Menolak Lupa Sejarah Kelam 1997-1998
Peran Yulius Selvanus dan Dadang Hendrayudha dalam penculikan aktivis 1997-1998 terungkap di pengadilan. Dua dekade berlalu, kejahatan mereka seolah lenyap saat keduanya diangkat jadi pejabat di Kementerian Pertahanan.
Dua dasawarsa berlalu sejak kasus penculikan aktivis prodemokrasi tahun 1997-1998. Ketika tabir misteri penculikan belum sepenuhnya tersibak dan keadilan bagi keluarga korban tak kunjung hadir, publik dikejutkan dengan pengangkatan dua pelaku penculikan untuk mengisi posisi strategis di Kementerian Pertahanan. Inikah ganjaran yang setimpal untuk para pelaku pelanggaran hak asasi manusia di negeri ini?
Satu waktu di bulan Juli 1997 ketika gerak para aktivis prodemokrasi kian kencang menyuarakan agar Soeharto turun dari jabatan presiden, Mayor (Inf) Bambang Kristiono membentuk Satuan Tugas Tim Mawar.
Tim beranggotakan sepuluh personel korps Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD dan beroperasi mulai pertengahan Juli 1997 sampai dengan April 1998. Tujuan pembentukan tim untuk menangkap dan menculik para aktivis.
Instruksi itu diambil karena menurut penilaian Bambang, yang pada saat kejadian menjabat sebagai perwira menengah yang diperbantukan kepada Komandan Jenderal Kopassus, tindakan para aktivis radikal sehingga akan mengganggu stabilitas nasional. Penilaian ini diperkuat dengan adanya kegiatan para aktivis yang diduga ikut mendalangi kejadian-kejadian seperti unjuk rasa.
Baca juga : Jalan Panjang Mencari Keadilan HAM
Perintah penculikan disampaikan Bambang Kristiono melalui komandan unit I Tim Mawar, yaitu Kapten (Inf) Untung Budi Harto, dan Komandan Unit II Kapten (Inf) Yulius Selvanus.
Penangkapan dan penculikan tersebut dilakukan sebuah tim kecil yang terdiri dari rata-rata tiga sampai empat anggota Tim Mawar. Penculikan dilakukan di beberapa tempat, seperti di Jakarta dan Lampung.
Aktivis yang diculik karena dinilai radikal, di antaranya, Haryanto Taslam (meninggal tahun 2015, terakhir menjabat anggota Dewan Pembina Partai Gerindra), Andi Arief (saat ini politisi Partai Demokrat), dan Nezar Patria (saat ini menjabat Direktur Kelembagaan PT Pos Indonesia).
Demikian terungkap dalam dakwaan Oditur Militer Tinggi terhadap sebelas terdakwa penculikan aktivis, yaitu Bambang Kristiono plus sepuluh personel Tim Mawar, di Mahkamah Militer Tinggi II Jakarta, 23 Desember 1998, Kompas (24/12/1998).
Di antara sepuluh personel tersebut, terdapat nama Dadang Hendrayudha dan Yulius Selvanus yang melalui Keputusan Presiden Nomor 166/TPA Tahun 2020, 23 September lalu, diangkat mengisi posisi jabatan pimpinan tinggi madya di Kementerian Pertahanan (Kemenhan) setelah menerima usulan dari Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.
Brigadir Jenderal (TNI) Dadang Hendrayudha diangkat sebagai Direktur Jenderal Potensi Pertahanan Kemenhan, sedangkan Brigjen (TNI) Yulius Selvanus sebagai Kepala Badan Instalasi Strategis Pertahanan Kemenhan.
Masih dari berkas dakwaan tersebut, peran Yulius disebutkan terlibat dalam penculikan Haryanto Taslam, 8 Maret 1998. Mobil yang dikemudikan oleh Haryanto ditabrak personel Tim Mawar, kemudian dia dibawa ke Poskotis Cijantung bentukan Tim Mawar. Selama dalam perjalanan, Haryanto diborgol dan matanya ditutup dengan saputangan.
