Harapan Besar di Ujung Penantian Uji Materi UU KPK…
Mahkamah Konstitusi akan segera menjatuhkan putusan perkara uji materi sejumlah pasal UU KPK hasil revisi, yang dinilai mengebiri KPK. Publik menaruh harapan besar agar MK dapat mengoreksi revisi pada undang-undang itu.
Setelah 1,5 tahun berlalu uji materi sejumlah pasal pada UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hasil revisi UU KPK sebelumnya segera diputus Mahkamah Konstitusi. Harapan publik terhadap MK untuk mengoreksi revisi pada undang-undang itu sangat tinggi.
Melalui MK, para pemohon berharap independensi dan tata kelembagaan KPK yang lebih baik dikembalikan agar upaya pemberantasan korupsi semakin kuat.
MK dijadwalkan akan memutus tujuh perkara berbeda terkait uji materi terhadap UU KPK hasil revisi pada Selasa (4/5/2021). Sejak akhir 2019, tujuh pemohon dalam perkara berbeda itu meminta MK menguji konstitusionalitas sejumlah pasal di UU tersebut. Pasal-pasal ini dianggap mengebiri independensi KPK.
MK dijadwalkan akan memutus tujuh perkara berbeda terkait uji materi terhadap UU KPK hasil revisi pada Selasa (4/5/2021). Sejak akhir 2019, tujuh pemohon dalam perkara berbeda itu meminta MK menguji konstitusionalitas sejumlah pasal di UU tersebut. Pasal-pasal ini dianggap mengebiri independensi KPK.
Pasal-pasal yang dimohon untuk diuji itu, antara lain, pasal yang mengatur KPK menjadi bagian dari rumpun kekuasaan eksekutif, izin penyadapan yang harus melalui Dewan Pengawas KPK, dan kewenangan penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
Sejumlah pemohon juga meminta MK memeriksa prosedur pembentukan UU itu. Mereka mendalilkan proses pembentukan dan pengesahan UU KPK cacat prosedural. Banyak aturan tentang pembentukan aturan perundangan yang dilanggar secara terang benderang. Hal itu, antara lain, revisi UU KPK hanya dilakukan secara kilat selama 14 hari oleh pemerintah dan DPR.
Dalam pembentukannya juga dinilai mengabaikan proses penting dalam penyusunan UU, yaitu partisipasi publik. Proses pembahasan UU itu tertutup dan tidak akuntabel. Dengan cacat prosedur itu, dikhawatirkan masa depan demokrasi di Indonesia semakin terancam.
Baca juga: SP3 Kasus BLBI oleh KPK Dinilai Melawan Hukum
Kepedulian publik
Kepedulian masyarakat terhadap upaya pemberantasan korupsi sebagai kejahatan luar biasa sangatlah tinggi. Tak dimungkiri, korupsi yang merusak sendi-sendi kehidupan bangsa masih menjadi musuh besar yang harus terus diperangi. Revisi UU KPK dianggap sebagai langkah mundur upaya bersama itu. Guru Besar Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra pun menyebut Indonesia masih darurat korupsi.
Faktanya, pascarevisi UU KPK disahkan tahun 2019, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia merosot dari skor 40 (skala 0-100) pada 2019 menjadi 37 pada 2020. Data yang dikeluarkan Transparency International Indonesia (TII) itu, di tahun 2019 Indonesia berada di peringkat 85 dari 180 negara untuk pemberantasan korupsi. Tahun 2020, Indonesia terus merosot ke peringkat 102.
Ada pula hasil jajak pendapat Litbang Kompas enam bulan setelah UU KPK hasil revisi berlaku, yaitu 17-20 Juni 2020, menunjukkan bahwa 56,9 persen responden menyatakan tidak puas terhadap kinerja KPK memberantas korupsi. Presentase itu turun dari hasil jajak pendapat sebelumnya pada Januari 2020, yakni responden yang tidak puas saat itu hanya 35,9 persen. Meningkatnya ketidakpercayaan publik itu dianggap menggerus modal sosial KPK sebagai motor pemberantasan korupsi di Indonesia (Kompas, 23 Juni 2020).
