Pendanaan negara untuk Papua selama 20 tahun terakhir, termasuk dari dana otsus Papua, telah mencapai ratusan triliun rupiah. Namun, Papua masih tertinggal. Melalui RUU Otsus Papua, tata kelola dana harus diperbaiki.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah telah mengkaji pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Papua dan Papua Barat selama hampir 20 tahun ini. Dari hasil kajian tersebut, sejumlah hal perlu diperbaiki, antara lain tata kelola dana otonomi khusus, tata kelola manajemen pemerintahan, serta percepatan dan pemerataan pembangunan di wilayah Papua.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dalam rapat dengan Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua DPR, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (8/4/2021), mengatakan, kondisi geografis yang berat dan luas di Papua masih menjadi kendala utama. Ini berdampak pada percepatan dan pemerataan pembangunan di wilayah Papua.
Selain itu, rentang kendali pembangunan juga semakin sulit dan di luar jangkuan pemerintah pusat. Situasi tersebut tentu juga berdampak pada efektivitas birokrasi.
”Ini menjadi catatan untuk kita semua dan mungkin menjadi bagian dari perbaikan revisi undang-undang ini,” ujar Tito.
Tito melihat bahwa akar masalah utama di Papua adalah kesenjangan kesejahteraan, terutama di daerah-daerah terpencil dan daerah-daerah pegunungan. Ironisnya, ini tak sejalan dengan anggaran Provinsi Papua dan Papua Barat yang sebetulnya cukup tinggi.
Dari sini, menurut Tito, ada persoalan mengenai tata kelola keuangan dan tata kelola manajemen pemerintahan di Papua. Ia berharap RUU Otsus Papua ini menjadi momentum untuk semakin meningkatkan pembinaan dan pengawasan.
”Kami harapkan otsus ke depan betul-betul bertujuan untuk spiritnya memperbaiki percepatan pembangunan, memperbaiki kesejahteraan, dan afirmasi khususnya kepda orang asli Papua,” tutur Tito.
Usul pemerintah
Untuk itu, terkait dengan substansi RUU Otsus Papua, pemerintah mengusulkan beberapa hal. Pertama, Pasal 1 tentang redefinisi Provinsi Papua. Perubahan definisi Provinsi Papua dalam Pasal 1 huruf a RUU Otsus Papua yang diusulkan pemerintah bertujuan agar menjadi lebih umum.
Dengan begitu, ke depan, RUU Otsus Papua ini tidak menimbulkan salah tafsir tentang hak otsus yang hanya diterima oleh provinsi di wilayah Papua dan Papua Barat yang sudah lebih dulu ada, tetapi untuk mengantisipasi terjadi penataan provinsi di wilayah Papua pada masa yang akan datang.
”Ini agar dapat memiliki dasar hukum yang kuat terkait pemberlakuan kebijakan otsus. Jadi, kalau memang nanti mengantisipasi ada penataan lagi, seperti mungkin ada pemekaran provinsi, maka ini juga akan dapat di-cover dengan undang-undang yang direvisi ini,” kata Tito.
Besaran dana otsus
Kedua, mengenai Pasal 34 soal dana otsus. Pemerintah berpandangan, dana ini harus terus berlanjut. Namun, dalam revisi nanti, perlu ditekankan bahwa pemerintah menganggap perlu ada keberlanjutan dana otsus.
Besaran dana otsus pun ditambah, semula 2 persen menjadi 2,25 persen dari dana alokasi umum. Ini diharapkan dapat mempercepat pembangunan dan kesejahteraan di Papua.
Akan tetapi, ujar Tito, untuk kepentingan efektivitas dan efisiensi, skemanya perlu diatur. Nanti, dana tersebut tidak langsung diberikan semuanya. Sebesar 1 persen akan diberikan terlebih dulu untuk menghargai kekhususan Papua. Lalu, sisanya sebesar 1,25 persen dapat menggunakan skema yang berbasis kinerja.
Ini bertujuan supaya dana yang diberikan bisa tepat pada sasaran dan memicu kemandirian daerah. Masyarakat pun dapat merasakan perencanaan program yang transparan serta kebermanfaatannya.
”Yang terutama, ini mencegah terjadinya kebocoran-kebocoran juga,” ujar Tito.
Dalam hal penguatan pembinaan dan pengawasan, pemerintah mengusulkan agar dapat dilakukan secara terpadu, pemerintah daerah, kementerian/lembaga, dan juga mengoptimalkan peran serta masyarakat, di antaranya Majelis Rakyat Papua, Majelis Rakyat Papua Barat, Dewan Perwakilan Rakyat Papua, serta Dewan Perwakilan Rakyat Papua Barat.
