Serap Aspirasi Rakyat Papua Seluas-luasnya
Pansus RUU Otonomi Khusus Papua DPR bersama pemerintah akan terjun ke Papua untuk menyerap aspirasi tokoh agama dan masyarakat adat terkait revisi UU Otsus Papua. Ini penting agar revisi tak bersifat elitis.
JAKARTA, KOMPAS — Pembahasan revisi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua perlu dilakukan dengan membuka masukan seluas-luasnya dari berbagai elemen masyarakat, khususnya dari Papua. Pembahasan yang akomodatif diharapkan dapat meminimalkan penolakan terhadap revisi UU Otsus Papua. Pembahasan RUU itu harus pula menyentuh aspek mendasar dari persoalan di Papua.
Upaya mendengarkan aspirasi dari rakyat Papua itu penting untuk menghindari eskalasi kekerasan yang mungkin meningkat sejalan dengan rencana pembahasan RUU Otsus Papua. Dalam beberapa hari terakhir, misalnya, kelompok kriminal bersenjata (KKB) membakar sejumlah sekolah di Beoga, Kabupaten Puncak, Papua. Tak hanya fasilitas belajar, KKB juga menembak mati dua guru di Beoga, yakni Oktovianus Rayo dan Yonatan Renden. KKB menuding mereka sebagai mata-mata aparat keamanan.
Guru Besar Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cahyo Pamungkas saat dihubungi, Selasa (13/4/2021) dari Jakarta, mengatakan, ada sejumlah faktor yang menyebabkan konflik di Papua menjadi kian memanas. Salah satunya, ekses dari pendekatan keamanan yang berlebihan. Artinya, strategi pengelolaan konflik yang represif dan tidak mengedepankan pendekatan dialogis, kesejahteraan, dan perdamaian semakin memperumit masalah di tanah Papua.
Strategi pengelolaan konflik yang represif dan tidak mengedepankan pendekatan dialogis, kesejahteraan, dan perdamaian semakin memperumit masalah di tanah Papua.
Di sisi lain, pembahasan revisi UU Otsus Papua secara tidak langsung ikut menambah kekecewaan bagi masyarakat Papua saat ini. Selain dampak otsus selama 20 tahun yang belum terasa, proses pembahasan RUU Otsus kali ini dinilai tertutup dan terkesan elitis.
Baca juga : DPRD Papua Siapkan 300 Poin Usulan RUU Otsus
”Itu hanya menambah luka, kekecewaan, dan distrust (ketidakpercayaan). Revisi UU Otsus yang tidak dibuat dari bawah membuat situasi semakin panas. Meski tidak secara langsung, tetapi berkontribusi. Kekecewaan itu, kan, di tingkat elite (di pemda Papua), tetapi kemudian ditransformasikan ke tingkat massa,” kata Cahyo.
Oleh karena itu, menurut Cahyo, konsultasi publik harus lebih dikedepankan. DPR dan Kementerian Dalam Negeri perlu turun ke tujuh wilayah adat di Papua. Pemerintah harus mendengarkan tokoh masyarakat adat dengan turun langsung ke honai-honai, juga mendatangi gereja-gereja.
”Pemerintah dan DPR harus betul-betul merangkul dan mendengarkan suara mereka. Kalau itu tidak dilakukan, saya kira, sebagus apa pun revisi UU Otsus tidak akan diterima. Jadi, kata kuncinya, mendengarkan dan mengakomodasi suara-suara orang asli Papua,” tutur Cahyo.
Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU Otsus Papua DPR Komarudin Watubun mengatakan, upaya mendengarkan aspirasi dari berbagai pihak sudah menjadi agenda tim pansus. ”Itu yang sedang kami persiapkan, yaitu mengadakan rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan masyarakat, stakeholder di Papua dan Papua Barat. Masyarakat boleh menyampaikan aspirasinya kepada pansus. Kami juga sedang mengagendakan kunjungan ke Papua,” ucapnya.
Ia juga membantah adanya anggapan pembahasan RUU Otsus Papua itu bersifat top down atau elitis, karena pansus DPR justru ingin menyerap aspirasi dari sebanyak mungkin pihak. Tidak hanya dari masyarakat Papua, tetapi juga dari unsur pemerintahan dan pihak terkait di Papua, termasuk aparat TNI-Polri.
”Ini yang harus saya luruskan, karena RUU ini, kan, usulan dari pemerintah, dan ketika di DPR, mekanismenya ialah pembahasan bersama dengan pemerintah. Pansus DPR mengagendakan pertemuan dan RDPU dengan berbagai pihak, seperti LIPI, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, Panglima TNI, Polri, dan banyak lagi. Yang utama juga masukan dari masyarakat Papua dan Papua Barat,” ucapnya.
Baca juga : Pemprov dan DPRD Papua Tuntut Revisi UU Otsus Tidak Parsial
Draf elitis
Seluruh aspirasi itu, lanjut Komarudin, akan menjadi bahan dalam penyusunan daftar inventarisasi masalah (DIM) oleh fraksi-fraksi. Kompilasi dari DIM fraksi itulah yang akan menjadi bahan pembahasan pansus DPR bersama pemerintah sebagai pengusul RUU Otsus Papua. Adapun anggapan yang menyebut penyusunan draf RUU Otsus Papua tidak mendengarkan masukan dari bawah, menurut anggota Komisi II DPR itu, tidaklah tepat.
”Usulan ini datang dari pemerintah. Kemendagri sebenarnya telah mengirimkan surat kepada pemerintah daerah Papua dan Papua Barat sejak 2019. Isi suratnya tentang akan dilakukan revisi terbatas terhadap pasal-pasal di dalam UU Otsus Papua. Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat serta DPR Papua dan Majelis Rakyat Papua agar segera menyampaikan aspirasi, masukan-masukan dalam rangka revisi itu. Namun, yang merespons dengan baik hanya Papua Barat,” kata Komarudin.