Baru-baru ini, KPK juga mengalami krisis integritas dan degradasi etika yang serius. Ada kasus pelanggaran kode etik, pencurian barang bukti, praktik penerimaan suap, serta gratifikasi untuk menghentikan perkara korupsi yang sedang ditangani KPK. Hal ini dikhawatirkan semakin merusak reputasi KPK yang selama ini menjadi barometer badan antikorupsi yang cukup ideal.
Baca juga: Setahun Uji UU MK Belum Diputus, MK: Tidak Ada Niat Menunda
Aspirasi guru besar antikorupsi
Tingginya kepedulian publik terhadap pemberantasan korupsi itu membuat 53 guru besar perguruan tinggi di Indonesia bersuara jelang putusan uji materi di MK pada Selasa pekan depan. Para guru besar yang tergabung dalam Koalisi Guru Besar Antikorupsi Indonesia mengatakan, nasib pemberantasan korupsi sedang berada di ujung tanduk.
Sejak UU KPK direvisi, berturut-turut masalah datang menghampiri KPK. UU KPK hasil revisi juga terbukti melemahkan upaya pemberantasan korupsi oleh KPK. Dua masalah krusial yang paling disoroti adalah kegagalan KPK dalam memperoleh barang bukti saat melakukan penggeledahan di Kalimantan Selatan, dan penerbitan SP3 untuk perkara megakorupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.
”Substansi UU Nomor 19 Tahun 2019 (UU KPK hasil revisi) secara terang benderang telah melumpuhkan lembaga antirasuah itu, baik dari sisi profesionalitas maupun integritasnya,” tulis koalisi dalam keterangan resmi, Jumat (30/4/2021).
Substansi UU Nomor 19 Tahun 2019 (UU KPK hasil revisi) secara terang benderang telah melumpuhkan lembaga antirasuah itu, baik dari sisi profesionalitas maupun integritasnya. (Pesan dari Koalisi Guru Besar Antikorupsi Indonesia)
Dengan situasi tersebut, koalisi menaruh harapan besar kepada sembilan hakim MK untuk mengembalikan kondisi pemberantasan korupsi seperti semula. Sebagai penjaga konstitusi, MK berwenang untuk mengoreksi UU bermasalah itu dengan mengabulkan permohonan uji materi revisi UU KPK.
Apabila uji materi dikabulkan oleh MK, koalisi yakin pemberantasan korupsi akan kembali kepada khitah KPK. ”MK sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman memiliki peranan penting dalam usaha menegakkan konstitusi dan prinsip dasar negara hukum sesuai dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana diatur dalam UUD 1945,” kata koalisi.
Baca juga: Revisi UU, Titik Balik Pemberantasan Korupsi
Menanggapi kepedulian publik yang sangat besar itu, Juru Bicara Mahkamah Konstitusi Enny Nurbaningsih saat dihubungi, Sabtu (1/5/2021), mengatakan, MK memutus perkara berdasarkan keyakinan hakim setelah mendalami secara seksama seluruh fakta-fakta hukum yang ada.
”Mohon ditunggu saja,” kata Enny melalui pesan singkat.
Selain menguji konstitusionalitas UU KPK, putusan MK kali ini juga akan menjadi landmark untuk perkara uji formil UU. Sebab, sejak berdiri tahun 2003, belum pernah ada perkara uji formil UU yang dikabulkan. Salah satu alasan yang dikemukakan adalah terbatasnya batu uji dalam perkara uji formil yang ada di UUD 1945.
Perkara uji formil UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, sebagai contoh, MK sudah hampir mengabulkan permohonan itu. Namun, karena alasan kemanfaatan, MK tidak membatalkan UU tersebut.
Dengan adanya masukan dari kalangan masyarakat sipil terkait pembentukan UU KPK yang dinilai cacat prosedur dan merugikan upaya pemberantasan korupsi itu, apakah MK akan bersifat progresif?
Masyarakat telah berjuang sebaik-baiknya di jalur konstitusional, melalui pengadilan. Tidak berlebihan jika kini publik menyerahkan kepercayaannya secara penuh kepada sembilan hakim konstitusi untuk ikut menentukan arah pemberantasan korupsi ke depan….