Hasil Penyelidikan Komnas HAM Mesti Ditindaklanjuti ke Penyidikan
Rencana pemerintah untuk membentuk unit khusus menangani kasus pelanggaran HAM berat masa lalu melalui jalur nonyudisial diharapkan tidak kemudian menutup peluang digunakannya jalur hukum untuk menuntaskan kasus tersebut
JAKARTA, KOMPAS - Penuntasan kasus pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu hanya dapat diselesaikan dengan membentuk tim penyidik ad hoc untuk menindaklanjuti hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Di luar jalur hukum, upaya penyelesaian nonyudisial juga diingatkan agar tidak menabrak ketentuan perundang-undangan.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, Jumat (26/3/2021) mengatakan, Tim Khusus atau Satuan Tugas Penuntasan Dugaan Pelanggaran Hak Asasi manusia yang Berat atau Timsus HAM yang dibentuk Jaksa Agung akhir tahun lalu tidak dikenal dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Mengacu pada undang-undang tersebut, Jaksa Agung membentuk tim penyidik ad hoc yang bertugas melakukan penyidikan berdasarkan hasil penyelidikan KomnasHAM.
"Jadi tidak istilah tim khusus atau nama lain. Yang dikenal dalam nomenklatur UU Pengadilan HAM adalah tim penyidik ad hoc yang dibentuk Jaksa Agung yang di dalamnya terdiri dari unsur kejaksaan dan non-kejaksaan, termasuk masyarakat," kata Usman.
Tim penyidik ad hoc inilah yang dapat memutuskan langkah penyidikan, termasuk jika nantinya bukti yang ditemukan dianggap tidak mencukupi sehingga kasus harus dihentikan
Tim penyidik ad hoc inilah yang dapat memutuskan langkah penyidikan, termasuk jika nantinya bukti yang ditemukan dianggap tidak mencukupi sehingga kasus harus dihentikan. Namun, sebelum itu, harus ada langkah penyidikan terlebih dahulu, yakni dengan mengumpulkan bukti, memanggil orang, sampai memeriksa tempat kejadian perkara (TKP). Sebagaimana diamantkan UU Pengadilan HAM, penyidik adalah Jaksa Agung.
Baca juga: Perlu Alternatif untuk Tuntaskan Kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
Menurut Usman, selama tim penyidik ad hoc belum dibentuk Jaksa Agung, maka berkas kasus pelanggaran HAM berat akan tetap seperti saat ini, yakni bolak-balik antara Komnas HAM dengan Kejaksaan Agung. Jaksa Agung sebagai penyidik akan meminta Komnas HAM melengkapi berkas penyelidikan karena dianggap kurang. Sementara Komnas HAM menyatakan bahwa berkas penyelidikan sudah cukup. Permintaan Jaksa Agung merupakan ranah penyidik, bukan penyelidik.
Kemungkinan solusi lain, menurut Usman, adalah Komnas HAM melakukan penyelidikan ulang terhadap suatu kasus-kasus pelanggaran HAM berat dengan supervisi Kejaksaan Agung. Misalnya, saat Komnas HAM hendak memanggil seseorang, hal itu dilakukan dengan sepengetahuan Jaksa Agung. Dengan demikian, proses pemberkasan akan sesuai dengan standar kejaksaan.
"Solusi baru ini mungkin akan dipandang keliru oleh sebagian kalangan, tetapi tidak ada salahnya dicoba, semisal dalam waktu 3 bulan. Dengan penyelidikan ulang, sedari awal dipastikan tidak terjadi kekurangan sebagaimana sering dijadikan alasan Jaksa Agung dalam mengembalikan berkas kasus. Namun ini perlu kerendahan hati dari Komnas HAM," ujar Usman Hamid.
Namun, lanjut Usman, pada dasarnya penuntasan kasus pelanggaran HAM berat memerlukan itikad baik dari Presiden dan kemauan politik dari Jaksa Agung. Tanpa itu, proses penuntasan pelanggaran HAM berat hanya akan jalan di tempat.
