Pemerintah akan menaikkan dana otonomi khusus Papua. Selain itu, pengawasan dan pembinaan dalam pengelolaan dana akan ditingkatkan.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menaikkan anggaran otonomi khusus Papua, yakni dari yang semula hanya 2 persen dari plafon dana alokasi umum, kini menjadi 2,25 persen dari DAU. Kenaikan anggaran itu tercantum di dalam draf Rancangan Undang-Undang Otsus Papua yang diserahkan pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Namun, kali ini RUU Otsus juga mengatur pula tentang mekanisme pembinaan dan pengawasan anggaran otsus yang nantinya diatur di dalam peraturan pemerintah.
Perubahan substantif itu ditemui di dalam Pasal 34 RUU Otsus. Di dalam Pasal 34 Ayat (3) RUU Otsus, dana otsus 2,25 persen DAU tersebut dibagi menjadi dua. Rinciannya, penerimaan yang bersifat umum setara dengan satu persen dari plafon DAU nasional; dan penerimaan yang telah ditentukan penggunaannya dengan berbasis kinerja pelaksanaan setara dengan 1,25% dari plafon DAU, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan.
Selain itu, Pasal 34 Ayat (9) dan (10) juga mengatur tentang peran kementerian, lembaga pemerintah non-kementerian, dan pemerintah provinsi daerah Papua secara terkoordinasi guna membina dan mengawasi pengelolaan penerimaan tersebut. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan serta pembinaan dan pengawasan penerimaan dalam rangka pelaksanaan Otsus Papua itu akan diatur dengan peraturan pemerintah (PP). Ketentuan mengenai pembinaan dan pengawasan dana Otsus Papua ini sebelumnya tidak terdapat di dalam UU Otsus Papua Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus untuk Provinsi Papua.
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR dari Fraksi Nasdem Willy Aditya, saat dihubungi, Senin (4/1/2021), mengatakan, RUU Otsus Papua itu menjadi salah satu prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021. Presiden telah mengirimkan surat presiden (surpres) kepada DPR pada 4 Desember 2020. Namun, karena saat ini DPR masih reses, pimpinan DPR belum bisa membahas RUU Otsus di dalam Badan Musyawarah (Bamus) sehingga belum bisa diketahui apakah RUU itu akan dibahas di alat kelengkapan dewan (AKD) tertentu, ataukah di panitia khusus (pansus), atau di Baleg.
Terkait isi RUU Otsus Papua, Willy mengatakan, DPR terus mendukung aspirasi dari masyarakat. ”Tentu kami mengapresiasi apa yang terus diperjuangkan teman-teman dan masyarakat. Tinggal bagaimana proses penempatan dan pengalokasiannya. Tentu Otsus Papua tidak hanya bicara soal kemudahan anggaran, tetapi juga mewujudkan bagaimana Papua menjadi pusat kebudayaan, termasuk pengembangan sumber daya manusia (SDM) di Papua,” katanya.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan, selama 20 tahun otsus Papua, masih didapati persoalan dalam tata kelola dan manajemen anggaran otsus. Anggaran otsus Papua yang nilainya triliunan rupiah selama 20 tahun praktis belum sepenuhnya dirasakan masyarakat, terutama orang asli Papua. Salah satu yang menjadi kendala dalam operasionalisasi anggaran otsus ialah minimnya pengawasan dan akuntabilitas, serta transparansi alokasi anggaran oleh pemda.
”Masih belum adanya kesepahaman tentang definisi dana otsus Papua. Bagi elite lokal Papua, dana otsus itu dimaknai sebagai dana politik yang menjadi jaminan agar Papua tidak lepas dari Indonesia. Hal ini tentu tidak sesuai dengan harapan awal, yakni dana otsus itu untuk pembangunan kesejahteraan rakyat Papua,” kata Robert.
Anggaran otsus Papua yang nilainya triliunan rupiah selama 20 tahun praktis belum sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat, terutama orang asli Papua
Pemahaman dana otsus sebagai dana politik itu membuat pemda atau elite lokal cenderung abai pada transparansi dan akuntabilitas anggaran. ”Karena dianggap sebagai dana politik, elite lokal merasa tidak perlu ada pertanggungjawaban atau akuntabilitas. Ini tentu tidak sehat karena potensi manipulasi atau korupsi sangat tinggi dari dana otsus tersebut, dan hanya dinikmati oleh elite lokal,” ujarnya.
Robert mengatakan, sekalipun telah ada ketentuan mengenai pembinaan dan pengawasan dalam penggunaan dana otsus di dalam RUU Otsus Papua, sebaiknya hal itu tidak hanya tercantum di atas kertas. Agar pengawasan dan pembinaan itu operasional di lapangan, ketentuan itu harus dilandasi pada kesepakatan antara pemerintah pusat dan Pemda Papua.
”Mestinya konsensus dibangun sebagai pakta kesepakatan antara pusat dan Papua bahwa dana otsus akan diikuti dengan sejumlah syarat. Dan, sejauh mungkin hal itu tertuang di dalam UU, bukan malah delegasi ke PP yang selama ini tidak efektif dan tidak ada bedanya dari binwas (pembinaan dan pengawasan) secara umum di dalam PP No 12/2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemda,” ujarnya.
Selain minim pengaturan detail mengenai tata kelola dana otsus, materi RUU Otsus Papua juga masih berorientasi membawa uang dari Jakarta ke Papua atau desentralisasi fiskal.
Selain minim pengaturan detail mengenai tata kelola dana otsus, materi RUU Otsus Papua juga masih berorientasi membawa uang dari Jakarta ke Papua atau desentralisasi fiskal. Penambahan anggaran otsus untuk Papua adalah suatu hal yang bagus sepanjang dana tersebut dikelola dengan benar di lapangan.
Secara terpisah, anggota DPR dari Fraksi Gerindra yang berasal dari Daerah Pemilihan (Dapil) Papua, Yan Permenas Mandenas, mengatakan, sebagai putra Papua, ia menilai persoalan Otsus Papua bukan hanya soal anggaran. Namun, anggaran itu dipandang menjadi bagian dari instrumen kebijakan yang merupakan kompensasi dari pemerintah pusat dalam rangka percepatan pembangunan di wilayah Papua. Harapannya, terjadi pemerataan pembangunan di Papua, sebagaimana pembangunan di daerah lain di Indonesia.
”Kita setuju anggaran dinaikkan, tetapi harus dipaparkan dulu hasil evaluasi dan audit dana otsus selama 20 tahun. Penggunaannya seperti apa, dan realisasinya berapa persen,” katanya.
Salah satu kendala dalam penyerapan anggaran otsus Papua, menurut Yan, ialah teknis pencairan dana yang kerap dilakukan pada bulan Oktober. Akibatnya, hanya tersisa beberapa bulan saja sebulan tahun anggaran berakhir. Kondisi ini tidak ideal bagi penyerapan dana otsus. Ia berharap pemerintah pusat paling lambat mencairkan dana otsus itu bulan Maret sehingga ada cukup waktu setiap tahunnya untuk diserap dalam tahun anggaran berjalan.
”Proses administrasi keuangan yang berbelit-belit ini juga menghambat percepatan pembangunan di daerah. Terlebih lagi Papua ini kan secara geografis sulit dijangkau. Kalau proses administrasi keuangan tidak tepat waktu, maka serapan anggaran untuk setahun tidak maksimal,” ujarnya.