Hentikan Penyidikan Kasus BLBI, KPK Dinilai Mulai Dilemahkan
Untuk pertama kalinya, KPK menghentikan penyidikan sebuah perkara. Kasus yang di-SP3-kan melibatkan Sjamsul Nursalim dan, istrinya, Itjih Sjamsul Nursalim. Penghentian kasus ini akan melemahkan KPK.
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi menghentikan penyidikan perkara kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI yang melibatkan Sjamsul Nursalim dan Itjih Sjamsul Nursalim. Penghentian kasus untuk pertama kali ini dinilai sebagai dampak dari revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, yang akan terus melemahkan upaya pemberantasan korupsi di Tanah Air.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, dalam konferensi pers di Gedung KPK, Kamis (1/4/2021), mengatakan, surat perintah penghentian penyidikan (SP3) terkait dengan kasus BLBI telah diterbitkan pada Rabu (31/3/2021). Penerbitan SP3 tersebut juga telah disampaikan kepada Dewan Pengawas KPK.
”Penghentian penyidikan ini sebagai bagian adanya kepastian hukum dalam proses penegakan hukum,” ujar Alex.
Dengan SP3 itu, KPK resmi menghentikan penyidikan dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan tersangka Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) dan Itjih Sjamsul Nursalim, istrinya, yang bersama-sama dengan Syafruddin Arsyad Temenggung selaku Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dalam proses pemenuhan kewajiban pemegang saham BDNI selaku obligor BLBI kepada BPPN. Dalam kasus ini, kerugian negara diduga mencapai Rp 4,58 triliun.
Baca juga: KPK: Pengusutan BLBI Jalan Terus
Penghentian penyidikan ini sebagai bagian adanya kepastian hukum dalam proses penegakan hukum. (Alexander Marwata)
Alex mengungkapkan, penghentian penyidikan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 40 UU No 19/2019 tentang KPK. Berdasarkan Pasal 40 Ayat (1) UU KPK, KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun.
”Sebagai bagian dari penegak hukum, maka dalam setiap penanganan perkara, KPK memastikan akan selalu mematuhi aturan hukum yang berlaku,” ujar Alex.
Sebagaimana pernah diberitakan, terkait dengan kasus BLBI, pada 2019, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan kasasi Syafruddin. Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan, dia terbukti melakukan perbuatan sebagaimana yang didakwakan kepadanya, tetapi perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana. MA pun melepaskan Syafruddin dari segala tuntutan hukum. Pada 2020, KPK mengirimkan permohonan peninjauan kembali (PK), tetapi PK tersebut ditolak MA.
Alex menjelaskan, KPK telah berupaya sampai dengan pengajuan PK perkara dengan terdakwa Syafruddin. Namun, dengan putusan MA yang menyatakan perbuatan terdakwa bukan merupakan tindak pidana dan melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging), KPK tidak bisa menempuh upaya hukum lain lagi.
”KPK telah meminta pendapat dan keterangan ahli hukum pidana yang pada pokoknya disimpulkan bahwa tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh KPK,” ucap Alex.
Menyasar kasus lain
Terkait kemungkinan menghentikan kasus-kasus lama lain, Alex tak menampiknya. Menurut dia, penghentian penyidikan suatu perkara harus dilihat kasus per kasus.
Setidaknya ada dua pertimbangan suatu kasus bisa dihentikan. Pertama, tersangkanya sudah tidak bisa lagi mengikuti pemeriksaan karena sakit parah dan atau sakit permanen sehingga tidak layak diajukan ke persidangan.
Terhadap kasus itu pun, KPK harus mendapatkan pendapat kedua (second opinion) dari dokter yang menyatakan bahwa tersangka tidak memungkinkan lagi untuk melakukan proses penyidikannya.
”Itu akan kami terbitkan juga SP3-nya karena kami tidak ingin menggantung nasib seseorang dalam ketidakpastian tersebut,” kata Alex.
Pertimbangan kedua, terkait kasus yang lama, KPK juga akan meninjau kembali sejauh mana perkembangan penyidikan tersebut. ”Nah, memang ada beberapa kasus yang sudah lama. Nanti kami akan melihat proses perkembangannya,” katanya.
Tak ada basis legal
Sementara itu, kuasa hukum Sjamsul dan Itjih, Otto Hasibuan, melalui keterangan tertulis yang diterima Kompas, mengapresiasi KPK atas keputusan untuk menghentikan penyidikan perkara terhadap kliennya.