Pemekaran wilayah
Hal lainnya, di Pasal 76 UU Otsus Papua yang sekarang, pemekaran provinsi harus mendapat persetujuan MRP dan DPRP. Dalam RUU Otsus Papua, pemerintah mengharapkan opsi tambahan di mana pemekaran dapat dilakukan oleh pemerintah pusat. Ini bertujuan untuk percepatan pembanguanan dan meningkatkan pelayanan publik serta kesejahteraan masyarakat.
Akan tetapi, Tito menegaskan, pemekaran wilayah ini harus memperhatikan kesatuan sosial budaya, adat, kesiapan sumber daya manusia, kemampuan ekonomi, perkembangan pada masa mendatang, serta aspirasi masyarkaat Papua melalui MRP, DPRP, dan pihak-pihak lain terkait.
”Mengapa opsi ini disampaikan? Ini kalau opsi di DPRP dan MRP terkunci di sana, sedangkan aspirasi pemekaran cukup tinggi kami rasakan,” kata Tito.
Dari paparan Mendagri, pemekaran Provinsi Papua bakal menjadi enam wilayah administrasi. Namun, rencana tersebut belum final karena masih terdapat perdebatan terkait dengan pemekaran. Enam provinsi yang diusulkan pemerintah pusat antara lain, Papua Barat Daya, Papua Barat, Papua Tengah, Pegunungan Tengah, Papua Selatan, dan Papua Tabi Saireri.
Secara lebih rinci, Provinsi Papua Barat Daya terdiri dari enam kabupaten atau kota, yaitu Raja Ampat, Sorong, Sorong Selatan, Maybrat, Tambrauw, dan Kota Sorong.
Provinsi Papua Barat terbagi tujuh kabupaten, yaitu Manokwari, Pengunungan Arfak, Mankowari Barat, Teluk Bintuni, Teluk Wondama, Fak Fak, dan Kaimana.
Provinsi Papua Tengah terdiri dari enam kabupaten, yaitu Paniyai, Degiyai, Dogiyai, Intan Jaya, Mimika, dan Nabire.
Provinsi Pegunungan Tengah terdiri dari sembilan kabupaten, yaitu Jayawijaya, Yahukimo, Yalimo, Tolikara, Lanny Jaya, Membramo Tengah, Nduga, Puncak Jaya, dan Puncak.
Provinsi Papua Selatan terbagi menjadi lima kabupaten, yakni Merauke, Asmat, Mappi, Bovendigoel, dan Pegunungan Bintang.
Kemudian, Provinsi Papua Tabi Saireri akan terbagi menjadi sembilan kabupaten atau kota, yakni Kota Jayapura, Jayapura, Keerom, Sarmi, Membramo Raya, Waropen, Kepulauan Yapen, Biak Numfor, serta Supiori.
Dana otsus
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Astera Primanto mengungkapkan, pendanaan untuk Papua dan Papua Barat cukup besar selama 20 tahun terakhir.
Dari 2002-2021, jumlahnya sebesar Rp 138,65 triliun. Lalu, selama 2005-2021, transfer ke daerah dan dana desa mencapai Rp 702,30 triliun. Adapun belanja kementerian/lembaga dari 2005-2021 sebesar Rp 251,29 triliun.
”Jika dilihat dari penerimaan transfer ke daerah dan dana desa secara spesifik, itu Papua, kalau dibandingkan dengan Aceh yang sama-sama dapat otsus, kemudian Nusa Tenggara Timur yang memiliki Indeks Pembangunan Manusia atau IPM yang sama, Kalimantan Timur yang sama-sama memiliki sumber daya alam, dan Maluku yang memiliki kesamaan dari sisi geografis, ini terlihat Papua jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang lain,” kata Astera.
Jika dibandingkan secara per kapita, untuk Papua, dari transfer daerah dan dana desa, setiap orang di Papua bisa menikmati sekitar Rp 14,7 juta, sedangkan Papua Barat sekitar Rp 10,2 juta. Ini berbeda jauh dengan daerah lain, apalagi secara nasional, yang hanya Rp 3 juta per orang.
”Namun, ini memang karena populasi yang rendah di Papua. Tetapi, kami hanya ingin menunjukkan bahwa pemerintah memang sangat serius dalam mendorong Papua supaya bisa mendapatkan hal yang lebih baik,” tutur Astera.
Ketua Pansus RUU Otsus Papua DPR dari Fraksi PDI-P Komarudin Watubun menargetkan pembahasan RUU Otsus Papua bisa tuntas pada 15 Juli 2021. RUU ini harus segera diselesaikan demi memastikan kesejahteraan masyarakat Papua. Seperti diketahui, dana otsus Papua yang tertera di UU Otsus Papua akan habis masa berlakunya tahun ini.