Dalam putusan PK Djoko Susilo, hukuman pidana dan uang pengganti sama dengan putusan kasasi. Namun, kelebihan hasil lelang dari besaran uang pengganti harus dikembalikan. PK juga merevisi pencabutan hak politik Djoko.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Agung mengabulkan peninjauan kembali atau PK bekas Kepala Korps Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo. Komisi Pemberantasan Korupsi diminta mengembalikan harta yang sudah diperoleh Djoko sebelum ia melakukan korupsi dalam kasus simulator SIM.
Juru bicara Mahkamah Agung (MA), Andi Samsan Nganro, Minggu (9/5/2021), mengatakan, alasan PK dari terpidana tidak dapat dibenarkan. Namun, mengenai keberatan pemohon dalam dua hal dapat dibenarkan.
Pertama, mengenai penentuan status barang-barang bukti yang tidak dipertimbangkan dengan baik oleh judex facti atau Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan judex juris atau putusan yang dimohonkan PK.
Penyitaan benda yang dijadikan barang-barang bukti sebelum waktu perbuatan yang dilakukan oleh Djoko, baik dalam perkara tindak pidana korupsi maupun perkara tindak pidana pencucian uang (TPPU), adalah bertentangan dengan hukum. Karena itu, harus dikembalikan kepada yang berhak atau dari mana barang yang bersangkutan disita.
”Harta benda terpidana yang telah disita dan dalam amar putusan dinyatakan dirampas untuk negara. Setelah dilelang dan hasilnya ternyata melebihi dari jumlah uang pengganti yang harus dibayar, kelebihan uang dari hasil lelang tersebut harus dikembalikan kepada terpidana,” kata Andi.
Kedua, kata Andi, mengenai penentuan batas waktu pencabutan hak terpidana untuk dipilih dalam jabatan publik harus ditentukan limit waktu.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, majelis hakim PK yang terdiri dari Suhadi sebagai ketua majelis, didampingi oleh hakim anggota Krisna Harahap dan Sofyan Sitompul, mengabulkan permohonan PK dari terpidana.
Dalam putusan PK tersebut, Djoko tetap dipidana 18 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 8 bulan kurungan. Ia juga tetap harus membayar uang pengganti Rp 32 miliar. Namun, pencabutan hak terpidana untuk dipilih dalam jabatan publik hanya lima tahun terhitung sejak terpidana selesai menjalani pidana pokok.
Hukuman tersebut tidak jauh berbeda dengan putusan kasasi. Yang membedakan masa pencabutan hak politik dalam putusan kasasi itu tak dibatasi waktu. Putusan kasasi ini dijatuhkan majelis kasasi yang dipimpin Ketua Kamar Pidana MA Artidjo Alkostar dengan hakim anggota MS Lumme dan M Askin.
Sebelumnya, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan pidana 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta serta tidak menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti. Namun, putusan tersebut diperberat oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang menambah hukuman Djoko menjadi 18 tahun penjara, denda Rp 1 miliar, dan memerintahkan pembayaran uang pengganti Rp 32 miliar. Majelis banding yang dipimpin Roki Pandjaitan juga mencabut hak politik Djoko (Kompas, 5/6/2014).
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan, KPK akan meminta salinan putusan PK tersebut untuk memastikan amar putusannya. Hal tersebut bertujuan agar KPK mendapat kejelasan harta apa saja yang dianggap ada kelebihan.
”Kami akan mengidentifikasi keberadaannya apakah sudah dilelang, di PSP (penetapan status penggunaan) ke kementerian atau lembaga ataukah masih dalam wewenang KPK karena belum proses lelang. Dengan identifikasi tersebut, kami baru akan membahas dan menindaklanjutinya. Yang dapat kami pastikan, KPK sebagai penegak hukum akan melaksanakan putusan,” kata Ghufron.