Pembahasan RUU PDP Tertatih-tatih
Di tengah maraknya kebocoran data dan kerentanan sistem informasi di swasta dan pemerintah,pembahasan RUU Data Pribadi justru tertatih-tatih.Sejak Panja RUU PDP rapat September lalu, hingga kini belum ada kesepakatan.
JAKARTA, KOMPAS – Di tengah maraknya kebocoran data dan kerentanan sistem informasi di institusi swasta maupun pemerintah, pembahasan Rancangan Undang-undang Data Pribadi justru terkesan tertatih-tatih. Bahkan, pembahasan RUU itu terancam buntu jika tidak segera ada kesepakatan antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menyangkut aspek hak adan kewajiban subyek data maupun pengendali data, keberadaan lembaga pengawas independen, serta agregasi data.
Sejak pertama kali Panitia Kerja (Panja) RUU PDP itu rapat, 1 September 2020, hingga saat ini belum banyak kesepakatan yang disetujui antara pemerintah dan DPR. Praktis, RUU ini telah dibahas dalam dua kali masa sidang, tetapi belum ada titik temu antara pemerintah dan DPR dalam beberapa poin. Selain itu, kelanjutan pembahasan RUU PDP saat ini pun terkendala dengan belum disahkannya Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Akibatnya, pada masa sidang ketiga DPR yang lalu, pembahasan terpaksa dihentikan untuk menunggu pengesahan Prolegnas Prioritas 2021.
Ketika masa sidang keempat dibuka DPR, pada 8 Maret lalu, dan Prolegnas Prioritas 2021 juga telah disepakati ulang antara DPR dengan pemerintah untuk mencabut RUU Pemilu, Prolegnas Prioritas 2021 juga tidak kunjung disahkan dalam paripurna DPR. Padahal, pada 10 April mendatang DPR kembali memasuki masa reses.
Baca Juga: Nasib RUU Perlindungan Data Pribadi
Oleh karena itu, hanya tersisa waktu sekitar dua pekan untuk membahas RUU PDP dalam masa sidang keempat ini sebelum DPR menjalani reses. Waktu yang tersisa untuk menuntaskan masa sidang ini pun diperkirakan tidak akan memadai untuk menyelesaikan seluruh daftar isian masalah (DIM). Sebab, baru 145 daftar isian masalah (DIM) yang dibahas dari total 371 DIM yang dibuat oleh DPR.
"Hanya tersisa waktu sekitar dua pekan untuk membahas RUU PDP dalam masa sidang keempat ini sebelum DPR menjalani reses. Waktu yang tersisa untuk menuntaskan masa sidang ini pun diperkirakan tidak akan memadai untuk menyelesaikan seluruh daftar isian masalah (DIM). Sebab, baru 145 daftar isian masalah (DIM) yang dibahas dari total 371 DIM yang dibuat oleh DPR"
RUU PDP ini pun sebenarnya pernah masuk sebagai Prolegnas Prioritas 2015-2019. Namun, tidak masuk sebagai prolegnas prioritas tahunan. Baru pada 2020, RUU ini masuk sebagai prolegnas prioritas tahunan.
Sesuai dengan ketentuan di dalam Tata Tertib DPR saat ini, RUU yang tidak selesai dibahas dalam tiga kali masa sidang dapat diusulkan untuk dikeluarkan dari prolegnas prioritas tahunan. Adapun RUU PDP telah dua kali diberi kesempatan perpanjangan pembahasan melalui rapat paripurna. RUU PDP terancam dicoret dari daftar prolegnas prioritas jika dalam satu kali kesempatan berikutnya tidak juga tuntas dibahas DPR dan pemerintah.
