Anak Muda Melawan Radikalisme
Kalau anak muda tidak punya imunitas diri yang kuat, tidak punya literasi digital, mereka akan menelan begitu saja konten di media sosial, termasuk yang mengandung ajaran terorisme.
Aksi bom bunuh diri pasangan muda di gereja Katolik di Makassar, Sulawesi Selatan, dan penyerangan ke Markas Polri oleh perempuan muda menyadarkan kita kembali betapa kaum muda rentan terpapar ideologi ekstrem kekerasan.
Menyusul dua peristiwa itu, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Boy Rafli Amar mengatakan, saat ini penyebaran terorisme dinilai berlangsung masif melalui media sosial. Target penyebaran terorisme menyasar kaum muda atau milenial yang banyak berinteraksi di dunia maya (Kompas, 6/4/2012).
Meksipun kondisi ini nampaknya mencemaskan, dari survei yang dilakukan International NGO Forum of Indonesian Development (INFID) dan Jaringan Gusdurian diketahui bahwa sebenarnya anak muda Indonesia punya persepsi yang semakin negatif terhadap aksi radikalisme dan terorisme. Bahkan, sikap ini meningkat dalam empat tahun terakhir karena meyakini sikap radikalisme muncul akibat pemahaaman agama yang tidak tuntas.
Survei bertajuk ”Persepsi dan Sikap Generasi Muda terhadap Intoleransi dan Ekstremisme Kekerasan Tahun 2020” itu digelar di enam kota, yakni Surabaya, Surakarta, Bandung, Yogyakarta, Makassar, dan Pontianak. Survei melibatkan 1.200 responden anak muda berusia 18-30 tahun. Survei dilakukan untuk melihat perkembangan survei serupa pada 2016.
Mereka menolak dengan pandangan negatif dan menilai terorisme bukan implementasi ajaran agama.
”Mereka menolak dengan pandangan negatif dan (menilai terorisme) bukan implementasi ajaran agama. Mereka menganggap radikalisme berbasis agama karena kedangkalan pemahaman agama,” ujar Ahmad Zainul Hamdi, dosen Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya yang juga Koordinator Penelitian, dalam diskusi daring yang digelar INFID, Selasa (23/3/2021).
Survei juga menemukan, ketaatan beragama anak muda tinggi, diukur dari kebiasaan pergi beribadah sesuai waktu, ikut upacara keagamaan, menolong fakir miskin, dan terlibat kegiatan kemanusiaan. Anak-anak muda beranggapan pemakaian simbol agama maupun terlibat dalam organisasi agama tidak terkait dengan ketaatan agama seseorang.
Anak-anak muda secara normatif mengikuti nasihat orangtua dalam kehidupan beragama. Namun, mereka juga rajin berselancar di dunia maya, memilih tokoh-tokoh agama yang sering muncul di media sosial. Terkait tokoh agama yang diidolakan, ditemukan tiga teratas, yakni Abdul Somad, Gus Bahar, dan Habib Rizieq. Sementara pada survei 2016, tiga tokoh agama yang diidolakan adalah Gus Dur, Ustaz Jefri, dan Yusuf Mansyur.
”Kalau temuan tentang tokoh diperbandingkan, lebih pada siapa yang sering beredar di media online. Karena anak-anak muda ini lebih dari 80 persen di media online,” ujar Ahmad.
Meskipun anak muda punya pandangan negatif terhadap teorisme, pada saat yang sama mereka masih menunjukkan sikap positif pada intoleransi. Ketika dihadapkan pada kasus dan pernyataan tentang keagamaan, terutama untuk anak muda Muslim, sikap intoleransi masih tinggi. Beberapa yang menonjol yakni tidak mengucapkan selamat hari raya kepada penganut agama lain, lebih memilih berteman yang sesama agama, serta menganggap yang berbeda agama sebagai kaum kafir.
”Melihat tren dari tahun 2016 ke 2020, tetap ada kenaikan positif pada toleransi dan anti-radikalisme. Namun, karena masih ada kesenjangan, tetap perlu diwaspadai dengan usaha-usaha yang merangkul anak muda semakin sadar pada masalah toleransi dan radikalisme,” kata Ahmad.
Melawan radikalisme
Pekan lalu, aksi anak muda melawan radikalisme dan terorisme digelar Badan Eksektif Mahasiswa Nusantara Daerah Istimewa Yogyakarta. Mereka menggelar aksi damai dan doa bersama lintas agama dan tabur bunga di Tugu Yogyakarta.
Ketua BEM Nusantara DIY Achmad Mubarok memimpin pernyataan sikap yang menolak keras segala bentuk paham radikalisme dan intoleransi. ”Kami berasal dari berbagai wilayah se-Indonesia. Namun, rasa empati dan peduli mengetuk hati teman-teman semua untuk melakukan aksi ini di tengah kesibukan mengerjakan tugas kuliah. Ini untuk menyatukan nilai persaudaraan di antara mahasiswa,” kata Achmad.
Upaya melawan ideologi radikalisme dan esktrem kekerasan harus terus dilakukan antara lain dengan gerakan literasi. Febri (26), penulis buku 300 Hari di Bumi Syam, menyadari betapa mudahnya paham-paham radikalisme disebarkan kepada anak muda melalui media sosial.