Peran Yulius juga diungkapkan oleh Nezar saat ia bersaksi pada sidang penculikan aktivis tersebut, 8 Januari 1999, Kompas (9/1/1999). Dalam sidang, ia menyebutkan, saat diculik bersama aktivis lainnya, Aan Rusdianto, di tempat tinggalnya, 13 Maret 1998, Nezar melihat seseorang mirip Yulius. ”Saya hanya lihat sepintas. Mirip terdakwa IV,” katanya seraya menunjukkan Yulius Selvanus.
Baca juga : Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
Saat itu, Nezar sempat bertanya, ”Bapak dari mana?” Namun, para penculik membentak Nesar. ”Jangan banyak tanya.” Seseorang langsung mencabut pistol dari balik jaket, menodongkan di perut Nezar. ”Saya digiring ke tangga bawah lantai satu. Tangan saya langsung diborgol, dimasukkan ke dalam mobil, mata ditutup, dan mobil itu melaju dengan cukup kencang,” tuturnya.
Yulius mengakui terlibat dalam penculikan Nezar dan Aan tersebut. Namun, ia menolak keterangan Nezar mengenai adanya penodongan pistol ke perut.
Pertanyaan di mana Andi Arief cukup gencar. Karena tidak mengetahuinya, saya disetrum, dipukul, dan interogasi selama tiga hari tiga malam.
Disetrum dan dipukul
Kira-kira satu jam setelah diculik, Nezar menceritakan, dirinya tiba di sebuah ruangan. ”Di sana, tidak ada pertanyaan dan saya dipukul. Entah berapa banyak orang yang memukul, tetapi saya merasa banyak orang di ruangan itu, sampai tempat duduk saya patah,” ucapnya.
Para penculik tak berhenti menginterogasi. Pertanyaan menyangkut keberadaan Andi Arief dan apakah kegiatan Nezar berhubungan dengan Amien Rais dan Megawati Soekarnoputri, keduanya tokoh reformasi.
”Pertanyaan di mana Andi Arief cukup gencar. Karena tidak mengetahuinya, saya disetrum, dipukul, dan interogasi selama tiga hari tiga malam. Selama itu, saya mendapatkan banyak setruman dan pukulan sehingga tidak bisa makan dan bibir saya pernah pecah karena tidak tahan dengan setruman. Saya coba berteriak Allahu Akbar dan mereka menginjak perut saya,” ungkap Nezar.
Dalam sidang lanjutan yang digelar 16 Februari 1999, Dadang bersama sejumlah terdakwa lain mengakui telah menculik sembilan aktivis. Semuanya telah dipulangkan. Namun, mereka menolak istilah penculikan dan menyebutnya sebagai ”penjemputan”.
Dadang bahkan mengklaim, korban yang ”dijemputnya” dengan sukarela ikut. Mereka tak bertanya ke mana mereka dibawa, juga tidak bertanya alasan mata mereka ditutup selama perjalanan. ”Saya melakukannya dengan persuasif,” ungkapnya.
Pernyataan ini yang diragukan oleh ketua majelis hakim Susanto. Ia berulang kali mempertanyakan kebenaran jawaban terdakwa mengenai kesukarelaan korban atas ajakan terdakwa masuk ke mobil tim terdakwa. Susanto tidak yakin para korban mau diajak begitu saja oleh orang yang tidak dikenalnya, dan juga tidak bertanya mengapa dirinya harus diborgol dan ditutup mata.
Dadang, yang kala itu menjabat Komandan Detasemen III Batalyon 42 Kopassus, pun menegaskan ”penjemputan” yang dilakukannya tak bertentangan dengan tugas Kopassus. Ia beserta terdakwa lain pun menyangkal telah menyiksa korban.
Menurut catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), majelis hakim Mahkamah Militer Tinggi II Jakarta lantas memvonis Dadang 16 bulan penjara, sedangkan Yulius 20 bulan penjara plus dipecat dari TNI. Namun, di tingkat banding, putusan pemecatan Yulius dibatalkan. Meski demikian, hakim memperberat hukuman penjara Yulius menjadi dua tahun enam bulan penjara. Adapun Dadang tetap dihukum 16 bulan penjara.
