Pemerintah Diminta Antisipasi Eskalasi Kekerasan di Papua
Dalam satu pekan terakhir, tindakan kekerasan di Papua menjadi perhatian banyak pihak. Karena itu, pemerintah diharapkan segera menangani eskalasi kekerasan tersebut di Papua. Setidaknya, kekerasan bisa diantisipasi.
Oleh
RINI KUSTIASIH DAN NIKOLAUS HARBOWO
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah diharapkan segera menangani eskalasi kekerasan di Papua dalam beberapa waktu terakhir ini. Sekalipun kekerasan itu tidak dapat langsung disimpulkan terkait dengan rencana pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, tindakan antisipasi harus dilakukan oleh pemerintah dan DPR untuk mencegah eskalasi yang kian meruncing seiring dengan pembahasan legislasi tersebut.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera, Kamis (15/4/2021), di Jakarta, mengatakan, dalam satu pekan terakhir, tindakan kekerasan di Papua menjadi perhatian banyak pihak. Aspirasi langsung dari warga Papua wajib didengarkan untuk menghindari eskalasi kekerasan yang berpotensi meningkat seiring dengan pembahasan RUU Otsus Papua.
”Jika ingin menuju model resolusi konflik seperti perundingan Helsinki, tahun 2005, pemerintah mesti melihat persoalan Papua dengan paradigma dan perspektif yang lebih demokratis. Penanganan keamanan yang dilakukan harus tetap dalam bingkai kerangka hukum yang proporsional,” ucapnya.
Beberapa hari terakhir, misalnya, kelompok kriminal bersenjata (KKB) membakar sejumlah sekolah di Beoga, Kabupaten Puncak, Papua. Tak hanya fasilitas belajar, KKB juga menembak mati dua guru (Kompas, 15/4/2021).
”Upaya menuju resolusi konflik di Papua itu pun hendaknya harus diiringi dengan proses dialog. Salah satunya dengan membangun ruang komunikasi dengan berbagai stakeholder yang strategis di Papua. Kelompok-kelompok tersebut dijadikan satu ruang oleh pemerintah untuk duduk bersama, lebih baik, lebih inklusif, dan lebih demokratis,” katanya.
Jika ingin menuju model resolusi konflik seperti perundingan Helsinki, tahun 2005, pemerintah mesti melihat persoalan Papua dengan paradigma dan perspektif yang lebih demokratis.
Selama 20 tahun Otsus Papua, tata kelola memang menjadi persoalan besar. Dampak dari Otsus Papua itu pun belum sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat Papua. Salah satu persoalan terbesarnya ialah mekanisme pertanggungjawaban penggunaan dana Otsus Papua yang belum diatur secara tegas. Sebagai imbasnya, manfaat dana otsus itu tidak terlihat dan tidak bisa dibedakan dengan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
”Publik tidak tahu apakah dana pendidikan, ekonomi, dan kesehatan itu selama ini berasal dari dana otsus, ataukah dari APBD,” ucapnya.
Oleh karena itu, harus ada sistem pemantauan anggaran yang transparan agar pengawasan alokasi anggaran dana otsus itu bisa berjalan sekaligus mencegah praktik penyelewengan.
”Masyarakat Papua pun skeptis dan lelah terhadap kelanjutan Otsus Papua ini karena dianggap tidak mengubah keadaan. Jangan sampai ada anggapan pembiaran yang dilakukan pemerintah dalam pengelolaan dana otsus ini. Kebijakan ini mesti dipertahankan dengan syarat perbaikan kesejahteraan yang riil, bukan semua,” ujar Mardani.
Pelaksana Tugas Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bidang Pencegahan Ipi Maryati Kuding mengatakan, lembaganya melakukan upaya pendampingan dan supervisi kepada Papua dan Papua Barat melalui peran Koordinasi Supervisi dan Pencegahan (Korsupgah).
Salah satu yang menjadi fokus dari kegiatan itu ialah pendampingan dalam pengelolaan dana APBD. Namun, ia menegaskan, secara khusus pengawasan terhadap keuangan daerah, terutama dana Otsus Papua, itu melibatkan inspektorat pemerintah, yakni Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Fokus pemerintah yang utama adalah penuntasan sejumlah kasus pelanggaran terhadap warga sipil di Papua. UU HAM dan Peradilan HAM menuntut diselesaikannya berbagai pelanggaran HAM di Papua yang dilakukan atas nama penegakan keamanan dan ketertiban di Papua.
”KPK tentu memberikan atensi terhadap pengelolaan keuangan daerah di Papua. Namun, dalam praktiknya, untuk memonitor keuangan dana otsus itu lebih banyak melibatkan BPKP,” ujarnya.
Selesaikan problem HAM
Ketua Pansus Papua dari Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Filep Wamafma mengatakan, pemerintah memang memiliki kewenangan berdasarkan kekuasaan dan peraturan perundang-undangan untuk menentukan suatu kebijakan terkait keamanan dan ketertiban di wilayah NKRI. Namun, ia menekankan kerusuhkan dan kekacauan di Papua adalah persoalan kompleks. Menurut dia, kekecewaan masyarakat bukan hanya pada KKB dan Organisasi Papua Merdeka (OPM), melainkan juga pada pelaku pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang juga dilakukan oleh oknum aparat negara.
