KPK memastikan akan tetap mengusut kasus dugaan korupsi terkait pemberian surat keterangan lunas BLBI meskipun Mahkamah Agung melepaskan salah satu terdakwa perkara ini, mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung.
Oleh
Sharon Patricia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi memastikan akan tetap mengusut kasus dugaan korupsi terkait pemberian surat keterangan lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia meskipun Mahkamah Agung melepaskan salah satu terdakwa perkara ini, mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional Syafruddin Arsyad Temenggung.
KPK pun berharap MA segera menyelesaikan dan memberikan salinan putusan kasasi lengkap yang membebaskan Syafruddin. Salinan putusan kasasi Syafruddin dibutuhkan KPK untuk dapat menentukan upaya hukum selanjutnya dalam kasus dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
”Kami pastikan KPK akan berjalan terus untuk melakukan penyidikan atas perkara ini. Besok juga ada beberapa saksi lagi dalam kasus BLBI yang akan kami periksa dan kami dalami,” ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Rabu (10/7/2019).
Menurut dia, tim jaksa KPK belum menerima salinan lengkap putusan kasasi MA. ”Sampai dengan hari ini, tadi saya cek ke tim jaksa penuntut umum, kami belum menerima salinan putusan lengkap kasasi dari MA. Kami harap MA bisa segera menyelesaikan itu,” ucap Febri.
Hari ini KPK memeriksa empat saksi untuk penyidikan kasus dugaan korupsi BLBI dengan tersangka pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim. Selain Sjamsul, istrinya, Itjih Nursalim, juga telah ditetapkan KPK sebagai tersangka dalam kasus yang sama.
Keempat saksi yang diperiksa KPK pada hari ini adalah Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) periode 1998-2000 Glenn Muhammad Surya Yusuf, Menteri Badan Usaha Milik Negara pada Kabinet Gotong Royong Laksamana Sukardi, pegawai negeri sipil Edwin H Abdullah, dan pihak swasta Farid Harianto.
Febri menyampaikan, tim penyidik mengonfirmasi pengetahuan dan peran saksi-saksi terkait dengan proses pemenuhan kewajiban pemegang saham BDNI sesuai kapasitas masing-masing. Pada prinsipnya, KPK terus memperkuat bukti-bukti dugaan korupsi yang dilakukan Sjamsul dan Itjih dalam perkara ini.
”Setiap fakta yang sudah kami temukan sebelumnya itu kami pertanyakan kembali dan kami perkuat kembali bukti-buktinya sebagai dugaan tindak pidana korupsi,” kata Febri.
Untuk saksi Glenn, tim penyidik mendalami rangkaian proses mulai dari pengambilalihan pengelolaan BDNI dan tanggung jawab Sjamsul dalam penyelesaian kewajibannya. Termasuk permintaan agar Sjamsul menambah aset untuk mengganti kerugian karena adanya misrepresentasi atas kredit petambak saat itu, termasuk adanya penolakan dari Sjamsul dan informasi lain yang relevan.
Sementara terhadap Laksamana, tim penyidik mendalami apa yang ia ketahui dalam posisi sebagai Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) terkait dengan proses menuju penerbitan surat keterangan lunas terhadap Sjamsul.
Febri mengungkapkan, KPK saat ini menunggu salinan lengkap putusan kasasi MA yang membebaskan Syafruddin. Seluruh langkah hukum KPK berikutnya, menurut dia, akan dilakukan sesuai dengan hukum acara yang berlaku.
Febri menegaskan, salinan putusan lengkap menjadi penting bagi publik untuk menjawab segala pertanyaan yang muncul terkait putusan MA yang membebaskan Syafruddin. Ia mencontohkan alasan MA melepas vonis 15 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar di tingkat banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Febri melanjutkan, publik juga perlu tahu soal putusan hakim yang tidak bulat. Hal ini terkait dengan dissenting opinion Ketua Majelis Hakim Agung Salman Luthan. Salman justru sependapat dengan keputusan di tingkat banding. Sementara Hakim Anggota I Syamsul Rakan Chaniago menilai, yang dilakukan oleh Syafruddin merupakan perbuatan perdata. Adapun Hakim Anggota II Mohammad Askin menyatakan, hal itu merupakan perbuatan administrasi.
”Kemarin pun dikatakan bahwa pada dasarnya perbuatan terdakwa terbukti. Kami juga ingin menggali dan melihat lebih jauh perbuatan-perbuatan yang terkait dan berkonsekuensi pada dugaan kerugian negara Rp 4,58 triliun itu,” kata Febri.
Poin mendasar dalam penanganan kasus ini adalah agar uang yang diduga merupakan kerugian negara itu bisa kembali ke masyarakat melalui mekanisme hukum yang ada. Selain, tentunya, proses hukum secara umum sesuai hukum acara yang berlaku.