Demi Efektivitas, 75 Pegawai KPK Diminta Serahkan Tugas
Sebanyak 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi yang tak memenuhi syarat menjadi aparatur sipil negara diminta menyerahkan tugas kepada atasan langsung. Keputusan itu dikhawatirkan akan mengganggu penanganan korupsi.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi yang tidak memenuhi syarat dalam tes wawasan kebangsaan diminta menyerahkan tugas dan tanggung jawabnya kepada atasan langsung sampai ada keputusan lebih lanjut. Penyerahan tugas ini dilakukan untuk memastikan efektivitas pelaksanaan tugas di KPK serta menghindari permasalahan hukum berkenaan dengan penanganan kasus yang tengah berjalan.
Dalam salinan surat keputusan yang diterima Kompas, Selasa (11/5/2021), pimpinan KPK meminta pegawai yang tidak memenuhi syarat dalam pengalihan pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN) menyerahkan tugas dan tanggung jawab kepada atasan langsung sambil menunggu keputusan lebih lanjut.
Salinan Keputusan Pimpinan KPK Nomor 652 Tahun 2021 itu disampaikan kepada kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), Dewan Pengawas KPK, dan pegawai yang bersangkutan. Salinan tersebut juga telah ditandatangani oleh Ketua KPK Firli Bahuri, tertanggal 7 Mei 2021. Untuk salinan yang sah, tertanda Pelaksana Harian (Plh) Kepala Biro Sumber Daya Manusia Yonathan Demme Tangdilintin.
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri mengakui, pada hari Selasa ini, KPK telah menyampaikan salinan Surat Keputusan Hasil Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan kepada atasan masing-masing untuk disampaikan kepada 75 pegawai yang dinyatakan tidak memenuhi syarat menjadi ASN.
Dalam surat tersebut, pegawai diminta untuk menyerahkan tugas dan tanggung jawabnya kepada atasan langsung, sampai ada keputusan lebih lanjut. Hal ini dilakukan sesuai dengan keputusan rapat pada 5 Mei 2021 yang dihadiri pimpinan KPK, Dewan Pengawas KPK, dan pejabat struktural KPK.
”Penyerahan tugas ini dilakukan semata-mata untuk memastikan efektivitas pelaksanaan tugas di KPK agar tidak terkendala dan menghindari adanya permasalahan hukum berkenaan dengan penanganan kasus yang tengah berjalan,” tutur Ali.
Ali juga menegaskan, saat ini status 75 pegawai KPK yang tak memenuhi syarat wawasan kebangsaan bukan nonaktif karena semua hak dan tanggung jawab kepegawaian mereka masih tetap berlaku. Adapun pelaksanaan tugas pegawai yang bersangkutan untuk selanjutnya akan diarahkan oleh atasan langsung yang ditunjuk.
”KPK saat ini tengah berkoordinasi secara intensif dengan Badan Kepegawaian Negara serta Kemenpan dan RB (Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi) terkait dengan tindak lanjut terhadap 75 pegawai yang dinyatakan tak memenuhi syarat,” kata Ali.
Selain itu, lanjut Ali, KPK berharap media dan masyarakat dapat mengawal semua proses alih status pegawai KPK menjadi ASN ini sehingga bisa berjalan sesuai prosedur dan tepat waktu.
Tak lakukan penyidikan
Ketua Wadah Pegawai (WP) KPK Yudi Purnomo Harahap saat dihubungi di Jakarta menuturkan, sebagian besar pegawai yang dinilai tidak memenuhi syarat wawasan kebangsaan sudah menerima salinan surat keputusan tersebut. Dengan adanya permintaan penyerahan tugas kepada atasan, berarti para pegawai tidak bisa melakukan kegiatan, termasuk penyelidikan dan penyidikan.
”Diminta dalam SK itu agar menyerahkan tugas dan tanggung jawab pekerjaannya kepada atasan langsung. Ini artinya penyelidik dan penyidik yang tak memenuhi syarat, misalnya, tidak bisa lagi melakukan kegiatan penyelidikan dan penyidikan dan harus menyerahkan perkaranya kepada atasannya,” ujar Yudi.
