Pembahasan Rancangan KUHP Dikhawatirkan seperti RUU Cipta Kerja
Pembahasan Rancangan KUHP dikhawatirkan bernasib sama seperti saat pembahasan RUU Cipta Kerja. Pembahasan terburu-buru. Aspirasi publik tak diserap dengan optimal oleh pemerintah dan DPR.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat diharapkan mengakomodasi masukan dari publik saat akan melanjutkan pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Penyerapan aspirasi publik itu menjadi bagian dari penyusunan undang-undang yang demokratis. Sebab, ada kekhawatiran pembahasannya dilakukan tanpa pelibatan publik yang memadai seperti Undang-Undang Cipta Kerja.
Rencana pembahasan kembali Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) diungkapkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly saat rapat kerja dengan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu (9/6/2021). RKUHP itu akan dimasukkan dalam daftar prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021.
RKUHP sudah diserahkan pemerintah ke DPR dengan disertai catatan hasil sosialisasi RKUHP ke sejumlah daerah. Draf yang diserahkan itu sama persis dengan draf yang ditolak masyarakat melalui unjuk rasa di sejumlah daerah pada September 2019 sehingga kala itu, Presiden Joko Widodo memutuskan agar pengesahannya ditunda.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, di Jakarta, Sabtu (12/6/2021), menyayangkan RKUHP yang diserahkan ternyata sama dengan draf yang mengundang penolakan publik. Apalagi pasal-pasal yang mendapat penolakan, seperti tentang penghinaan, tetap dipertahankan.
”Tidak ada upaya pemerintah menunjukkan semangat untuk menyerap aspirasi yang pernah muncul, padahal mereka sudah melakukan sosialisasi sebelum draf kembali diusulkan ke DPR,” katanya.
Oleh sebab itu, ia berharap agar DPR mendengarkan aspirasi publik yang mulai mengemuka sebelum draf itu dibahas kembali. Aspirasi dari publik itu seharusnya bisa dijadikan bahan untuk mengkritisi draf yang diajukan pemerintah. Apalagi sebagai wakil rakyat, DPR seharusnya bisa mendengar dan menyuarakan kepentingan masyarakat.
Lucius melanjutkan, pembahasan yang dilakukan di masa pandemi Covid-19 ini dikhawatirkan mengurangi peran masyarakat. Sebab, pada pembahasan RUU Cipta Kerja, tahun lalu, pembahasannya juga dianggap kurang melibatkan masyarakat sehingga menimbulkan penolakan. ”Saya khawatir pembahasan RKUHP akan sama seperti RUU Cipta Kerja,” katanya.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan, pemerintah bersama DPR harus membahas ulang draf pembahasan RKUHP secara transparan. Pembahasannya juga harus bisa diakses publik dan melibatkan berbagai pakar.
”Yang terpenting adalah menghapus pasal-pasal yang akan membunuh dan mengekang iklim demokrasi di Indonesia, utamanya dalam kondisi Indonesia saat ini,” katanya.
Menurut dia, ada sejumlah pasal yang bermasalah dan perlu diubah. Pertama, terkait dengan tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden yang diatur dalam Pasal 218-220 RKUHP.
Kedua, terkait tindak pidana penghinaan terhadap pemerintah yang diatur dalam Pasal 240-241 RKUHP.
Selanjutnya, terkait tindak pidana penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara yang diatur dalam Pasal 353-354 RKUHP. Terakhir, yakni terkait tindak pidana penyelenggaraan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi tanpa izin yang diatur dalam Pasal 273 RKUHP.