BPKP Ungkap Lima Masalah Utama Pengelolaan Dana Otsus Papua
BPKP menemukan ada lima permasalahan pada pengelolaan dana otonomi khusus Papua. Permasalahan itu di antaranya alokasi tidak tepat sasaran serta pengadaan barang dan jasa yang tidak tepat.
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan menemukan lima masalah utama dalam tata kelola dana otonomi khusus Papua. Masalah itu meliputi penyaluran dana otsus yang tidak tepat waktu, lambatnya penetapan alokasi dana otsus, alokasi tidak tepat sasaran, pengadaan barang dan jasa tidak tepat sehingga hasil pekerjaan tidak bermanfaat, serta silpa anggaran yang tidak dikelola dengan baik.
Lima permasalahan utama pengelolaan dana otsus Provinsi Papua dan Papua Barat itu diungkap oleh Kepala BPKP Muhammad Yusuf Ateh saat rapat kerja dengan Panitia Khusus Otsus Papua DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (2/6/2021).
Ateh menyampaikan, dalam periode 2016-2019, BPKP mengawasi dan mengaudit tata kelola dana otsus di Provinsi Papua dan Papua Barat. Pada tahun 2020, BPKP tidak melakukan audit dan pengawasan karena terkendala pandemi Covid-19. Dalam kegiatan pengawasan dan audit laporan keuangan itu, BPKP mengatakan tidak semua kabupaten dan kota di Provinsi Papua dan Papua Barat diawasi dan dievaluasi. Pada tahun 2016, BPKP hanya mengawasi 11 pemda. Tahun 2017, audit hanya di dua pemda. Tahun berikutnya, 2018 dan 2019, audit juga dilakukan di sejumlah pemda di Papua dan Papua Barat.
”Dari pengalaman selama lima tahun itu, masalah utamanya ada di lima hal yang kami sampaikan di atas sehingga kami juga memberikan rekomendasi dan pendampingan kepada pemda,” ujar Ateh.
Baca juga : Pengelolaan Dana Otsus Papua Membutuhkan Pembenahan
Ateh menjelaskan, dari lima permasalahan utama tersebut, BPKP melakukan pembinaan kepada pemda untuk memperbaiki pengelolaan keuangan daerah. Salah satunya dengan penggunaan sistem informasi manajemen daerah (simda) dalam laporan keuangan dan kas daerah.
Pada tahun 2019, dari 30 pemda, baru 18 pemda yang menggunakan sistem keuangan daerah dan sistem keuangan desa. Adapun di Provinsi Papua Barat, seluruh pemda, yaitu 14 kabupaten dan kota, sudah menggunakan simda.
”Masih banyak yang harus diperbaiki dari tata kelola keuangan daerah di Papua, terutama dalam kaitannya untuk pengawasan dana otsus. Misalnya, perbaikan perencanaan dan penganggarannya, kami terus bimbing daerah agar ada perbaikan,” kata Ateh.
Sebelumnya, dalam rapat Pansus Otsus Papua DPR pada Kamis (27/5/2021), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengungkap kinerja keuangan pemerintah daerah Papua dan Papua Barat memang belum optimal. Di Provinsi Papua, misalnya, sebanyak 51,7 persen kabupaten/kota mendapatkan opini disclaimer dan adverse dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada tahun 2018.
Masih banyak yang harus diperbaiki dari tata kelola keuangan daerah di Papua, terutama dalam kaitannya untuk pengawasan dana otsus. Misalnya, perbaikan perencanaan dan penganggarannya, kami terus bimbing daerah agar ada perbaikan.
Adapun alokasi belanja pendidikan, yang seharusnya 30 persen sesuai amanat undang-undang, hanya terealisasi 4,28 persen di Papua dan 3,52 persen di Papua Barat pada tahun 2013-2017. Alokasi belanja kesehatan yang seharusnya 15 persen juga baru terealisasi 7,43 persen di Papua dan 2,56 persen di Papua Barat pada tahun yang sama.