Ia menilai, keputusan KPK ini sangat tepat dan telah sesuai dengan hukum. Sebab, dengan telah dilepaskannya Syafruddin dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging) berdasarkan putusan kasasi MA yang telah berkekuatan hukum tetap, maka tidak ada basis legal untuk meneruskan penyidikan terhadap kliennya.
”Kasus klien terkait penyelesaian BLBI telah berlangsung lebih dari 20 tahun sehingga secara hukum pun seharusnya telah kedaluwarsa. Klien beberapa kali telah dinyatakan selesai memenuhi kewajibannya oleh Pemerintah Republik Indonesia, tetapi masih terus dipermasalahkan sehingga tidak ada jaminan kepastian hukum,” tutur Otto.
Keputusan KPK ini, menurut Otto, memberikan angin segar dalam penegakan hukum oleh KPK di Indonesia, khususnya dalam memberi jaminan kepastian hukum. ”khirnya, justice has been served (keadilan telah ditegakkan) terhadap klien,” katanya.
Pelemahan pemberantasan korupsi
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, berpandangan, penghentian penyidikan kasus BLBI ini merupakan rangkaian pelemahan KPK melalui UU No 19/2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No 30/2002 tentang KPK.
Pada UU KPK yang baru, tepatnya di dalam Pasal 40, KPK dibenarkan untuk mengeluarkan SP3. Hal itu sebenarnya sejak awal telah ditolak oleh ICW bersama koalisi masyarakat sipil yang lain.
”Salah satu yang utama dalam beberapa kali putusan Mahkamah Konstitusi sudah dijelaskan, bahwa KPK tidak dibenarkan mengeluarkan SP3 karena KPK adalah lembaga extra ordinary yang mana harus perfect untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan perkara korupsi,” ucap Kurnia.
Jikapun seandainya tidak ditemukan bukti yang cukup dalam proses penyelidikan dan penyidikan, menurut Kurnia, mekanisme yang benar tidaklah dengan mengeluarkan SP3, tetapi bisa menghentikan di tahap penyelidikan. KPK, lanjutnya, juga berwenang melimpahkan perkara ke penegak hukum lain, ketimbang harus mengeluarkan SP3.
” Jika asal mengeluarkan SP3, ini dikhawatirkan dapat dijadikan bancakan kasus korupsi,” kata Kurnia.
Terkait dengan SP3 perkara BLBI, ICW sebenarnya sudah jauh-jauh hari memprediksi hal ini. Niat ini terbaca ketika pemerintah dan DPR sepakat memasukkan unsur SP3 di dalam UU KPK yang baru.
” Ada motif politik di sana yang memang sejak awal ingin menghentikan perkara-perkara besar, salah satunya perkara BLBI,” kata Kurnia.
Dengan adanya SP3 ini, Kurnia pun memprediksi akan ada kasus-kasus besar lain yang diberhentikan proses penyidikannya. Misalnya, kasus Bank Century dan kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el). ”Di dua kasus itu, kita enggak pernah mendengar ada kelanjutannya di bawah kepemimpinan KPK sekarang. Jadi, tak menutup kemungkinan, kasus-kasus besar lain akan mengalami hal yang sama dengan kasus BLBI,” ujarnya.
Menurut Kurnia, kasus BLBI ini juga harus dilihat secara utuh. Dalam putusan MA atas terdakwa Syafruddin, ada beberapa kejanggalan. Kejanggalan yang paling jelas ialah salah satu majelis hakim yang menyidangkan perkara Syafruddin terbukti melanggar kode etik karena bertemu dengan kuasa hukum Syafruddin, Ahmad Yani.
Baca juga: Kasus BLBI Menjadi Perhatian Media
”Hal itu, kan, dinafikkan begitu saja. Padahal, kita tidak tahu, apa motif pertemuan itu. Pertemuan itu dilakukan menjelang putusan lepas Syafruddin Arsyad Temenggung. Jadi, kami masih menganggap perkara tersebut tetap bisa dilanjutkan karena ada kerugian negara yang sangat besar di sana,” katanya.
Tidak transparan
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, pun sependapat dengan Kurnia bahwa SP3 terhadap kasus BLBI bukan sesuatu yang mengagetkan. Hal ini konsekuensi dari revisi UU KPK yang memungkinkan KPK memiliki kewenangan untuk mengeluarkan SP3.
”Jadi, menurut saya, SP3 ini memang seperti sudah direncanakan di dalam revisi UU KPK bahwa kelak akan ada SP3 untuk perkara-perkara penting,” kata Zaenur.
Menurut Zaenur, SP3 kasus BLBI ini bukanlah SP3 terakhir. Setelah ini, tidak menutup kemungkinan SP3 menyasar perkara-perkara lain. Bahkan, lanjutnya, tidak menutup kemungkinan juga jika suatu saat terjadi semacam jual-beli perkara di masa depan.
