Usulan revisi ditekankan pemerintah bukan harga mati. Pemerintah sengaja menyosialisasikan bunyi pasal-pasal yang direvisi ataupun pasal yang baru agar mendapatkan masukan dari publik.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memenuhi janjinya untuk mengungkap kepada publik usulan reformulasi sejumlah pasal karet di Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE. Usulan revisi ditekankan bukan harga mati. Karena itu, masukan dari publik dinantikan.
Dalam konferensi pers, Jumat (11/6/2021), Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, revisi terbatas UU ITE bersifat semantik atau penambahan penjelasan dari sudut redaksional. Meskipun bersifat redaksional, Mahfud mengatakan revisi itu bersifat substantif karena memuat uraian penjelasan.
Dia mencontohkan, tindak pidana pencemaran nama baik dan fitnah yang diatur pasal 27 ayat (3). Dalam usulan revisi versi pemerintah, akan dibedakan antara norma pencemaran nama baik dan fitnah. Untuk tindak pidana pencemaran nama baik, disebut setiap orang yang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal yang dimaksud diketahui orang lain yang dilakukan melalui sarana informasi elektronik, informasi elektronik, dan atau dokumen elektronik.
”Di sini juga kita jelaskan bahwa pasal fitnah dan nama baik itu adalah delik aduan. Yang berhak menyampaikan pengaduan dalam tindak pidana pencemaran, fitnah, menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menggunakan pasal ini hanya korban,” kata Mahfud.
Ketua Tim Kajian UU ITE Kemenko Polhukam Sugeng Purnomo menambahkan, dalam usulan revisi Pasal 27 Ayat (3) tindak pidana pencemaran nama baik diuraikan menjadi menyerang kehormatan atau nama baik seseorang. Adapun untuk tindak pidana fitnah, rujukannya masih pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Di usulan pemerintah, ancaman hukuman untuk pidana pencemaran nama baik ini juga diturunkan dari empat tahun menjadi dua tahun. Adapun untuk ancaman tindak pidana fitnah, tetap sesuai dengan sebelumnya, yaitu ancaman empat tahun.
”Salah satu ukuran yang kita gunakan adalah berbagai perkara pencemaran nama baik itu, pidana yang dijatuhkan antara dua sampai tiga bulan. Ini hasil survei dari koalisi masyarakat sipil, dan itu jadi patokan kami,” kata Sugeng.
Selain itu, di Pasal 28 Ayat (2) diatur tentang penyebaran informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Dalam rumusan pasal baru diperjelas menjadi orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menghasut, mengajak, atau memengaruhi sehingga menggerakkan orang lain mendistribusikan dan atau mentransmisikan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan SARA atau jenis kelamin yang dilakukan melalui sarana informasi elektronik, informasi elektronik, dan atau dokumen elektronik.
”Di usulan revisi ini, kita pertegas dengan norma, bukan hanya menyebarkan masalah SARA, melainkan ada menghasut, mengajak, atau memengaruhi ketika dia menyebarkan informasi itu. Kalau hanya menyebarkan tanpa niat, ini tidak bisa,” kata Mahfud.
Masukan masyarakat
Adapun untuk Pasal 28 Ayat (2) tentang penyebarluasan konten SARA, Sugeng mengakui, norma pasal itu sering menjadi sorotan masyarakat sipil. Oleh karena itu, pemerintah mengusulkan direvisi formulasi kalimatnya menjadi menghasut, mengajak, atau memengaruhi sehingga bisa menggerakkan orang lain.
”Unsur menggerakkan orang lain ini sebelumnya tidak dimuat dalam Pasal 28 Ayat (2) yang saat ini berlaku. Jadi, ujaran kebencian itu harus membuat orang lain tergerak. Tergerak untuk apa? Untuk menimbulkan kebencian atau permusuhan terhadap kelompok tertentu,” ujar Sugeng.
Untuk Pasal 29 UU ITE, diusulkan direvisi dengan penambahan penjelasan orang yang dengan sengaja dan tanpa hak membuat atau mengirimkan informasi atau dokumen elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti untuk diketahui oleh orang yang dikehendaki. Selain itu, ditambah penjelasan bahwa perbuatan itu dilakukan secara langsung dan pribadi kepada korban, termasuk perbuatan perundungan (cyber bullying) yang mengandung unsur kekerasan atau menakut-nakuti.
Adapun untuk usulan revisi Pasal 36 UU ITE diubah dengan menghilangkan ketentuan tindak pidana yang diatur di pasal 27, 28, dan 29. Di usulan revisi pemerintah, pasal 36 mengusulkan tindak pidana yang diatur hanya pasal 30-34 dengan tambahan penjelasan menimbulkan kerugian yang bersifat materiil. Pasal 30-34 ini mengatur mengenai tindak pidana intersepsi atau penyadapan, transmisi informasi elektronik, mengubah, menambah, mengurangi informasi elektronik, membuka informasi rahasia menjadi dapat diakses oleh publik, mengganggu sistem elektronik, hingga memproduksi atau menjual perangkat keras, atau lunak komputer.
Selain merevisi empat pasal karet UU ITE, yaitu Pasal 27, 28, 29, dan 36, pemerintah juga mengusulkan penambahan satu pasal baru di UU ITE, yaitu terkait penyebaran berita bohong. Norma baru itu diatur dalam pasal tambahan 45C.
Pasal 45C mengatur penyebaran berita bohong itu merujuk pada Pasal 14 dan Pasal 15 UU No 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Pasal tambahan baru itu diformulasikan uang menjadi pemberitahuan berita bohong yang menimbulkan keonaran di dalam masyarakat. Tindak pidana itu diancam hukuman maksimal 10 tahun seperti diatur di UU No 1/1946.
Adapun untuk Pasal 45C Ayat (2) mengatur penyebaran berita bohong atau informasi tidak pasti, tidak lengkap yang menimbulkan keonaran di masyarakat. Tindak pidana ini diancam hukuman maksimal empat tahun.
”Ini baru konsep yang diusulkan oleh tim, setelah ini kami buka, harapannya mendapatkan berbagai masukan untuk perbaikannya. Usulan revisi yang dibuat ini bukan harga mati. Ini adalah rekomendasi yang masih mungkin berubah dengan pertimbangan dan argumentasi tertentu,” kata Sugeng.