Bappenas juga menyebut proporsi silpa (sisa lebih penggunaan anggaran) di kedua provinsi tersebut relatif besar dibandingkan total belanja daerah. ”Dana silpa tidak dikelola dengan baik, misalnya tidak dianggarkan kembali dalam APBD selanjutnya. Penggunaan silpa tersebut juga tidak jelas,” terang Ateh.
Baca juga : Akuntabilitas Dana Otsus yang Rendah Jadi Sorotan
Dalami faktor lain
Anggota Pansus Otsus Papua dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Guspardi Gaus, mengatakan, total dana otsus Papua yang telah dikucurkan selama 20 tahun mencapai lebih dari Rp 1.000 triliun. Namun, ternyata, realisasinya, serapan anggaran itu untuk program prioritas seperti kesehatan dan pendidikan masih rendah.
Dari catatan Bappenas sebelumnya, alokasi anggaran untuk dua sektor dasar itu di bawah 10 persen. Menurut Guspardi, fakta itu sangat memprihatinkan. Sebab, percepatan pembangunan yang diharapkan terjadi di Papua tidak sesuai dengan harapan. Karena itu, wajar jika kemudian warga Papua mengatakan dampak dari kebijakan otsus Papua tidak terasa.
”Apakah BPKP bisa menjelaskan kepada kami bagaimana penggunaan anggaran yang sudah dikucurkan itu kepada kami? Apa efek domino dari anggaran tersebut, baik dari pembangunan infrastruktur maupun SDM di Papua dan Papua Barat?” kata Guspardi.
Anggota Pansus Otsus Papua dari Fraksi Demokrat, Willem Wandik, mengatakan, otoritas dari pemerintah pusat seharusnya tidak sepenuhnya menyalahkan daerah soal tata kelola dan penggunaan dana otsus yang buruk. Menurut dia, faktor lain juga harus digali lebih dalam. Misalnya, penyaluran dana otsus yang tidak tepat waktu karena biasanya baru dicairkan pada akhir tahun sehingga sulit diserap. Selain itu, ada pula faktor lambatnya penetapan alokasi dana otsus, baik untuk pengadaan barang maupun jasa. Dana silpa yang besar pun seharusnya dapat dikaji lebih dalam apa faktor penyebabnya.
”Ini harus disampaikan secara lebih komprehensif agar kami memiliki gambaran yang jelas mengenai masalah dana otsus yang sudah dijalankan selama 20 tahun ini. Jangan sampai ada pernyataan yang sekadar meremehkan penyelenggaraan di daerah. Padahal, ada faktor lain yang jadi penyebabnya,” tutur Willem.
Baca juga : Serap Aspirasi Rakyat Papua Seluas-luasnya
Penegakan hukum
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Papua Barat, Filep Wamafma, menambahkan, jika memang pengelolaan dana otsus begitu buruk, mengapa selama ini rekomendasi yang dikeluarkan oleh BPK ataupun BPKP hanya terbatas pada perbaikan administratif. Mengapa tidak ada penegakan hukum yang dilakukan jika memang ada pelanggaran hukum.
Menurut dia, jika memang ada penyelewengan anggaran yang dapat dibuktikan, seharusnya diproses hukum agar memberikan efek jera. Selain itu, juga untuk memberikan kejelasan bagi publik bahwa memang dana otsus tersebut dikorupsi oleh oknum tertentu. Aspek penegakan hukum juga perlu diperjelas dan diperbaiki dalam konteks pengelolaan dana otsus.
”Harus jujur bahwa belum ada pranata hukum yang jelas untuk mengawasi tata kelola dana otsus. BPKP juga harus memberikan rekomendasinya dalam hal tersebut,” tegas Filep.