Menurut Direktur Eksekutif lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Wahyudi Djafar, percepatan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu senantiasa digulirkan di setiap periode pemerintahan. Namun, jika yang dilakukan adalah meminta Komnas HAM untuk melengkapi berkas penyelidikan, maka berkas hanya akan bolak-balik antara Kejaksaan dengan Komnas HAM.
"Mestinya dibentuk tim penyidik ad hoc yang anggotanya juga ada dari masyarakat sebagaimana amanat UU Pengadilan HAM. Kemudian kasusnya dinaikkan ke tingkat penyidikan. Baru dari situ diketahui apakah kasus layak untuk dilanjutkan atau tidak," kata Wahyudi.
Pemerintah saat ini sedang menunggu izin prakarsa untuk mengesahkan Rancangan Peraturan Presiden (Raperpres) Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran HAM yang Berat Melalui Mekanisme Non Yudisial (UKP-PPHB)
Penyelesaian nonyudisial
Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia (HAM) Kementerian Hukum dan HAM Mualimin Abdi mengatakan, pemerintah saat ini sedang menunggu izin prakarsa untuk mengesahkan Rancangan Peraturan Presiden (Raperpres) Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran HAM yang Berat Melalui Mekanisme Non Yudisial (UKP-PPHB). Unit kerja itu akan berfokus pada pemulihan dan rekonsiliasi korban sebagai bentuk kehadiran negara untuk memulihkan hak korban pelanggaran HAM berat. Adapun Mualimin Abdi adalah ketua tim penyusunan Raperpres UKP-PPHB.
Mualimin menampik bahwa unit tersebut merupakan jalan pintas untuk menutup upaya yudisial atau penyelesaian perkara di ranah pidana. Perpres itu dibuat sesuai dengan Pasal 47 UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Di dalam pasal itu disebut bahwa terhadap dugaan pelanggaran HAM berat di masa lalu, tak tertutup kemungkinan untuk diselesaikan melalui mekanisme Komisi Kebenaran dan Rekonsilisasi (KKR).
Baca juga: Menolak Lupa Sejarah Kelam 1997-1998
“Perpres UKP-PPHB adalah ikhtiar pemerintah untuk memberikan pemulihan sesuai kebutuhan masyarakat. Tidak ada niat untuk memotong atau menutup penuntasan melalui jalur yudisial. Kami sudah turun kelapangan, para korban mengatakan mereka ingin negara hadir,” kata Mualimin.
Mualimin mengatakan, Presiden Joko Widodo berkali-kali mengatakan bahwa pelanggaran HAM berat di masa lalu harus diselesaikan. Namun, porsi pemerintah bukanlah pada aspek penegakan hukum yang menjadi kewenangan Kejaksaaan Agung. Presiden sudah mendorong Jaksa Agung memproses melalui mekanisme yudisial. Apabila ada bukti yang cukup untuk dibawa ke pengadilan HAM, dipersilakan.
Di sisi lain, pemerintah juga berupaya agar mekanisme non-yudisial ditempuh. Karena UU KKR belum ada, pemerintah membentuk UKP-PPHB. Upaya non-yudisial ini pun diharapkan bisa berjalan beriringan dengan upaya yudisial di KejaksaanAgung.
“Draf RUU KKR sudah disiapkan lama. Tetapi RUU itu masuk dalam daftar kumulatif terbuka karena dulu pernah dibatalkan oleh MK. Oleh karena itu, agar negara bisa hadir dalam pemulihan dan rekonsilisasi sementara dibentuk UKP-PPHB ini,” kata Mualimin.
Perpres UKP-PPHB dibentuk untuk memberikan payung hukum apabila diperlukan koordinasi lintas kementerian. Untuk korban pelanggaran HAM berat di Talangsari, Lampung, misalnya, kata Mualimin, pemerintah sudah membangunkan jalan aspal, musala, dan jaringan listrik. Kedepan, hal itu juga akan diterapkan di wilayah-wilayah lain. Bahkan, tidak menutup kemungkinan, para korban pelanggaran HAM berat ini jugaakan mendapatkan ganti rugi seperti yang diterima korban terorisme.
