Jika Pimpinan KPK Tak Hadir Lagi, Komnas HAM Tetap Keluarkan Rekomendasi
Komnas HAM melayangkan panggilan kedua sekaligus yang terakhir bagi pimpinan KPK terkait dugaan pelanggaran HAM dalam proses alih status pegawai KPK. Jika tak hadir lagi, Komnas HAM tetap akan mengeluarkan rekomendasi.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia melayangkan surat pemanggilan kedua terhadap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi terkait polemik tes wawasan kebangsaan yang jadi syarat alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara. Terhadap panggilan ini, Komnas HAM berharap pimpinan KPK dapat memanfaatkannya sebagai ruang klarifikasi.
Sebelumnya diberitakan, pimpinan KPK tak hadir memenuhi panggilan Komnas HAM pada Selasa (8/6/2021). Namun, pimpinan KPK telah berkirim surat kepada Komnas HAM pada Senin (7/6/2021). Dalam surat itu, pimpinan KPK ingin meminta penjelasan terlebih dahulu soal bagian mana yang dianggap pelanggaran HAM di dalam pelaksanaan alih status pegawai KPK.
Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, dalam jumpa pers di kantor Komnas HAM, Jakarta, Rabu (9/6/2021), mengatakan, surat panggilan kedua telah dikirim ke pimpinan KPK. Ia berharap, Selasa pekan depan, pimpinan KPK dapat memenuhi panggilan Komnas HAM.
”Kami berharap (panggilan) yang kedua ini yang terakhir, kesempatan yang terakhir. Agar apa? Agar kasus ini, peristiwa ini, segera bisa kami rumuskan, apakah ini pelanggaran HAM atau tidak,” ujar Anam.
Lebih jauh dari itu, lanjut Anam, pemenuhan panggilan ini penting agar Komnas HAM mendapatkan penjelasan terkait bagaimana peristiwa alih status pegawai KPK terjadi. Dengan begitu, publik juga mendapatkan gambaran yang utuh. ”Kalau di media sosial, kan, si A ngomong A, si B ngomong B, ngomong macam-macam sehingga membingungkan publik,” tutur Anam.
Menurut Anam, pemanggilan ini harus dimaknai sebagai satu forum kesempatan dan hak. Sebab, Komnas HAM tidak bisa asal menyangkakan siapa pun sebagai pelanggar HAM. Semua harus ada prosedurnya dan Komnas HAM sedang melaksanakan prosedur itu.
Selain itu, lanjut Anam, pemenuhan panggilan ini juga menjadi suatu proses yang baik bagi semua pihak untuk saling menghargai antar-institusi, untuk mendapatkan hak pembelaan diri, serta memberikan kesempatan untuk menjelaskan pengaduan yang diterima oleh siapa pun penegak hukum, termasuk Komnas HAM.
”Pemanggilan ini harus dimaknai sebagai satu kesempatan untuk mengklarifikasi, untuk mendalami, untuk memberikan informasi yang seimbang. Keseimbangan informasi ini, kan, penting. Orang tidak boleh dinilai sebelum mereka dikasih kesempatan untuk membela diri. Itulah yang kami tekankan,” ucap Anam.
Dalam pemeriksaan terhadap piminan KPK nanti, Komnas HAM setidaknya akan mendalami lima kluster. Lima kluster itu terdiri atas 20-30 pertanyaan. Jenis pertanyaan itu meliputi pertanyaan substansi serta pertanyaan konfirmasi. Pertanyaan konfirmasi misalnya sekadar mengonfirmasi betul atau tidaknya suatu dokumen, betul atau tidaknya suatu peristiwa.
”Nah, kalau ini tidak dikonfirmasi dan kami anggap ini sesuai dengan dokumen yang ada, ya, kami akan simpulkan. Padahal ini kesempatan yang baik (untuk memberikan klarifikasi). Oleh karena itu, kami berharap minggu depan, kami bisa bertemu untuk mendapat keterangan pimpinan KPK,” kata Anam.
Tetap sah
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, menurut Anam, Komnas HAM berhak memanggil siapa pun dan berhak untuk mendapatkan keterangan siapa pun.
Jika pimpinan KPK kembali tidak memenuhi panggilan Komnas HAM, Anam menjelaskan, penggalian informasi dari berbagai pihak akan terus dilakukan untuk dapat merumuskan sebuah peristiwa. Dari berbagai sumber pihak itu, saksi juga bisa dikonfrontasi satu dengan yang lain. Selain itu, penggalian informasi bisa dilakukan melalui bukti penunjang seperti dokumen.
”Nah, dari sumber itulah yang akan kami gunakan jika seandainya para pihak yang lain tak mau hadir. Kalau tidak mau hadir, berarti (dia) melepaskan haknya, melepaskan kesempatannya. Tetapi, apakah Komnas HAM bisa merumuskan (rekomendasi) kalau para pihak itu tidak hadir? Bisa,” ujar Anam.
Anam pun memastikan, penggalian informasi akan dilakukan secara komprehensif dan tetap memegang teguh obyektivitas. Komnas HAM tidak akan serta-merta menelan keterangan dari para saksi, apalagi sampai menyimpulkannya dalam konstruksi peristiwa.
Komnas HAM akan memanggil para ahli untuk menguji pemeriksaan faktual yang telah dilakukan. Ia berharap, pemeriksaan faktual dapat selesai minggu depan kelar. Setelah itu, Komnas HAM bisa memasuki tahap pemeriksaan oleh para ahli.
”Sehingga bulan ini, kami harap bisa kelar. Jangan geser-geser lagi karena kasus-kasus lain menunggu. Publik juga menunggu bagaimana peristiwa ini terjadi. Kami berharap, akhir bulan ini sudah kelar, minimal bulan depan awal sudah bisa kami umumkan (hasilnya),” tutur Anam.
Sementara itu, pada Rabu ini, Komnas HAM telah memeriksa pihak Badan Kepegawaian Negara (BKN). Dalam pemeriksaan, Komnas HAM mendalami level kebutuhan asesmen, instrumen dan metodologi yang digunakan untuk alih status pegawai KPK, serta lembaga-lembaga atau instansi mana yang bekerja sama dengan BKN dalam penyelenggaraan tes itu.
Menghormati
Secara terpisah, Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri menyampaikan, dalam surat yang dikirimkan kepada Komnas HAM pada 7 Juni lalu, KPK sekadar ingin memastikan terlebih dulu pemeriksaan dugaan pelanggaran HAM apa terkait pelaksanaan tes wawasan kebangsaan dalam pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN.
Ia mengklaim bahwa pelaksanaan tes wawasan kebangsaan telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN, serta Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN.
”Hal ini penting agar kami bisa menyampaikan data dan informasi sesuai dengan yang dibutuhkan dalam pemeriksaan tersebut,” ujar Ali.
KPK, lanjut Ali, menghormati tugas pokok, fungsi, dan kewenangan Komnas HAM. Selanjutnya, KPK menunggu balasan surat yang sudah dikirimkan ke Komnas HAM pada 7 Juni 2021 tersebut.