Menko Polhukam: Lakukan Tindakan Cepat, Tegas, dan Terukur kepada KKB di Papua
Pemerintah menyatakan KKB di Papua dan organisasi-organisasi yang berafiliasi dengannya sebagai kelompok teroris. Namun, sikap pemerintah ini dinilai berisiko memperkeruh situasi keamanan di Papua.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menyatakan kelompok kriminal bersenjata di Papua dan organisasi-organisasi yang berafiliasi dengannya sebagai kelompok teroris. Pasca-labelisasi itu, aparat penegak hukum Polri dan TNI diminta melakukan tindakan tegas dan terukur. Namun, harus tetap mengacu pada aturan hukum dan jangan sampai warga sipil menjadi korban.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD saat jumpa pers di Jakarta, Kamis (29/4/2021), mengatakan, sikap pemerintah itu diambil melihat perkembangan eskalasi keamanan di Papua baru-baru ini. Pemerintah berpandangan, organisasi dan anggota KKB dapat dikategorikan sebagai teroris karena melakukan kekerasan secara masif.
Dalam beberapa waktu terakhir, teror KKB semakin intens. Catatan Kompas dan data Polda Papua dari Januari hingga 27 April 2021, KKB telah melakukan 17 aksi penyerangan. Akibat aksi KKB ini, enam aparat keamanan dan enam warga sipil meninggal serta empat aparat keamanan dan dua warga sipil terluka. KKB juga membakar sejumlah sekolah, helikopter swasta, dan fasilitas telekomunikasi di sejumlah tempat di Kabupaten Puncak.
”KKB telah melakukan pembunuhan dan kekerasan secara brutal dan masif. Berdasarkan definisi di UU No 5/2018 (tentang Pemberantasan Terorisme), maka apa yang dilakukan oleh KKB dan segala nama organisasi dan orang-orang yang berafilisasi dengannya adalah tindakan teroris,” kata Mahfud.
Mahfud menjelaskan, dalam UU No 5/2018 disebutkan bahwa terorisme adalah setiap perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas yang menimbulkan korban secara massal atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek vital yang strategis terhadap lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, dan keamanan. Adapun teroris didefinisikan sebagai orang yang merencanakan, menggerakkan, dan mengorganisasikan terorisme.
Konsekuensi dari sikap pemerintah tersebut, pemerintah meminta kepada Polri, TNI, dan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk melakukan tindakan secara cepat, tegas, dan terukur menurut hukum. Penegakan hukum ini pun diminta tidak menyasar pada masyarakat sipil.
Selain itu, aparat diharapkan tidak lagi bergerak sendiri-sendiri. Seluruh aparat harus bersinergi dan saling berkoordinasi.
BIN diminta tetap melakukan kegiatan intelijen yang sifatnya lebih politis, misalnya penggalangan terhadap tokoh adat dan agama Papua, indentifikasi lokasi, dan diplomasi bersama Kementerian Luar Negeri terhadap negara-negara di sekitar Pasifik maupun negara lain yang menjadi tempat pelarian tokoh separatis. ”Pangdam dan kapolda supaya berkoordinasi dengan baik di bawah bimbingan Kapolri dan Panglima TNI sehingga operasi lebih terkoordinasi,” kata Mahfud.
Tidak tepat
Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al Araf mengatakan, labelisasi teroris terhadap KKB bukan persoalan pokok di Papua. Dari hasil riset sejumlah akademisi, sudah terlihat akar permasalahan di Papua memiliki banyak dimensi, seperti ketidakadilan ekonomi, isu marginalisasi, kekerasan dan pelanggaran HAM yang tidak dituntaskan secara hukum, dan faktor historis.
Dari kacamata itu, seharusnya konflik bersenjata di Papua dapat diselesaikan secara lebih inklusif dan komprehensif. Salah satunya adalah dengan membuka ruang dialog secara damai.
”Pemerintah sudah berpengalaman menyelesaikan konflik di Aceh, semuanya lewat jalur media perundingan dan dialog. Di Papua ini, tidak ada hal baru untuk menyelesaikan konflik, mereka hanya melihat persoalan secara parsial,” kata Araf.
Araf mengatakan, jika pemerintah ingin memutus lingkaran kekerasan di Papua, seharusnya yang dinyatakan oleh pemerintah adalah seluruh kekerasan yang terjadi di Papua, baik itu dilakukan oleh TNI, Polri, atau KKB harus ditindak secara hukum sesuai dengan prinsip negara hukum.
Langkah selanjutnya, pemerintah membuka ruang dialog dengan seluruh elemen masyarakat Papua. Caranya dengan menugaskan utusan khusus yang dipercaya oleh masyarakat Papua. Selama ini, permasalahan di Papua adalah ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah. Masyarakat tidak percaya kepada pemerintah karena rasa trauma terhadap kekerasan yang terjadi sekian lama di Papua.
”Masyarakat Papua tidak percaya kepada Pemerintah Indonesia karena menganggap ingkar janji, terutama dalam penuntasan kasus-kasus HAM berat. Di sisi lain, pemerintah tidak percaya kepada masyarakat Papua karena berbagai hal. Untuk memulihkan kepercayaan itu, solusinya adalah duduk bersama dan berdialog,” katanya.
Memperkeruh suasana
Araf khawatir sikap pemerintah yang melabeli KKB sebagai teroris justru akan menimbulkan ketidakpercayaan publik yang semakin tinggi. Resistensi masyarakat bisa semakin tinggi, yang dapat berdampak pada masalah baru, misalnya ketegangan keamanan.
”Bisa jadi itu malah memperkeruh suasana dan menambah ketegangan keamanan. Akhirnya tidak jadi resolusi konflik, tetapi malah menambah masalah baru,” kata Araf.
Mahfud mengklaim dialog sudah dilakukan pemerintah dengan tokoh adat, tokoh agama, hingga pimpinan DPR Papua. Perwakilan dari masing-masing elemen masyarakat itu sudah menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah. Mayoritas menyatakan ingin Papua dibangun secara komprehensif dan menolak tindakan separatis.
Araf mengingatkan, tanpa kemauan politik yang kuat, konflik bersenjata di Papua akan sulit diatasi. Apalagi, jika pemerintah terus mengedepankan pendekatan keamanan negara, bukan pendekatan keamanan manusia. Pendekatan keamanan negara hanya akan menambah lingkaran kekerasan di Papua dan sulit untuk mengembalikan kepercayaan publik Papua.