Kinerja lembaga UKP-PPHB ini akan selesai apabila UU KKR disahkan dan terbentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Mualimin mengatakan, kemungkinan perpres ini akan segera disahkan apabila sudah mendapatkan izin prakarsa dari presiden. Apabila perpres disahkan, akan ada lembaga baru yang terdiri dari berbagai elemen instansi pemerintah termasuk Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Kemungkinan, lembaga itu juga akan memiliki tim pengarah yang berasal dariunsur nonpemerintah.
Kinerja lembaga UKP-PPHB ini akan selesai apabila UU KKR disahkan dan terbentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Menko Polhukam menargetkan RUU KKR dapat disahkan pada tahun 2022. Adapun, dalam rancangan perpres dicantumkan bahwa UKP-PPHB akan bekerja hingga tahun 2024.
“Melalui UKP-PPHB ini pemerintah akan mengakui bahwa ada peristiwa dugaan pelanggaran HAM Berat dan berjanji bahwa tidak akan terjadi lagi peristiwa serupa di kemudian hari,” terang Mualimin.
Baca juga: Kehadiran Negara Membantu Pemulihan Luka Masa Lalu
Direktur Imparsial Al Araf mengatakan, mekanisme apapun di luar pengadilan harus diambil pemerintah dengan mengedepankan aspirasi korban. Jangan sampai, keputusan pembentukan UKP-PPHB ini dilakukan sepihak tanpa mendengar aspirasi dari korban.
Sebab, korban pelanggaran HAM beratlah yang dapat menentukan tindakan apa yang dapat memenuhi rasa keadilan bagi mereka. Pemerintah juga harus memastikan bahwa mekanisme nonyudisial tidak menutup upaya penyelesaian dengan jalur pengadilan.
“Harus ada transparansi, diskusi yang inklusif antara korban dan pemerintah sebelum dibentuk UKP-PPHB ini. Jangan sampai janjinya tidak menutup upaya yudisial, tetapi sebenarnya arah politik hukumnya ke penyelesaian nonyudisial,” kata Al Araf.
Al Araf berpandangan, jika memang Presiden Jokowi memiliki keinginan untuk menuntaskan pelanggaran HAM berat di masa lalu, sebenarnya langkahnya sudah diatur di UU HAM dan UU Pengadilan HAM. Upaya itu dapat dilakukan dengan membentuk UU pengadilan ad hoc.
Araf menduga konfigurasi politik di pemerintahan Jokowi saat inilah yang menjadi beban untuk menuntaskan pelanggaran HAM berat di masa lalu. Sehingga, kecenderungannya adalah mendorong penyelesaian melalui nonyudisial.
Menurut Wahyudi, Raperpres tentang UKP-PPHB sebagai mekanisme nonyudisial sangat problematis. Sebab, langkah yang akan diambil adalah langsung mengarah kepada tindakan pemulihan korban yang berpotensi menabrak UU Pengadilan HAM.
Untuk pemulihan korban, lanjut Wahyudi, identifikasi korban semestinya mengacu kepada proses pengungkapan kebenaran yang terjadi periode tertentu, bukan berdasarkan kasus per kasus seperti penyelidikan Komnas HAM. Jika identifikasi korban mengacu pada hasil penyelidikan Komnas HAM, hal itu tidak dibenarkan karena hasil penyelidikan Komnas HAM merupakan penyelesaian secara yudisial, bukan nonyudisial.
"Perpres UKP-PPHB ini kesannya hanya mem-by pass, memotong langsung ke tindakan pemulihan dengan menerabas aturan UU tentang Pengadilan HAM. Maka ini menjadi tidak legal dan tidak legitimate," ujar Wahyudi.
Jika pilihan penyelesaiannya adalah nonyudisial, maka jalan yang dapat dilakukan adalah menyusun kembali Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan pembentukan kebijakan politik di tingkat kepresidenan untuk melakukan pengungkapan kebenaran, bukan dengan Perpres UKP-PPHB.