”Kalau anak muda tidak punya imunitas diri yang kuat, tidak punya literasi digital, mereka menerima begitu saja apapun yang mereka baca. Ini akan memicu tindakan yang melanggar norma,” katanya yang dihubungi dari Jakarta, Minggu (11/4/2021).
Ia mengalami sendiri terkena bujuk rayu kelompok radikalisme melalui media sosial. September 2016, Febri berangkat ke Suriah karena tergiur iming-iming hidup sejahtera di negeri yang sebut juga Syam (negeri berjuta keberkahan) yang beredar di media sosial. Ia baru sadar bahwa apa dapatkan di media sosial sekadar propaganda Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) ketika ia tiba di Suriah.
Alih-alih negeri yang sejahtera, ia justru melihat negeri yang kacau balau dan berantakan karena perang. Pihak-pihak yang bertikai tak segan melakukan kekerasan atas nama Tuhan. ”Saya jadi berpikir, kok sesama Islam seperti ini. Apa yang mereka lakukan itu tidak mencerminkan Islam,” cerita Febri yang saat itu baru berusia 22 tahun, Minggu.
Beruntung Febri bisa kembali ke Indonesia pada Februari 2017. Saat ini, Febri aktif dalam upaya-upaya pencegahan agar anak muda tidak terpapar paham radikalisme. Ia sering membagikan kisahnya dalam pertemuan dengan anak-anak sekolah dan pesantren.
Menurut Febri, hanya perlu empat tahapan seseorang menganut paham radikalisme. Tahap pertama, mereka bersimpati pada tindakan kekerasan yang dilakukan suatu kelompok karena merasa kecewa dengan pemerintahan.
Tahap kedua, mereka mulai menjadi pendukung atau suporter. Pada tahapan ini, orang tersebut bisanya mendukung dalam bentuk pendanaan atau memberi fasilitas logistik pada kelompok berideologi radikalisme.
Tahap ketiga, mereka menjadi pelaku teror seperti pasangan muda L dan YSF yang melakukan aksi bom bunuh diri di Makassar dan ZA yang menyerang Mabes Polri.
Pada tahap keempat atau level tertinggi, mereka menjadi “recruiter” orang-orang baru kelompok teroris. Orang-orang ini biasanya membagikan narasi-narasi menyesatkan untuk mengajak orang terlibat dalam tindakan kekerasan atas nama agama.
Narasi yang mereka sebarkan bisa begitu menancap di kepala anak muda yang menjadi target. Ia mencontohkan seorang remaja putri berusia 14 tahun yang ia dampingi agar lepas dari paham radikalisme yang diperoleh dari media sosial dan pamannya. ”Remaja itu berniat kabur dari pesantren untuk pergi ke Suriah,” kata Febri.
Meskipun media sosial bukanlah faktor tunggal yang memengaruhi anak muda terpapar paham radikalisme, sekali lagi Febri mengingatkan pentingnya mengajarkan literasi digital untuk anak muda. ”Mereka harus diajak memahami berita, mencari media-media pembanding. Sayangnya, di Indonesia literasi digital sangat rendah. Baru membaca judul saja mereka sudah bereaksi dan menyebarkan informasi yang tidak benar,” ujarnya.
Penting juga untuk selalu membagikan narasi mengenai toleransi dan perdamaian di kalangan anak muda. ”Intinya semua agama mengajarkan kebaikan, tidak ada yang menyuruh seseorang berbuat kerusakan. Kalau ada aksi serangan atau teror, itu hanya oknum yang membawa embel-embel agama,” kata Febri.
Menurut Kharis Hadirin (31), peneliti dan penulis di Ruangobrol.id, keterlibatan anak muda dalam aksis terror sudah lama terjadi. Pelaku bom Bali 1 dan 2, bom JW Marriot, misalnya, melibatkan anak muda berusia di bawah 35 tahun.
Meski begitu, ada perubahan dalam hal perekrutan dan penyusunan aksi teror. Kalau dulu anak-anak muda direkrut melalui pengajian atau melalui pesantren, kini perekrutan relatif mudah karena banyak terjadi di ruang media sosial. ”Kadang-kadang, orang-orang yang berada dalam komunitas radikal ini tidak pernah saling bertemu tatap muka, tetapi mereka bisa merencanakan suatu aksi serangan di tempat-tempat tertentu. Selama orang-orang itu punya pemikiran dan keyakinan yang sama, mereka sudah bisa menjadi satu jaringan,” ujarnya.
Hal itulah yang terjadi pada aksi peledakan bom di Makassar dan serangan di Mabes Polri. Mereka tidak saling mengenal, tetapi mereka berada pada jaringan dan mempunyai keyakinan yang sama.
Kharis mengaku pernah bergabung di sebuah pesantren di Lamongan yang pendirinya memiliki hubungan darah dengan tiga saudara pelaku bom Bali, yakni Amrozi, Ali Gufron, dan Ali Imron. Di sana, ia juga pernah menerima narasi perang dan jihad.
Seiring waktu, Kharis pindah ke Jakarta dan banyak bergaul dengan kelompok Islam dari berbagai latar belakang. Hal inilah mengubah cara pandangnya terhadap dunia.
Menurut Kharis, lingkungan dan pergaulan sangat menentukan bagaimana seseorang bisa menolak atau menerima paham-paham radikalisme. Selain itu, dibutuhkan juga sistem pendukung sistem bagi anak-anak muda yang membantunya bertumbuh secara optimal dan tidak lagi bergabung dengan kelompok lama yang mengusung paham radikalisme.