Sementara itu, Pemprov Papua justru mengusulkan pembahasan RUU Otsus Papua Plus. Sebagai informasi, RUU Otsus Papua Plus sebelumnya pernah diajukan oleh pemerintahan di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ketika itu, pembahasan RUU tersebut terhenti karena masa jabatan DPR 2009-2014 habis. Pada saat itu, belum ada aturan pembahasan RUU diteruskan dengan sistem carry over. Oleh karena itu, jika pembahasan ingin dilakukan lagi pada DPR periode berikutnya, harus dimulai lagi dari nol. Pada DPR periode 2014-2019, di bawah administrasi pemerintahan baru, RUU Otsus Papua Plus tidak lagi dibahas.
Komarudin menilai, di situlah ada komunikasi yang kurang baik terkait dengan isu revisi UU Otsus Papua. Sebab, seolah-olah mekanisme permintaan pendapat dari bawah tidak dilakukan oleh pemerintah, dan draf itu bersifat elitis atau dari pemerintah pusat. Meskipun demikian, pansus DPR dalam kerjanya nanti akan membenahi hal itu dengan menyerap aspirasi dan masukan dari bawah sebanyak mungkin.
”Di satu sisi, kami juga bekerja dikejar waktu karena 2021 harus ada payung hukum bagi penambahan dana otsus dan pemekaran wilayah. Dengan waktu yang terbatas ini, kami berusaha semaksimal mungkin untuk menyerap aspirasi masyarakat. Pembahasan ini tidak boleh asal-asalan sebab akan berlaku selama 20 tahun ke depan,” ucapnya.
Pansus DPR dalam kerjanya nanti akan membenahi hal itu dengan menyerap aspirasi dan masukan dari bawah sebanyak mungkin.
Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Bahtiar saat dihubungi di Jakarta, Selasa, mengatakan, tindakan KKB beberapa hari terakhir di Kabupaten Puncak, Papua, sudah dapat dikategorikan sebagai aksi teror, yang dapat mengancam keselamatan warga. Atas alasan apa pun, tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan.
”Itu, kan, tindakan kriminal, bahkan sampai guru yang dibunuh. Jadi, seluruh rakyat Indonesia harus mengecam keras tindakan itu. Menggunakan hukum apa pun, itu tidak benar. Apalagi, mereka (KKB) memakai alasan penolakan atas perpanjangan otsus, enggak ada. Papua itu wilayah NKRI, selesai,” ujar Bahtiar.
Namun, terkait substansi revisi UU Otsus Papua, lanjut Bahtiar, pemerintah berjanji akan terbuka pada setiap masukan yang ada. Bahkan, Pansus RUU Otsus Papua dan pemerintah juga akan mengagendakan terjun langsung ke Papua guna mendengar masukan dari tokoh agama dan tokoh masyarakat asli Papua. Dengan begitu, hasil revisi UU Otsus Papua ke depan bisa lebih menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat asli Papua.
”Jadi, mendengar masukan dari berbagai pihak sudah menjadi bagian dari agenda tim pansus. Sudah pasti itu. Minggu lalu juga kami sarankan ke Pak Mendagri keliling ke Papua untuk berdiskusi dengan forkopimda (forum koordinasi pimpinan daerah) setempat,” ucap Bahtiar.
Perhatikan HAM
Sementara itu, Wakil Ketua Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Fernando Sinaga mengatakan, DPD sepakat dengan adanya revisi UU No 21/2001 tentang Otsus Papua. Akan tetapi, DPD mengusulkan agar revisi yang dilakukan tidak dibatasi hanya tiga pasal sebagaimana di dalam draf. DPD menilai revisi UU Otsus Papua semestinya tidak hanya sebatas memperpanjang keberlakuan dana otsus, tetapi juga dijadikan momentum untuk menyelesaikan berbagai persoalan di Papua melalui kebijakan yang tepat.
Terkait isu Papua, Komite I DPD juga telah membentuk pansus. Pansus Papua bentukan DPD itu mencatat ada empat persoalan mendasar yang masih dihadapi Papua saat ini. Persoalan itu ialah adanya perbedaan pemahaman dan pandangan tentang sejarah Papua, persoalan hak asasi manusia (HAM), pembangunan yang belum sepenuhnya terealisasi, dan marjinalisasi terhadap orang asli Papua.
”Oleh karena itu, DPD menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam proses pembahasan RUU ini. Pembahasan RUU ini harus dipastikan melibatkan masyarakat adat dan Majelis Rakyat papua, serta mengakomodasi berbagai masukan yang berasal dari masyarakat Papua, baik tertulis maupun tidak tertulis,” kata Fernando.
Empat persoalan mendasar sebagai bagian dari temuan Pansus Papua DPD itu, menurut Fernando, sebaiknya juga dijadikan bahan dalam pembahasan RUU Otsus Papua. Dengan demikian, revisi itu tidak hanya mengatur soal penambahan dana otsus dan pemekaran wilayah, tetapi juga menyentuh persoalan mendasar yang ditemui di Papua. Salah satunya yang mendesak untuk segera diatasi ialah mengenai pelanggaran HAM.
Wakil Ketua Pansus Papua DPR Yan Permenas Mandenas mengatakan, persoalan HAM memang harus segera diatasi. Saat ini yang ada di dalam draf baru terbatas pada dua hal. ”Soal penyelesaian masalah HAM, nanti akan kita lihat di dalam proses pembahasan setelah pansus menyerap aspirasi masyarakat,” ujarnya.