Kehadiran Negara Membantu Pemulihan Luka Masa Lalu
Tantangan terbesar penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu adalah kemauan politik negara. Negara dinilai belum bersungguh-sungguh untuk menyelesaikannya.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rekonsiliasi bagi korban pelanggaran hak asasi manusia berat masih menempuh jalan berliku. Namun, usaha untuk mengeluarkan mereka dari stigma warga kelas dua terus digenjot. Kehadiran negara pun mulai dirasakan. Bagi para penyintas pelanggaran hak asasi manusia berat, kehadiran negara dapat membantu pemulihan atas luka masa lalu.
Korban tragedi ’65, Sanusi (79), berpendapat, rekonsiliasi bagi korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masih sulit terwujud lantaran masih banyak pihak yang tak setuju. Namun, harapan untuk diakui negara bukan berarti pupus sama sekali.
Sanusi saat ini sudah mengantongi buku hijau. Buku ini merupakan kartu penanda akses layanan gratis dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk korban HAM. Betapa senang lansia yang tergabung dalam Sekretariat Bersama 65 (Sekber 65) ini. Sebab, dia pernah melakukan operasi mulut dan biayanya mencapai Rp 20 juta. Berkat buku hijau itu, dia tak perlu membayar sepeser pun.
”Kayane saya ni diakoni karo negoro tenan (kayaknya saya ini sudah diakui betul-betul oleh negara),” katanya, Jumat (25/9/2020), dalam diskusi daring.
Bagi pria yang pernah ditahan tanpa proses pengadilan selama delapan tahun di masa Orde Baru ini, buku hijau itu tidak sekadar untuk berobat gratis. Ini merupakan bukti bahwa negara telah mengakui jika dirinya adalah korban.
Di Sekber 65, lanjutnya, semua korban HAM bertemu rutin setiap bulan. Bertemu teman sejawat, percaya diri mulai tumbuh. Rasa takut karena dituduh bagian dari kekuatan politik subversif pun perlahan memudar.
Pengurus Sekber 65, Didik Diah Suci Rahayu, menjelaskan, Sekber 65 bisa dibilang tak punya apa-apa hingga 2014. Sumber daya manusia ataupun anggaran untuk menghimpun korban tahun 1965 dan orang yang peduli terhadap isu tersebut tak mencukupi. Kesempatan itu datang ketika Sekber 65 menjadi mitra dalam Program Peduli yang digagas Asia Foundation.
Sekber 65, lanjutnya, mengajak para korban HAM untuk membuka diri. Di sisi lain, masyarakat perlahan memperoleh informasi soal peristiwa yang terjadi sekitar tahun 1965. Ini untuk mencegah diskriminasi bagi mereka yang masih dianggap sebagai keluarga tahanan politik atau malah Partai Komunis Indonesia.
Di Solo, lanjutnya, Sekber 65 membuka ruang untuk menghubungkan negara dengan korban HAM melalui isu lansia. Kebetulan, semua korban 1965 sudah berusia lanjut. Belum semua di antara mereka mendapat layanan kesehatan yang memadai. Berkat bantuan Sekber 65, Solo sudah mempunyai peraturan wali kota yang khusus memperhatikan lansia.
Program Peduli yang menyokong kegiatan Sekber 65 bertujuan untuk mendorong inklusi sosial bagi mereka yang terpinggirkan oleh pembangunan. Ada enam kelompok sasaran. Khusus untuk korban pelanggaran HAM ditangani oleh Indonesia untuk kemanusiaan (IKa).
Program Manajer (IKa) Lilik HS menjelaskan, IKa fokus untuk mendampingi organisasi korban HAM dan korban HAM. Bentuk dukungan adalah mendorong akses layanan untuk pemulihan korban serta dukungan strategis untuk memperkuat organisasi.
Selama enam tahun terakhir, IKa bergerak di empat isu pelanggaran HAM. Rinciannya, Daerah Operasi Militer Aceh, Peristiwa Talangsari Lampung, Kerusuhan 1998, serta Tragedi 1965 di Solo, Yogyakarta, dan Sikka, Nusa Tenggara Timur.
Di Yogyakarta, IKa berkerja sama dengan Sekretariat (Forum Pendidikan dan Perjuangan HAM (Fopperham). Tak sekadar mengumpulkan korban ’65, Fopperham juga memberikan ruang perjumpaan antara generasi muda dan korban ’65.
Bagi salah seorang relawan Fopperham, Muntiyati, bertemu korban ’65 secara langsung membuat dia lebih berpikiran terbuka. Dia mendengar langsung cerita dari pelaku sejarah. Di sini pula, dia bertemu orang dengan berbagai latar belakang.
Di Jakarta, IKa menggandeng Ikatan Keluarga Orang Hilang (Ikohi) untuk memberikan dukungan kepada keluarga dan penyintas HAM dalam Kerusuhan 1998. Selama ini, mereka dicap sebagai keluarga penjarah. Padahal, mereka adalah korban. Pencapaian terbesar adalah ketika pemerintah akhirnya meresmikan situs memorial Prasasti Mei ’98 di Taman Pemakaman Umum Pondok Ranggon, Jakarta Timur, 2015.
”Prasasti itu adalah jalan panjang perjuangan unsur masyarakat sipil. Ini simbol kemenangan korban yang selama ini dicap sebagai perusuh. Simbol itu menunjukkan bahwa ada kekerasan yang terjadi dan negara harus bertanggung jawab,” ujar Lilik.
Di Aceh, banyak orang selama masa Daerah Operasi Militer Aceh (1990-1998) tak leluasa mengurus data catatan sipil, termasuk catatan pernikahan. Oleh sebab itu, IKa bekerja sama dengan Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPuK) Aceh menyediakan layanan isbat nikah atau permohonan pengesahan pernikahan.
Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, menjelaskan, Program Peduli hadir untuk mengisi kekosongan ruang yang belum diisi negara. Inisiatif dari masyarakat sipil ini harus diapresiasi karena negara tak bisa bekerja sendirian meskipun tanggung jawab terbesar ada pada negara.
Menurut dia, tantangan terbesar penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu terdapat dari kemauan politik negara. Negara dinilai belum bersungguh-sungguh untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat. Di samping itu, rasa ketidakpedulian dari aparat penegak hukum juga menjadi catatan.
Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo mengatakan, Program Peduli yang berakhir tahun ini harus dilanjutkan, baik oleh unsur masyarakat sipil maupun oleh negara. Jika negara belum bisa memberikan penyelesaian yudisial, pendekatan nonyudisial seperti program ini harus digencarkan.
”Ternyata LPSK yang mewakili negara untuk hadir kepada para korban mendapat sambutan luar biasa. Korban merasa diorangkan oleh negara, merasa diakui oleh negara sebagai warga negara yang sama dengan warga lain. Ini istimewa bagi para korban yang puluhan tahun menjadi warga kelas dua bisa kemudian bisa merasakan negara mengakuinya sama dan setara dengan warga lain,” tuturnya.