Wakil Ketua Komisi I DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Abdul Kharis Almasyhari, saat dihubungi, Senin (22/3/2021) dari Jakarta, menuturkan, pihaknya memahami urgensi pembahasan RUU PDP ini dalam waktu cepat. Namun, belum disahkannya Prolegnas Prioritas 2021 membuat komisinya dan pemerintah belum dapat menjadwalkan rapat pembahasan kembali. Ia pun menjamin pembahasan RUU itu akan diteruskan atau diperpanjang. Panja RUU PDP terakhir kali rapat ialah pada 20 Januari 2021.
“Insyaallah RUU ini akan diperpanjang (masa pembahasannya). Kami juga belum mungkin untuk meneruskan karena prolegnas prioritas juga belum diketok. Kalau kemarin tidak dibahas, kan, pada Februari-Maret pandemi masih pada puncak-puncaknya. Tetapi ini pasti akan kami tuntaskan,” ujarnya.
Di dalam pembahasan, beberapa perbedaan memang mencuat antara pemerintah dan DPR. Salah satu yang menonjol ialah mengenai posisi lembaga pengawas, yang belum disepakati antara pemerintah dan DPR tentang sifat dan struktur kelembagaannya. Kharis mengatakan, seluruh fraksi di DPR menginginkan adanya lembaga pengawas independen. Namun, pemerintah sebaliknya tidak mengatur keberadaan lembaga pengawas independen itu. Keberadaan lembaga pengawas independen itu merujuk pada pengaturan yang ada di dalam General Data Protection Regulation (GDPR) yang berlaku di Uni Eropa.
“Dalam pembahasan terakhir, pemerintah memang menginginkan agar lembaga pengawas itu ada di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika. Itu yang menjadi perbedaan,” ujarnya.
Pemerintah melalui Pasal 58 RUU PDP justru mengatur agar lembaga pengawas itu berada di bawah Kominfo, dan perselisihan apapun terkait dengan pengelolaan data diselesaikan melalui pengadilan dan arbitrase.
Selain itu, soal agregasi data yang berdampak pada pengumpulan data untuk profiling berbasis algoritma yang dilakukan oleh pengelola data juga belum diatur di dalam draf RUU PDP. Hal itu merupakan salah satu yang didorong DPR untuk diatur di dalam RUU PDP.
Kharis mengatakan, jika perbedaan-perbedaan itu dapat diatasi, ia meyakini RUU PDP dapat segera disahkan. “Sepanjang tiga hal itu, yakni lembaga pengawas independen, agregasi data, serta hak dan kewajiban subyek maupun pengelola data disepakati, pembahasannya akan cepat. Begitu poin pentingnya disetujui, maka DIM lainnya yang merujuk pada kesepakatan itu akan dapat cepat disetujui. Dalam satu kali rapat bisa 20 atau 30 DIM disetujui kalau sudah ada kesepakatan atas hal-hal pokok itu,” ucapnya.
Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate mengatakan, lembaga pengawas pengelolaan data itu diusulkan untuk dijalankan oleh Pusat Data Nasional Pemerintah. Pusat data itu berada di bawah Kominfo dan dipimpin oleh pejabat setingkat Pejabat Tinggi Pratama (Eselon II). Di banyak negara, menurut dia, lembaga pengawas pengelolaan data juga dipegang oleh lembaga yang serupa.
"Best practice di banyak negara lain juga demikian. RUU PDP terkait perlindungan data pribadi dibuat demi menjaga data masyarakat dari penyalahgunaan. Sesuai RUU, maka lembaga pengawas itu cukup berada di bawah Kominfo dan setingkat Pejabat Tinggi Pratama yang secara struktural dibawah Direktorat Jenderal Aptika"
"Best practice di banyak negara lain juga demikian. RUU PDP terkait perlindungan data pribadi dibuat demi menjaga data masyarakat dari penyalahgunaan. Sesuai RUU, maka lembaga pengawas itu cukup berada di bawah Kominfo dan setingkat Pejabat Tinggi Pratama yang secara struktural dibawah Direktorat Jenderal Aptika," ucapnya.