Menanggapi surat tersebut, pegawai KPK akan melakukan konsolidasi untuk menentukan langkah yang akan diambil. Sebab, bagi WP KPK, putusan Mahkamah Konstitusi sudah jelas menyatakan bahwa peralihan status tidak boleh sampai merugikan pegawai. Selain itu, revisi Undang-Undang KPK pun hanya mengamanatkan soal alih status dari pegawai KPK menjadi ASN.
”Ketua KPK harus mematuhi itu,” ucap Yudi.
Prosedur hukum
Anggota Dewan Pengawas KPK, Indriyanto Seno Adji, berpandangan, keputusan pimpinan KPK yang kolektif kolegial tentang penonaktifan itu terbatas hanya terhadap pegawai tak memenuhi syarat yang memegang jabatan struktural atau yang disamakan saja. Keputusan itu pun masih dalam batas-batas kewenangan terikat yang dimiliki pimpinan KPK.
”Ini prosedur hukum yang wajar atau layak yang sama ditempuh oleh kementerian atau lembaga lainnya, demikian juga halnya dengan KPK (proper legal administrative procedures), karenanya memang diserahkan sementara kepada atasan langsung,” ujar Indriyanto.
Menurut dia, keputusan pimpinan KPK ini harus selalu dianggap dan selaras dengan prinsip presumptio iustae causa di mana setiap keputusan aparatur negara, termasuk keputusan pimpinan KPK yang dikeluarkan tersebut, harus atau selayaknya dianggap benar menurut hukum dan perundang-undangan yang berlaku. ”Karena itu, dapat dilaksanakan lebih dahulu selama belum dibuktikan sebaliknya,” katanya.
Semua pelaksana organ KPK, lanjut Indriyanto, sebaiknya taat dan patuh hukum. Apabila ada keberatan atas keputusan, ada mekanisme atau prosesual hukum untuk menguji keberatan tersebut.
Sementara saat dikonfirmasi, Kepala BKN Bima Haria Wibisana mengaku belum menerima salinan SK Pimpinan KPK Nomor 652 Tahun 2021. Terhadap kelanjutan nasib 75 pegawai yang tidak memenuhi syarat, Bima juga belum mendapatkan informasi terbaru.
Terancam mandek
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, meyakini ada motif di balik penyerahan tugas 75 pegawai KPK ke atasan mereka. Menurut dia, ini juga merupakan upaya pimpinan KPK untuk menghambat penanganan perkara besar yang sedang diusut oleh para pegawai KPK, mulai dari korupsi bantuan sosial, suap benih lobster, kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el), hingga kasus korupsi yang melibatkan bekas Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi.
”Setelah mengobrak-abrik KPK dengan berbagai kebijakan kontroversial, akhirnya misi utama pimpinan KPK berhasil, yakni menyingkirkan puluhan pegawai KPK yang selama ini dikenal berintegritas dan memiliki rekam jejak panjang selama bekerja di institusi antirasuah itu. Pengusutan kasus-kasus korupsi besar pun terancam mandek dengan penyerahan tugas ini,” kata Kurnia.
Keputusan pimpinan KPK ini, lanjut Kurnia, telah melanggar hukum. Sebab, keputusan tersebut diambil berdasarkan hasil tes wawancara kebangsaan yang hingga kini menjadi perdebatan sebagai dasar pemberhentian pegawai. Padahal, tes wawasan kebangsaan sama sekali tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Menjadi ASN, dan bertolak belakang dengan perintah putusan MK.
”Putusan MK sudah menegaskan bahwa peralihan status kepegawaian KPK menjadi ASN tidak boleh merugikan hak-hak pegawai KPK. Selain itu, adanya unsur kesengajaan dan paksaan agar hasil tes wawasan kebangsaan dijadikan dasar untuk memberhentikan puluhan pegawai KPK itu juga melanggar UU Ketenagakerjaan. Tentu seluruh regulasi itu harus dipatuhi oleh KPK sebagai lembaga negara dengan tidak mengakomodasi hasil tes wawasan kebangsaan,” ujar Kurnia.