Jika memang pengelolaan dana otsus begitu buruk, mengapa selama ini rekomendasi yang dikeluarkan oleh BPK ataupun BPKP hanya terbatas pada perbaikan administratif. Mengapa tidak ada penegakan hukum yang dilakukan jika memang ada pelanggaran hukum. (Filep Wamafma)
Ateh menjawab, audit yang dilakukan BPKP memang tidak mengarah pada penegakan hukum. Namun, ada sejumlah kasus yang dikoordinasikan dengan aparat penegak hukum apabila ada bukti perbuatan melawan hukum. Menurut dia, lembaga yang memiliki kewenangan lebih besar untuk melakukan audit investigasi kerugian negara adalah BPK.
Selain itu, lanjut Ateh, BPKP juga memiliki kendala untuk mengukur efektivitas pemanfaatan dana otsus. Sebab, selama ini, belum ada desain besar pembangunan di Papua. BPKP selama ini hanya mengawasi apakah target pembangunan di Papua dan Papua Barat berhasil dan sesuai peruntukan atau tidak. Hasil temuannya pun masih terbatas pada penyimpangan dana otsus yang membuat volume pekerjaan berkurang, adanya denda keterlambatan pembangunan, atau pembangunan proyek tidak tepat sasaran.
”Di beberapa daerah yang kami audit, kalau memang rekomendasi BPKP tidak diselesaikan, ada penegakan hukum. Namun, selama ini rekomendasi perbaikan yang kami lakukan rata-rata selesai,” kata Ateh.
Dalam rapat kerja itu, selain BPKP, BPK juga diundang. Namun, BPK tidak bisa hadir karena kendala teknis. Ketua Pansus Otsus Papua Komaruddin Watubun mengatakan, BPK akan diundang ulang dalam agenda rapat kerja selanjutnya.
Baca juga : Pelayanan Publik Menjadi Tolok Ukur Keberhasilan Otonomi Khusus
Ribuan pengungsi
Sementara itu, di Papua, sebanyak 3.019 orang dari 23 kampung atau desa di Kabupaten Puncak mengungsi dari rumahnya selama sebulan terakhir. Mereka mengungsi untuk menghindari kontak senjata antara aparat keamanan dan kelompok kriminal bersenjata. Informasi itu disampaikan Kepala Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Wilayah Papua Frits Ramandey di Jayapura, Rabu (2/6/2021).
Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara saat dikonfirmasi mengatakan, pihaknya memang mendapatkan informasi dari perwakilan wilayah Papua bahwa ada gelombang pengungsian setelah operasi penegakan hukum di Papua. Namun, pihaknya belum mendapatkan informasi detail mengenai identifikasi para pengungsi tersebut, misalnya berapa jumlah total pengungsi, berasal dari mana, dan tersebar di berapa titik pengungsian.
Dalam kondisi kontak senjata antara aparat keamanan dan kelompok kriminal bersenjata, seharusnya pemda bertanggung jawab mendata dan mengidentifikasi para pengungsi. Pemda juga berkewajiban hadir memenuhi kebutuhan pokok pengungsi. (Beka Ulung Hapsara)
”Termasuk juga kebutuhan apa saja yang paling mendesak para pengungsi, kami juga belum mendapatkan informasinya secara detail,” kata Beka.
Baca juga : Pemerintah Diminta Antisipasi Eskalasi Kekerasan di Papua
Beka menjelaskan, dalam kondisi kontak senjata antara aparat keamanan dan kelompok kriminal bersenjata (KKB), seharusnya pemda bertanggung jawab mendata dan mengidentifikasi para pengungsi. Pemda juga berkewajiban hadir memenuhi kebutuhan pokok pengungsi, misalnya memberikan tempat berlindung yang aman serta memenuhi kebutuhan pokok mereka.
”Pemda harus menjamin rasa aman warga sipil yang terdampak kontak senjata antara KKB dan aparat keamanan. Mereka juga memastikan warga sipil yang mengungsi itu tidak menjadi korban dari aparat maupun KKB,” tegas Beka.