Selama persidangan kasus penculikan aktivis ini, keberadaan banyak korban penculikan aktivis lainnya tak terungkap. Hingga kini, keberadaan mereka masih menjadi misteri.
Dalam kurun waktu 1997-1998 telah terjadi penculikan terhadap 22 aktivis prodemokrasi. Mereka adalah Yani Afri, Sonny, M Yusuf, Noval Alkatiri, Dedy Hamdun, Ismail, Desmond Junaidi Mahesa, Pius Lustrilanang, Suyat, Haryanto Taslam, Aan Rusdianto, Faisol Reza, Herman Hendrawan, Mugianto, Nezar Patria, Rahardjo Walujo Djati, Bimo Petrus Anugerah, Andi Arief, Abdun Nasir, Hendra Hambalie, Ucok M Siahaan, dan Yadin Muhidin.
Dari ke-22 aktivis yang diculik, sembilan orang di antaranya telah kembali, dan sisanya sampai saat ini masih tidak diketahui keberadaannya. Mereka yang telah kembali itu adalah Desmond Junaidi Mahesa, Haryanto Taslam, Pius Lustrilanang, Faisol Reza, Rahardjo Walujo Djati, Nezar Patria, Aan Rusdianto, Mugianto, dan Andi Arief (Kompas, 16/8/1999).
Entah apa yang menjadi dasar Menhan Prabowo mengajukan pengangkatan Yulius dan Dadang. Prabowo memang menjabat Komandan Jenderal Kopassus ketika Tim Mawar menculik aktivis tahun 1997-1998, tetapi apakah ada keterkaitan dengan pengangkatan Yulius dan Dadang?
Sejak Minggu (27/9/2020), Kompas mencoba menghubungi Juru Bicara Menhan Dahnil Anzar Simanjuntak. Kompas juga mencoba menghubungi Wakil Menhan Sakti Wahyu Trenggono dan Kepala Biro Humas Kemenhan Brigjen (TNI) Djoko Purwanto. Namun, tidak ada yang merespons. Kemenhan sepertinya masih memilih untuk bungkam ketika protes dari berbagai kalangan bermunculan.
Kami seperti diinjak berkali-kali. Luka kami seperti disiram air cuka. (Zaenal Muttaqin)
Yang jelas, para korban pelanggaran hak asasi manusia, terutama keluarga aktivis yang hilang tahun 1997-1998, sakit hati dengan pengangkatan dua pelanggar HAM tersebut.
”Kami seperti diinjak berkali-kali. Luka kami seperti disiram air cuka,” kata Sekretaris Umum Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) Zaenal Muttaqin.
Baca juga : Komnas HAM: Publik Bisa Gugat Pengangkatan Eks Anggota Tim Mawar
Terlebih masih banyak aktivis yang diculik, yang belum jelas keberadaannya hingga kini. Harapan keluarga korban agar keadilan ditegakkan pun masih suram.
”Tentu sungguh memalukan karena di saat bersamaan Indonesia menjadi anggota Dewan Keamanan PBB (tidak tetap) dan anggota Dewan HAM PBB. Dengan mengangkat dua orang ini akan menampar muka sendiri. Bagaimana akan mengkritik pelanggaran HAM di banyak negara di dunia kalau di dalam negeri sendiri tak ada mekanisme yang ketat untuk seleksi jabatan publik,” ujar Zaenal.
”Karpet merah” untuk pelanggar HAM menjabat posisi penting di kementerian juga tak selaras dengan janji Presiden Joko Widodo untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, tak terkecuali dalam kasus penculikan aktivis 1997-1998. Janji yang berulang kali disampaikannya saat berkontestasi di Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 dan Pilpres 2019.
Menurut anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Choirul Anam, diangkatnya Yulius dan Dadang kian menunjukkan rendahnya komitmen Presiden terhadap penyelesaian kasus pelanggaran HAM. ”Dalam konteks ini, semakin terlihat bahwa agenda keadilan dalam kerangka pelanggaran HAM berat masa lalu hanya pemanis semata, bukan komitmen kenegaraan seorang presiden,” katanya. (APA)