Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim telah secara nyata merugikan negara hingga Rp 4,58 triliun. Karena itu, keputusan KPK menerbitkan SP3 kasus BLBI BDNI dinilai keliru, tidak berdasar, bahkan melawan hukum.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penerbitan surat perintah penghentian penyidikan atau SP3 oleh Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia terus dipertanyakan. Penerbitan ini dianggap menyalahi aturan dan tidak mencerminkan pemihakan pada keadilan.
Pengajar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Jakarta, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan, SP3 yang dikeluarkan KPK tidak sah dan melawan hukum. Sebab, berdasarkan Pasal 40 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara yang tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun.
Adapun KPK menetapkan tersangka kepada pemegang saham Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim dalam kasus BLBI tersebut pada 10 Juni 2019. ”Jika dikaitkan, kewenangannya dan undang-undangnya belum dua tahun,” kata Fickar ketika dihubungi di Jakarta, Minggu (4/4/2021).
Selain itu, menurut Fickar, berdasarkan Pasal 78 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), daluwarsa kasus memakan waktu 18 tahun. Jadi, jika mengacu pada pasal itu, masih cukup panjang waktu bagi KPK guna mendalami kasus tersebut, dan bukan dengan mudahnya menerbitkan SP3.
Fickar mengatakan, seharusnya penuntutan kasus korupsi yang dilakukan Sjamsul bukan hanya dengan pidana, melainkan juga perdata, yakni harus mengembalikan kerugian negara yang besar.
Selain itu, alasan yang digunakan KPK dalam mengeluarkan SP3 untuk Sjamsul dan Itjih pun dinilainya keliru.
Sebelumnya disebutkan, SP3 tersebut dikeluarkan setelah upaya hukum luar biasa peninjauan kembali (PK) yang diajukan KPK terhadap putusan Mahkamah Agung atas kasasi terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung selaku Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) ditolak.
Fickar menuturkan, perbuatan Syafruddin tidak bisa disamakan dengan Sjamsul dan Itjih yang secara nyata telah merugikan negara hingga Rp 4,58 triliun. Karena itu, keputusan KPK dinilai Fickar tidak berdasar, bahkan melawan hukum.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera, ikut menyoroti SP3 kasus BLBI tersebut. Menurut Mardani, SP3 tidak mencerminkan pemihakan pada keadilan. Sebab, dampak dari kasus ini masih harus ditanggung publik. Apalagi, Sjamsul dan Itjih pergi ke luar negeri serta menjadi buronan KPK.
”Mestinya KPK bisa mengajukan tambahan personel ataupun anggaran untuk dapat menuntaskan kasus BLBI ini,” kata Mardani.
Menurut Mardani, jika SP3 kasus BLBI ini tidak dikawal dan diawasi serta dikritisi publik, ada kemungkinan SP3 kasus sensitif lainnya akan segera keluar.
Mantan Komisioner KPK Bambang Widjojanto juga mempertanyakan SP3 terhadap Sjamsul dan Itjih. Menurut Bambang, KPK terkesan belum melakukan langkah nyata untuk mengungkap kerugian negara akibat perbuatan para tersangka. ”Janji pimpinan KPK terdahulu untuk terus mengusut kerugian keuangan negara seolah digadaikan oleh pimpinan KPK saat ini,” kata Bambang.
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri menegaskan, penghentian penyidikan menurut undang-undang ada beberapa kemungkinan alasannya, yakni tidak cukup bukti, bukan tindak pidana, atau demi hukum. Adapun demi hukum, di antaranya, karena tersangka atau terdakwa meninggal dunia.
Dalam perkara BLBI BDNI, pilihan yang diambil KPK adalah bukan tindak pidana. Pilihan tersebut diambil karena adanya putusan akhir dari Mahkamah Agung (MA) yang menolak PK dari KPK atas terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung. Dalam putusan akhir itu, syarat unsur adanya perbuatan penyelenggara negara tidak terpenuhi.
Adapun Sjamsul dan Itjih, menurut Ali, sebagai orang yang turut serta melakukan perbuatan bersama-sama dalam satu rangkaian peristiwa serta perbuatan yang sama dengan Syafruddin selaku penyelenggara negara.
Terkait dengan Pasal 40 Ayat (1) UU KPK, Ali menjelaskan, ketentuan dua tahun tersebut berlaku bila penyidikan tidak selesai dan tidak ditemukan bukti. Demikian juga penghentian penyidikan dilakukan tanpa harus menunggu lebih dari dua tahun jika tersangka atau terdakwa meninggal. Kedua alasan penghentian penyidikan tersebut bisa terjadi kapan pun.