”Itu sangat mungkin terjadi jual-beli perkara di KPK karena adanya kewenangan SP3. Hal itu suatu kemunduran yang sangat disesalkan. Ketika revisi UU KPK di dalam Pasal 40 itu memberi fasilitas SP3, maka KPK sudah tidak lagi bersifat khas karena sama seperti kejaksaan dan kepolisian yang memiliki SP3,” ujarnya.
Padahal, di dalam UU KPK yang lama, yakni UU No 30/2002, KPK tidak memiliki kewenangan SP3 dan hal itu konstitusional menurut Mahkamah Konstitusi. Di dalam putusan MK Nomor 006/PUU-1/2003 yang diputus 30 Maret 2004, MK menyatakan bahwa ketiadaan SP3 konstitusional karena bisa mencegah KPK menyalahgunakan kewenangan yang sangat besar.
”Jadi, menurut saya, ini buah dari revisi UU KPK. Sesuatu yang konstitusional, yaitu tidak ada SP3 menjadi ada SP3, dan sekarang SP3 digunakan untuk membebaskan orang-orang dengan profil kasus korupsi yang sangat besar. Tentu hal ini merugikan rakyat Indonesia yang harus menanggung kasus korupsi. Uang rakyat dikorupsi oleh para pelaku dan sekarang mereka dapat melenggang kangkung, terbebas dari jeratan hukum,” kata Zaenur.
Pengaturan di Pasal 40 UU KPK pun, menurut Zaenur, problematik dan sejak awal berniat untuk memperlemah KPK. Alasannya, di dalam KUHAP, tidak ada jangka waktu, apalagi jangka waktu dua tahun. Jangka waktu dua tahun, lanjutnya, sangat mustahil untuk kasus-kasus yang sulit dan besar, seperti kasus-kasus yang bersifat transnasional, kasus yang alat bukti, harta hasil kejahatan, serta para pihak, berada di luar negara.
”Hal itu mustahil diselesaikan dalam jangka waktu dua tahun. Jadi, sudah suatu niat dari pembentuk undang-undang bahwa memang revisi UU KPK ditujukan memberi SP3 pada pihak-pihak tertentu,” katanya.
KPK, lanjut Zaenur, juga tidak transparan dalam menjelaskan alasan menerbitkan SP3 atas perkara BLBI yang melibatkan Sjamsul dan Itjih. Di dalam penjelasan KPK, SP3 dikeluarkan karena Sjamsul dan Itjih bukan penegak hukum dan bukan penyelenggara negara.
Jadi, menurut saya, ini buah dari revisi UU KPK. Sesuatu yang konstitusional yaitu tidak ada SP3 menjadi ada SP3, dan sekarang SP3 digunakan untuk membebaskan orang-orang dengan profil kasus korupsi yang sangat besar. Tentu hal ini merugikan rakyat Indonesia yang harus menanggung kasus korupsi. Uang rakyat dikorupsi oleh para pelaku dan sekarang mereka dapat melenggang kangkung, terbebas dari jeratan hukum.
Padahal, di Pasal 11 Ayat 1 huruf (b) UU KPK, KPK dimungkinkan untuk memproses korupsi yang menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1 miliar.
”Jadi, meskipun sudah tidak ada tersangka dari aparat penegak hukum atau penyelenggara negara, sebenarnya Sjamsul itu tetap bisa diproses. Kenapa? Korupsinya menyangkut kerugian negara lebih dari Rp 1 miliar sehingga alasan KPK tidak tepat dan tak cukup transparan apa yang membuat KPK menerbitkan SP3 atas perkara ini,” tutur Zaenur.
Selain itu, Zaenur menilai, penanganan perkara BLBI yang melibatkan Sjamsul dan Itjih tidak cukup hanya dua tahun karena para tersangka berada di luar negeri. Harta hasil kejahatan juga kemungkinan berada di luar negeri. Dengan begitu, menurut dia, hal wajar apabila KPK membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk melakukan proses penyidikan.
”Kalau itu tiba-tiba di-SP3 hanya karena Syafruddin sudah divonis bebas, ini suatu kemunduran pemberantasan korupsi. KPK sudah tidak lagi bersedia, tidak lagi mau berjuang untuk melakukan pengusutan terhadap kasus BLBI. Padahal, kasus BLBI melibatkan kerugian negara sangat besar, triliunan rupiah. Rakyat harus menanggung akibat dari korupsi tersebut. Rakyat kini tak bisa lagi berharap pada KPK,” katanya.