Usulan revisi UU ITE yang dibuat pemerintah dinilai masih berpotensi multitafsir. Pemerintah menekankan usulan perubahan bukan harga mati. Masukan publik dinantikan.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah memenuhi janjinya untuk membuka ke publik usulan rumusan baru dari sejumlah pasal karet dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE. Namun, usulan itu dinilai masih berpotensi multitafsir saat diterapkan di lapangan. Meski sudah ditambahkan pasal penjelasan, kriterianya masih ambigu.
Dalam konferensi pers, Jumat (11/6/2021), Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, revisi terbatas UU ITE bersifat semantik atau penambahan penjelasan dari sudut redaksional. Meskipun bersifat redaksional, Mahfud mengatakan, revisi itu bersifat substantif karena memuat uraian penjelasan.
Dia mencontohkan, tindak pidana pencemaran nama baik dan fitnah yang diatur Pasal 27 Ayat (3). Dalam usulan revisi versi pemerintah akan dibedakan antara norma pencemaran nama baik dan fitnah.
”Kita jelaskan pula pasal fitnah dan nama baik itu adalah delik aduan. Yang berhak menyampaikan pengaduan dalam tindak pidana pencemaran, fitnah, menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menggunakan pasal ini hanya korban,” terang Mahfud.
Ketua Tim Kajian UU ITE Kemenko Polhukam Sugeng Purnomo menambahkan, dalam usulan revisi Pasal 27 Ayat (3), tindak pidana pencemaran nama baik diuraikan menjadi menyerang kehormatan atau nama baik seseorang. Adapun untuk fitnah, rujukannya masih Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Dalam usulan pemerintah, ancaman hukuman untuk pidana pencemaran nama baik ini juga diturunkan dari empat tahun menjadi dua tahun. Adapun untuk kasus fitnah, ancamannya tetap empat tahun. Menurut Sugeng, ancaman pemidanaan ini menyerap hasil survei koalisi masyarakat sipil terkait vonis yang dijatuhkan hakim dalam perkara-perkara itu.
Pasal 28 Ayat (2) UU ITE pun diusulkan direformulasi agar lebih jelas. ”Di usulan revisi ini kita pertegas dengan norma, bukan hanya menyebarkan masalah SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), tetapi ada menghasut, mengajak, atau memengaruhi ketika dia menyebarkan informasi itu. Kalau hanya menyebarkan tanpa niat ini tidak bisa,” kata Mahfud.
Perubahan juga terjadi pada Pasal 29 UU ITE. Salah satunya, penambahan penjelasan bahwa pasal tersebut ditujukan bagi perbuatan pelaku yang dilakukan secara langsung dan pribadi kepada korban, termasuk perbuatan perundungan yang mengandung unsur ancaman kekerasan atau menakut-nakuti.
Adapun untuk usulan revisi Pasal 36 UU ITE diubah dengan menghilangkan ketentuan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 27-29 sehingga menyisakan Pasal 30-34. Pasal itu di antaranya mengatur tindak pidana intersepsi atau penyadapan, transmisi informasi elektronik, dan mengubah, menambah, mengurangi informasi elektronik.
Selain merevisi Pasal 27, 28, 29, dan 36, pemerintah mengusulkan penambahan satu pasal baru dalam UU ITE, yakni Pasal 45C yang mengatur terkait penyebaran berita bohong.
”Ini baru konsep yang diusulkan tim. Setelah ini kami buka, harapannya mendapatkan berbagai masukan untuk perbaikan. Usulan revisi yang dibuat ini bukan harga mati,” kata Sugeng.
Masih multitafsir
Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi dan Studi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar melihat usulan rumusan pasal baru masih berpotensi multitafsir. Misalnya, norma menggerakkan atau menyebarluaskan ujaran kebencian dengan konten SARA dalam usulan revisi Pasal 28 Ayat (2), penjelasannya dinilai masih ambigu.
”Ini terlihat pada perbuatan menghasut atau menyebarluaskan konten SARA, siapa yang dimaksud? Apakah yang membuat konten SARA atau yang memublikasikannya?” ujarnya.
Selain itu, dalam usulan revisi terdapat perluasan delik dengan mencantumkan tindak pidana penghasutan. Menurut dia, ini justru menambah keluasan cakupan Pasal 28 Ayat (2). Padahal, dalam revisi ini seharusnya yang didorong adalah bagaimana agar norma lebih terbatas sehingga tidak multitafsir dalam penerapannya.
”Setelah melihat rumusan usulan revisi versi pemerintah, kami khawatir justru pasal baru UU ITE ini tidak bisa mengatasi masalah multitafsir di lapangan,” tambahnya.
Selain itu, Wahyudi menyoroti penambahan Pasal 45C. Unsur menciptakan keonaran publik melalui pemberitahuan bohong dinilai sangat subyektif. Sebab, tidak ada definisi yang jelas mengenai apa itu pemberitahuan bohong maupun informasi yang tidak lengkap.
Pasal itu merujuk dari sumber Pasal 14 dan Pasal 15 UU Pengaturan Hukum Pidana yang praktiknya dinilainya sudah bermasalah saat ini. Ketika dimasukkan dalam UU ITE tanpa kriteria yang jelas, akan menimbulkan multitafsir baru. Padahal, dalam konferensi Budapest Cyber Crime Content sudah dijelaskan, tindak pidana sistem elektronik membutuhkan katup pengaman berupa penjelasan detail dan jelas.
”Ketika itu dimasukkan menjadi bagian kecil dalam UU ITE, tak ada penjelasan yang detail, batasan yang jelas sehingga memunculkan masalah baru multitafsir,” ujarnya.
Rombak total
Wahyudi khawatir jika paradigma pemerintah tidak diubah dalam revisi UU ITE ini, situasinya masih sama seperti tahun 2016. Revisi terbatas UU ITE dilakukan tetapi tidak efektif untuk mengatasi masalah multitafsir, dan subyektivitas pasal-pasal UU ITE. Menurutnya, dengan konstruksi UU ITE seperti itu, tidak akan menyelesaikan berpengaruh signifikan dalam penerapannya.
Agar berdampak lebih signifikan, Wahyudi mendorong agar konstruksi pasal UU ITE diubah dengan cara merombak total. Bukan dengan mengubah secara minor pasal-pasal karet UU ITE. Salah satunya adalah dengan mengatur ulang cyber enabled crime atau kejahatan konvensional yang diekstensifikasi dengan teknologi komputer.
Selama ini, menurut Wahyudi, UU ITE masih mencampuradukkan antara kejahatan pidana konvensional dengan kejahatan yang terjadi setelah ada komputer dan teknologi informasi (cyber dependent crime). Tanpa ada pemilihan yang jelas antara dua tindak pidana itu, menurutnya, tidak ada pembatasan yang jelas mengenai tindak pidana yang diatur di UU ITE. Sehingga, rumusan pasal menjadi sangat luas, dan multitafsir.
“Ini perlu disisir ulang agar pasal-pasal yang diatur di UU ITE lebih terbatas cakupannya, sehingga prinsip lex certa lex scricta atau hukum yang jelas dan ketat, serta cermat dan rinci itu bisa terpenuhi,” kata Wahyudi.