Ditanyai mengenai kemungkinan konflik kepentingan dalam pengawasan dan pengelolaan data, karena Kominfo juga lembaga pengendali data, menurut Johnny, hal itu tidak akan terjadi. "Tidak akan ada konflik kepentingan, karena data di-manage di cloud pusat data kominfo dan setiap kementerian atau lembaga lembaga akan menjadi wali data masing masing," ujarnya.
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika (Aptika) Kementerian Komunikasi dan Informatika Semuel Abrijani Pangerapan mengatakan, pemerintah menginginkan RUU PDP tuntas dalam waktu cepat. Ia berharap RUU itu dapat disahkan pada tahun ini. Namun, ia mengakui banyak hal yang memang masih harus didalami dengan DPR.
“Sebenarnya bukan hanya soal lembaga pengawas, tapi banyak hal yang lainnya juga yang masih perlu dibahas dengan DPR. Prinsipnya kami ingin melindungi data pribadi warga. Kami ingin secepatnya membahas RUU itu, tetapi kami belum mendapatkan jadwal rapatnya dari DPR,” ucapnya.
Terancam deadlock
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Golkar Christina Aryani mengatakan, perbedaan antara pemerintah dan DPR itu harus dijembatani. Dua isu krusial, yakni soal lembaga pengawas dan agregasi data akan menjadi pemicu kebuntuan. “Dua isu krusial ini yang bisa membuat terjadi deadlock kalau tidak ada kesepakatan antara panja pemerintah dan DPR. Kami mendorong agar ada titik temu, maka hal itu bisa dikondisikan dengan pertemuan-pertemuan di luar panja. Tujuannya agar RUU ini cepat dituntaskan,” ujarnya.
Fraksi Golkar sendiri mendorong agar pembahasan RUU PDP ini segera dituntaskan dalam tahun ini mengingat arti penting RUU tersebut. Beberapa poin yang diatur di dalam RUU itu pun dipandang merupakan suatu upaya terobosan dalam melindungi data pribadi warga. Poin pentingnya antara lain ialah perlunya persetujuan subyek data dalam pengelolaan data, pengaturan detil mengenai transfer data antara pengelola data dengan pihak ketiga, adanya pejabat khusus yang mengatur perlindungan data oleh pengelola data (data protection officer/DPO).
"Banyak hal harus didalami dari draf RUU PDP, sebab draf itu memberikan kekuasaan kepada menteri untuk memutuskan berbagai hal dan masalah administratif dalam RUU. Hal ini perlu dieksplorasi lebih jauh karena dikhawatirkan terjadi penyelewengan kekuasaan"
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi PKS Sukamta mengatakan, banyak hal harus didalami dari draf RUU PDP, sebab draf itu memberikan kekuasaan kepada menteri untuk memutuskan berbagai hal dan masalah administratif dalam RUU. Hal ini perlu dieksplorasi lebih jauh karena dikhawatirkan terjadi penyelewengan kekuasaan.
“PKS mendorong adanya lembaga atau badan independen. Badan ini memiliki tugas untuk mengawasi, menerima laporan, memproses laporan dan memutuskan sebuah perkara administratif mengenai Perlindungan data pribadi. Salah satu solusinya ialah menambah kewenangan Komisi Informasi Publik atau membuat lembaga pengawas baru,” ujarnya.
Menurut Sukamta, Keberadaan lembaga pengawas ini juga menjadi penentu setara tidaknya UU PDP Indonesia dengan negara lain. Kesepadanan UU PDP menjadi syarat utama dalam transfer data internasional dan berlakunya prinsip ekstraterritorial dari UU PDP.
PKS juga mendukung pengaturan mengenai DPO karena dinilai perlu untuk memantau data, proses dan pengolahannya, sehingga bisa berjalan baik dan tidak terjadi pelanggaran hukum maupun perdata. “Sama hanya dengan bagian quality control di perusahaan sehingga DPO ini akan semakin baik dalam mendukung perusahaan untuk berkembang,” ucap Sukamta.
