUHP yang Pro Pemberantasan Korupsi\' di Jakarta, Minggu (10/6/2018).
Lalola menjelaskan, berdasarkan catata Safe Net, pada 2008 hingga 2017, sudah ada 35 aktivis yang dijerat pasal penghinaan hanya dengan menggunakan UU ITE. Aktivis anti korupsi, aktivis lingkungan, dan jurnalis menjadinyang paling sering dijerat dengan pasal ini.
"Selain itu, ada pasal 380 RUU KUHP tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara, selain itu pidana contempt of court pada pasal 303 huruf C RUU KUHP yang multi tafsir. Jika ada aktivis yang menyerang aktivitas hakim, para aktivis bisa saja dijerat dengan pasal ini," ucapnya.
Padahal, menurut Lalola, kinerja hakim masih belim efektif dalam menangani sejumlah kasus, khususnya kasus korupsi. Selain itu, para pemerintah dan pejabat negara seakan diberi jalan untuk mengkritik dan mengevaluasi dirinya sendiri dengan adanya RUU KUHP ini.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan mengatakan, kebebasan pers sebagai salah satu upaya untuk membongkar kasus korupsi bisa terhambat dengan adanya pasal-pasal di RUU KUHP ini. Ada beberapa pasal yang bisa menghambat kebebasan pers jika tidak diatur rinciannya, seperti penyiaran berita bohong untuk keuntungan dalam Pasal 589 RUU KUHP dan pembocoran rahasia negara dalam pasal 224-225 RUU KUHP.
"Pemerintah dan DPR seharusnya bisa memastikan tidak ada pasal pidana yang dapat mengkriminalisasi kebebasan pers jurnalis dan para narasumbernya," ujarnya.
Pasal transaksional
Masuknya tipikor dalan RUU KUHP dapat menimbulkan risiko sejumlah pasal transaksional dalam peradilan. Peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FH UI) Adery Ardhan mengatakan, masalah kodifikasi RUU KUHP ini tidak jelas arahnya.
"Ada sejumlah pasal dari UU Tipikor yang masuk ke dalam RUU KUHP dengan menetapkan ketentuan sanksi pidana yang berbeda," katanya.
Adery mencontohkan, pada pasal 2 UU tipikor mengatur minimal hukuman pidana selama dua tahun dengan sanksi pidana minimal Rp 200 Juta. Sedangkan, dalam pasal 687 RUU KUHP, mengatur minimal hukuman pidana minimal selama empat tahun, dengan denda mininal yang lebih ringan, sebesar Rp 10 juta.
"Apabila dalam satu kasus terdapat penggunaan dia undang-undang dengan delik yang sama persis, namun ancaman pidananya berbesa, maka akan membuka peluang aparat penegak hukum bisa memperdagangkan pasal tersebut," ujarnya.