Media sosial menjadi alat untuk menyebarkan radikalisme dan menggaet anak muda untuk menganut paham tersebut. Untuk itu, semua pihak perlu membanjiri medsos dengan konten-konten kontra narasi radikalisme dan terorisme.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat perlu ikut membanjiri konten-konten kontra narasi terorisme dan radikalisme di media sosial. Upaya men-take down akun-akun penyebar propaganda terorisme tidak akan maksimal jika media sosial tidak dibanjiri narasi toleransi dari tokoh-tokoh agama yang memiliki ilmu dan pengaruh kuat di masyarakat.
Hasil jajak pendapat Kompas pada pertengahan April 2021 menunjukkan, sebanyak 40,6 persen responden menilai internet dan media sosial memberikan pengaruh pelaku teror menjadi radikal dan memiliki gagasan melakukan aksi terorisme. Faktor ideologi menempati urutan tertinggi (37,6 persen) dan tekanan ekonomi (26,5 persen) sebagai faktor yang paling mendorong pelaku melakukan aksi teror.
Media sosial menjadi media untuk menyebarkan paham radikal oleh kelompok teroris. Mereka menyebarkan melalui media sosial karena ingin menyasar generasi-generasi muda yang lekat dengan internet dan media sosial.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Boy Rafli Amar di Jakarta, Senin (19/4/2021), mengatakan, media sosial menjadi media untuk menyebarkan paham radikal oleh kelompok teroris. Mereka menyebarkan melalui media sosial karena ingin menyasar generasi-generasi muda yang lekat dengan internet dan media sosial.
Oleh karena itu, BNPT bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika, Badan Intelijen Negara, Badan Siber dan Sandi Negara, Kepolisian Negara RI, dan TNI terus menyisir konten-konten propaganda terorisme di media sosial agar tidak dikonsumsi di masyarakat. Konten radikal yang dideteksi masing-masing institusi kemudian dilaporkan kepada Kominfo yang telah bekerja sama dengan platform media sosial untuk di-take down.
Selama tahun 2020, setidaknya 341 konten siber di-take down karena menyebarkan propaganda radikal terorisme. Sementara pada Januari-Maret 2021 ada 321 akun grup media sosial yang terindikasi menyebarkan propaganda terorisme.
Semakin banyak narasi toleransi di ruang publik, semakin banyak publik yang teredukasi tentang bahaya paham radikal.
Selain men-take down konten di media sosial, lanjut Boy Rafli, BNPT menggencarkan kontra narasi dengan menggandeng kaum milenial melalui program Duta Damai. Hal ini agar media sosial dipenuhi narasi-narasi tentang toleransi dan Pancasila yang merupakan jati diri bangsa.
”Semakin banyak narasi toleransi di ruang publik, semakin banyak publik yang teredukasi tentang bahaya paham radikal,” katanya.
Di masa pandemi Covid-19, lanjut Boy Rafli, ancaman penyebaran konten radikal di media sosial dinilai semakin tinggi karena terjadi peningkatan akses internet, terutama di kalangan generasi muda. Anak-anak muda tersebut mengakses internet karena kebutuhan bekerja dari rumah dan pembatasan kegiatan sosial.
”Jangan sampai konten-konten informasi didominasi oleh konten radikal intoleran tanpa ada kontra narasi,” ucapnya.
Direktur Deradikalisasi BNPT Irfan Idris menambahkan, publik perlu ikut membuat konten-konten kontra narasi terorisme. Sebab, setiap ada take down konten oleh pemerintah, kelompok teroris selalu membuat konten-konten dengan akun baru. ”Mati satu tumbuh seribu,” ujarnya.
Berdasarkan survei BNPT pada 2020, indeks potensi radikalisme pada perempuan mencapai 12,3 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan indeks potensi radikalisme pada laki-laki yang 12,1 persen.
Boy Rafli mengatakan, ancaman paparan generasi muda terhadap ideologi radikal di media sosial antara laki-laki dan perempuan cenderung sama. Keduanya memiliki potensi terpapar yang sama meskipun potensi radikal pada perempuan sedikit lebih tinggi. Berdasarkan survei BNPT pada 2020, indeks potensi radikalisme pada perempuan mencapai 12,3 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan indeks potensi radikalisme pada laki-laki yang 12,1 persen.
”Keterlibatan perempuan bisa menghilangkan kecurigaan masyarakat karena perempuan cenderung dianggap sebagai sosok yang sangat antikemanusiaan. Namun, jika perempuan sudah terpapar paham radikal, levelnya akan sama dengan laki-laki,” kata Boy Rafli.
Direktur The Indonesia Intelligence Institute Ridlwan Habib menuturkan, kelompok mahasiswa lebih banyak mengakses konten agama bertema jihad dan Hizbut Tahrir Indonesia dibandingkan dengan Islam moderat di media sosial. Situs web seperti NU Online pun masih kalah populer dibandingkan dengan laman mengenai salafi atau gerakan yang mengajak umat kembali ke hukum Islam murni.
”Pengakuan dari sejumlah mantan narapidana teroris pun mengungkap bahwa mereka terpapar paham radikal melalui media sosial,” katanya.
Meskipun pemerintah selalu men-take down konten propaganda terorisme, selalu ada konten lain yang dibuat oleh kelompok teroris. Hal ini disebabkan ideologi radikal masih ada sehingga upaya kontra ideologi terus dilawan oleh kelompok tersebut.
BNPT perlu melakukan operasi kontra ideologi dengan menggandeng ulama yang dianggap memiliki pengetahuan dan pengaruh yang sangat kuat.
Oleh karena itu, lanjutnya, BNPT perlu melakukan operasi kontra ideologi dengan menggandeng ulama yang dianggap memiliki pengetahuan dan pengaruh yang sangat kuat. Pelibatan ulama-ulama Islam moderat dinilai tidak terlalu kuat dampaknya dibandingkan dengan ulama-ulama yang memahami ideologi dan penyimpangan dari kelompok teroris.
”Sosok ulama yang dipilih oleh negara sangat memengaruhi keberhasilan kontra ideologi karena orang yang lebih memahami narasi ekstremisme cenderung lebih diterima saat menunjukkan bahwa ideologi itu menyimpang,” kata Ridlwan.