Secara terpisah, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Syaifullah Tamliha menuturkan, lembaga pengawas sebaiknya independen. Di sisi lain, Kominfo sedang membangun pusat data nasional, yang akan menjadi pusat penyimpanan data nasional. Oleh karena itu, rentan terjadi konflik kepentingan jika Kominfo menjadi pengelola sekaligus membawahi pengawas data.
Selain itu, PPP menyoroti banyaknya pengaturan melalui peraturan pemerintah (PP) yang disebutkan di dalam draf RUU PDP. “Hal itu membuat UU itu nantinya tidak jelas, dan menggantung, karena pengaturannya menunggu PP,” ujarnya.
Ego Sektoral
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus mengatakan, RUU PDP sebenarnya sangat mendesak. Karena itu, RUU PDP masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2021. Namun, sayangnya, arah pembahasan RUU tersebut hingga saat ini belum jelas. Ia melihat ada dua hal yang menghambat proses pembahasan RUU PDP. Pertama, ego sektoral sehingga ada sejumlah hal yang belum didapati kesepakatan antara DPR dan pemerintah. Kedua, kemauan politik yang rendah dari DPR dan pemerintah.
Seharusnya, jika ada beberapa substansi yang masih perlu diperdalam atau belum ada kesepakatan antara DPR dan pemerintah, kedua belah pihak harus mau membuka ruang diskusi yang lebih luas dengan publik. Menurut Lucius, banyak ahli berkompeten bisa memberikan masukan soal RUU tersebut.
“Kita harus akui, mungkin saja referensi terkait RUU Perlindungan Data Pribadi ini masih kurang. Artinya, perlu kesediaan mereka untuk membuka ruang diskusi dan masukan publik. Itu sebenarnya bisa menjadi modal mereka untuk bisa membuat proses pembahasan RUU ini berkembang dengan baik, supaya bisa segera disahkan”
“Kita harus akui, mungkin saja referensi terkait RUU Perlindungan Data Pribadi ini masih kurang. Artinya, perlu kesediaan mereka untuk membuka ruang diskusi dan masukan publik. Itu sebenarnya bisa menjadi modal mereka untuk bisa membuat proses pembahasan RUU ini berkembang dengan baik, supaya bisa segera disahkan,” kata Lucius.
Baca Juga: Kebocoran Terus Berulang, Indonesia Butuh Regulasi Perlindungan Data Pribadi
Terkait kemauan politik yang rendah, Lucius menilai, hal ini terlihat dari tak kunjung disahkannya Prolegnas Prioritas 2021. Lebih dari itu, rendahnya kemauan politik juga terlihat dari lamanya pembahasan RUU PDP. RUU PDP hanya memiliki 72 pasal. Artinya, jumlah pasal itu sangat sedikit dibandingkan RUU Cipta Kerja yang dulu berisi ribuan pasal.
“Saya kira kemauan politik itu yang tidak terlihat. Tidak ada semangat dari DPR untuk menggenjot kinerja legislasi. Lalu, tak ada pula sikap prioritas DPR untuk memastikan kebutuhan mendesak publik terkait pemenuhan hukum nasional itu harus didahulukan. Padahal, kalau soal kebutuhan, kan, kita semua sepakat bahwa ada kebutuhan data pribadi ini perlu segera dilindungi dan perlu ada undang-undang untuk memastikan perlindungan itu mendapat jaminan yang lebih kuat,” ujar Lucius.
Namun, lambatnya penuntasan RUU PDP ini, menurut Lucius, juga disebabkan tata tertib DPR yang membolehkan pembahasan RUU terus diperpanjang. “Sebenarnya, ini membuat DPR tambah malas. Jadi, mestinya sih harus ada batas. Dan 72 pasal itu mestinya kemudian sangat bisa diselesaikan dengan tiga masa sidang ya, tetapi nyatanya tidak,” tuturnya.