”Menurut saya, fokus pemerintah yang utama adalah penuntasan sejumlah kasus pelanggaran terhadap warga sipil di Papua. UU HAM dan Peradilan HAM menuntut diselesaikannya berbagai pelanggaran HAM di Papua yang dilakukan atas nama penegakan keamanan dan ketertiban di Papua. Jadi, fokus negara tidak sekadar menetapkan KKB/OPM sebagai teroris. Yang utama dan yang pertama ialah berkewajiban menuntaskan pelanggaran HAM berat yang dilakukan oknum-oknum militer terhadap warga sipil sebagaimana hasil temuan Komnas HAM, dan pihak-pihak lain, misalnya, dari perwaklan agama, adat, dan lembaga internasional,” ungkapnya.
Pola pikir pemerintah dalam mengatasi persoalan Papua, menurut Filep, belum berubah. Upaya pendekatan keamanan saja tidak cukup. ”Titik tekannya adalah pelanggaran HAM yang terjadi sudah sejak puluhan tahun. Itu yang seharusnya diselesaikan. Dari dulu kami telah mengusulkan pendekatan dialog,” ujar Filep.
Filep melanjutkan, pemerintah harus membuka mata dan memikirkan semua hal tersebut. Perspektif yang diambil harus dari dua pihak, bukan sekadar dari cara pandang pemerintah saja. Upaya diplomasi pernah berhasil di era Presiden KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Menurut dia, Gus Dur telah menunjukkan contoh yang patut dengan membuka ruang dialog yang egaliter sehingga mampu menggugah rasa cinta orang Papua kepada pemerintah.
”Belajarlah juga pada Soekarno yang melakukan diplomasi cerdas, berjumpa dengan tokoh-tokoh yang mencari keadilan. Ada banyak hal yang bisa dilakukan yang menunjukkan kewibawaan pemerintah,” kata Filep.
Jawab kebutuhan
Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komisi Nasional HAM Beka Ulung Hapsara mengatakan, pembahasan RUU Otsus yang terjadi saat ini di DPR hanya menjadi salah satu penyebab meningkatnya aksi kekerasan di Papua. Selain itu, ia juga melihat ada keterputusan soal pesan utama dari pembahasan RUU Otsus ini dengan problem faktual yang dihadapi oleh masyarakat Papua
”Artinya, apakah RUU Otsus ini nanti mampu menjawab secara riil kebutuhan maupun harapan masyarakat Papua? Hal-hal semacam itu, kan, pesan-pesannya harus jelas tersampaikan kepada masyarakat Papua agar tidak terus memunculkan penolakan-penolakan,” ujar Beka.
Beka menegaskan, persoalan otsus Papua tidak hanya soal anggaran, tetapi juga hal-hal krusial lain, meliputi jaminan terhadap rasa aman bagi masyarakat Papua, keadilan, kebebasan berserikat dan menyatakan pendapat, serta penuntasan kasus pelanggaran HAM. Semua itu harus dijamin dan termaktub di RUU Otsus Papua.
Ia berharap agar kegagalan pemerintah untuk tidak menjalankan beberapa mandat di Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua tidak terulang lagi. Misal, mandat soal penyelesaian kasus pelanggaran HAM serta pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Beka mengungkapkan, Komnas HAM telah menuntaskan penyelidikan terhadap tiga kasus pelanggaran HAM berat di Papua, yakni kasus Wasior (2001), Wamena (2003), dan Paniai (2014).
Pemerintah dan DPR harus mengubah strategi, yang secara besar tentu saja aspirasi masyarakat Papua harus lebih didengar.
”Tetapi, sampai saat ini, kan, belum ada titik terang penyelesainnya seperti apa. RUU Otsus Papua nanti harus punya peta jalan yang jelas untuk menyelesaikan beban-beban atau mandat dari UU Otsus yang selama dua dekade terakhir belum diselesaikan,” kata Beka.
Menurut Beka, jika semua itu tidak dijamin di RUU Otsus Papua, penolakan terhadap RUU tersebut oleh masyarakat Papua akan terus terjadi. Kepercayaan masyarakat Papua terhadap pemerintah pun tidak akan tumbuh.
”Saya kira, ini kita akan susah untuk mengembalikan kepercayaan warga. Karena itu, pemerintah dan DPR harus mengubah strategi, yang secara besar tentu saja aspirasi masyarakat Papua harus lebih didengar,” ucapnya.
Wakil Ketua Pansus RUU Otsus Papua DPR Yan Permenas Mandenas menuturkan, pihaknya memandang persoalan lain di luar pemekaran wilayah dan penambahan dana otsus Papua sebagai hal yang penting. Salah satunya ialah dalam penuntasan dugaan pelanggaran HAM di Papua. Namun, saat ini baru dua poin utama di dalam draf RUU Otsus Papua yang mengemuka.
”Mengenai dugaan pelanggaran HAM itu apakah juga akan dibahas di dalam revisi Otsus Papua, itu akan melihat pembicaraan politik lebih lanjut di dalam pembahasan dengan pemerintah. Karena yang ada di dalam draf baru dua poin itu. Namun, kami sangat terbuka dengan masukan dan aspirasi masyarakat terkait isu lainnya yang krusial di Papua,” katanya.