Anggota Dewan Pengawas KPK Sebut Keberatan Bisa Dikanalisasi ke PTUN
Anggota Dewas KPK, Indriyanto Seno Adji, menganggap wajar polemik keputusan KPK soal penyerahan tugas dan tanggung jawab pegawai KPK yang tak lolos tes wawasan kebangsaan. Keberatan, ujarnya, bisa dikanalisasi ke PTUN.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi, Indriyanto Seno Adji, mengajak masyarakat obyektif melihat polemik keputusan KPK terkait penyerahan tugas dan tanggung jawab 75 pegawai yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan kepada atasannya. Publik dapat mempermasalahkan persoalan tersebut melalui peradilan tata usaha negara atau PTUN.
Seperti diberitakan, dalam salinan surat keputusan yang diterima Kompas, Selasa (11/5/2021), pimpinan KPK meminta pegawai yang tidak memenuhi syarat dalam pengalihan pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN) menyerahkan tugas dan tanggung jawab kepada atasan langsung sambil menunggu keputusan lebih lanjut.
Indriyanto, Kamis, mengatakan, polemik dan isu adalah sesuatu yang wajar, termasuk keputusan KPK terkait penyerahan tugas dan tanggung jawab pegawai KPK. Ia berharap, publik mengemukakan pendapat secara obyektif dan menghindari subyektivitas yang emosional.
Menurut Indriyanto, dari sisi hukum, KPK hanya sebagai pengeksekusi. KPK tidak memiliki kewenangan untuk melakukan kajian ulang terhadap hasil penilaian Badan Kepegawaian Negara (BKN) sebagai pengambil keputusan.
Meskipun demikian, ia menyadari, produk apa pun di kelembagaan KPK akan selalu bisa menjadi polemik yang dipermasalahkan. Ruang publik seperti PTUN menjadi sarana yang legal bagi semua orang yang menghargai prinsip negara hukum.
Menurut Indriyanto, keberatan terhadap keputusan pimpinan KPK tersebut sebaiknya diserahkan kepada lembaga yang dapat menilai, sepanjang keputusan sudah dianggap konkret dan final. ”Ini menjadi hak penuh dari siapa pun yang merasa dirugikan terhadap penerbitan keputusan tersebut,” kata Indriyanto ketika dihubungi di Jakarta.
Ia berharap, semua pelaksana organ KPK sebaiknya taat dan patuh hukum. Apabila ada keberatan atas suatu keputusan, ada mekanisme atau proses hukum untuk menguji keberatan tersebut.
Menurut Indriyanto, keputusan KPK tersebut kolektif kolegial, bukan individual dari Ketua KPK. Bahkan, Dewan Pengawas, termasuk Indriyanto, turut serta hadir dan memahami rapat tersebut. Meskipun demikian, substansi keputusan menjadi domain pimpinan KPK secara kolektif kolegial.
Ia menuturkan, keputusan KPK dan perintah penyerahan tugas serta tanggung jawab kepada atasan langsung harus diartikan secara hukum yang terbatas dan memiliki kekuatan mengikat hanya terhadap pegawai yang tak memenuhi syarat.
”Keputusan pimpinan KPK masih dalam batas-batas kewenangan terikat yang dimiliki pimpinan KPK. Ini prosedur hukum yang wajar atau layak yang juga sama ditempuh oleh kementerian/lembaga lainnya. Demikian juga halnya dengan KPK,” ucap Indriyanto.
Ia mengatakan, setiap keputusan aparatur negara termasuk polemik keputusan pimpinan KPK yang dikeluarkan tersebut selayaknya dianggap benar menurut hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Karena itu, keputusan tersebut dapat dilaksanakan lebih dahulu selama belum dibuktikan sebaliknya.
Sebelumnya, Pelaksana Tugas Kepala Biro Humas, Hukum, dan Kerja Sama BKN Paryono mengatakan, tes wawasan kebangsaan terhadap pegawai KPK dilakukan terhadap mereka yang sudah menduduki jabatan senior.
Oleh karena itu, diperlukan jenis tes yang dapat mengukur tingkat keyakinan serta keterlibatan mereka dalam proses berbangsa dan bernegara. Adapun tes tersebut menjadi syarat pengalihan status sebagai ASN.
Pengajar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai, keputusan pimpinan KPK tersebut sangat keliru dan terlampau politis dalam menafsirkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK yang menyatakan pegawai KPK adalah ASN.
”Tafsir ketentuan itu adalah seharusnya sejak lahirnya undang-undang baru dengan sendirinya seluruh pegawai KPK berstatus ASN. Bahwa ada kekurangan atau kelebihan dari wawasan kebangsaan dari para pegawai, seharusnya tidak bisa menjadi alasan pemberhentian, tetapi bisa menjadi dasar bagi pembinaan terhadap pegawai tersebut,” tutur Fickar.
Ia mengatakan, dengan tafsir yang terjadi sekarang ini, menjadi tampak bahwa keputusan penonaktifan pegawai tersebut merupakan paket dari perubahan UU KPK untuk menyingkirkan pegawai yang bekerja dengan sungguh-sungguh memberantas korupsi.
Menurut Fickar, secara yuridis memang sulit dibuktikan bahwa langkah penonaktifan ini adalah pesanan sponsor yang memiliki kekuatan antipemberantasan korupsi. Namun, secara kasatmata, masyarakat dapat melihatnya dengan jelas. Ia menyebutkan, seiring dengan berjalannya waktu akan terlihat siapa yang sesungguhnya antikorupsi.
Ia berharap, Presiden turun tangan membatalkan keputusan pimpinan KPK. Namun, jika Presiden tidak mau, hal ini harus dibawa ke ranah hukum dengan menggugat ke PTUN agar pengadilan yang memerintahkan KPK dan BKN untuk mengangkat ke-75 orang itu sebagai ASN.
”Ini jelas merupakan keputusan politik. Biarlah hukum atau pengadilan yang menafsir,” kata Fickar.