Perlu Alternatif untuk Tuntaskan Kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
Masih ada 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang tak kunjung tuntas hingga kini. Perlu ada alternatif penyelesaian di tengah keengganan negara menyelesaikan kasus-kasus tersebut.
Oleh
Edna C Pattisina
·3 menit baca
JAKARTA,KOMPAS — Masih ada 12 kasus pelanggaran hak asasi manusia berat di masa lalu yang tidak kunjung diselesaikan hingga kini. Persoalannya, korban semakin menua bahkan tak sedikit yang sudah berpulang.
”Oleh karena itu, perlu ada percepatan dan metode alternatif penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu itu,” ujar Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Beka Ulung Hapsara dalam diskusi daring terkait peluncuran buku Ringkasan Eksekutif Peristiwa Pelanggaran HAM Berat yang diadakan oleh Komnas HAM, Senin (1/3/2021).
Beka melanjutkan, alternatif penyelesaian itu dengan mengungkapkan kebenaran dan mempertimbangkan kekhasan setiap kasus. Untuk itu, perlu dibangun ruang konsensus yang melibatkan para pihak terkait.
Beka mengingatkan kondisi sosial korban yang memburuk. Penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu harus menempatkan korban sebagai subyek utama. Menurut dia, selain kompensasi hak atas material yang pernah dirampas, korban butuh rehabilitasi nama baik, permintaan maaf negara, perhatian atas kesejahteraan mereka, dan dihilangkannya tindakan diskriminatif. ”Kebenaran perlu diungkap sehingga tak terulang lagi,” kata Beka.
Sementara itu, Mariana Amiruddin dari Komnas Perempuan mengajukan bentuk solusi keadilan transisi. Solusi ini sebelumnya juga pernah diajukan oleh Dewan Keamanan PBB.
Ketika negara masih enggan, ada beberapa unsur dari hak korban yang bisa dipenuhi. Bentuk ini menjadi transisi. Yang paling utama adalah menetapkan kebenaran. Selain itu, masyarakat sipil bisa melakukan perbaikan kolektif dan memorialisasi bisa berupa simbol ataupun material seperti tugu untuk mempromosikan kebenaran dan memastikan ingatan kolektif untuk menghindari kekejaman di masa lalu.
Beka mengatakan, semua pihak perlu duduk bersama untuk menyepakati bentuk-bentuk penyelesaian yang realistis. Selama ini terjadi stagnasi yang disebabkan keengganan negara untuk menyelesaikan masalah ini.
Komnas HAM sesuai dengan kewenangannya sebagai penyelidik telah menyelesaikan 15 laporan hasil penyelidikan. Namun, baru tiga kasus yang diadili, yaitu kasus Timor-Timur, Tanjung Priok, dan Abepura.
Sisanya sebanyak 12 kasus belum disidangkan, yaitu peristiwa tahun 65-66, penembakan misterius 1982-1985, Talangsari 1989, Trisakti– Semanggi I dan II (98-99), kerusuhan Mei 1998, penghilangan korban secara paksa 1997-1998, peristiwa Wasior 2001-2002 dan Wamena 2003, pembunuhan dukun santet pada 1998, simpang KAA Aceh 1999, Jambu Keupok Aceh 2003, Rumah Geudong Aceh 1989-1998, dan peristiwa Paniai, Papua tahun 2014.
Semua berkas telah diserahkan Komnas HAM ke Kejaksaan Agung (Kejagung). Akan tetapi, karena perbedaan paradigma hukum, Kejagung tidak menindaklanjutinya.
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan, dalam tiga kali pertemuan dengan Presiden Joko Widodo dinyatakan ada komitmen untuk menyelesaikan masalah ini.
Menurut dia, tak hanya korban dan masyarakat Indonesia yang mempertanyakan, institusi-institusi internasional juga mempertanyakan bagaimana Indonesia akan menyelesaikan dengan bermartabat.
Rudy Syamsir, Asisten Deputi Koordinasi Perlindungan dan Pemajuan HAM Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, mengatakan, pihaknya sepakat untuk meletakkan korban sebagai subyek utama.
Ia mengatakan, pemerintah tengah berupaya menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu sesuai dengan kekhasan masing-masing. Ia mencontohkan, bulan Desember 2020, Kemenko Polhukam telah bertemu dengan para korban peristiwa Talangsari di Lampung.