Urgensi Perluasan Pedoman Pemidanaan Kasus Korupsi Terpenuhi
Urgensi perluasan pedoman pemidanaan UU Pemberantasan Tipikor terpenuhi karena disparitas putusan yang terus terjadi. Selain itu, MA diminta lebih intens menggelar rapat pleno kamar untuk mencegah disparitas putusan.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dorongan agar Mahkamah Agung atau MA memperluas pedoman pemidanaan kasus-kasus korupsi kian kuat menyusul terus berulangnya disparitas putusan hakim, terutama dalam kasus-kasus suap dan gratifikasi. Selain itu, rapat pleno kamar MA dinilai bisa jadi solusi untuk mencegah disparitas putusan. Karena itu, gelaran rapat pleno kamar disarankan lebih intens.
Ketua Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (Mappi) Fakultas Hukum Universitas Indonesia M Rizaldi saat dihubungi, Minggu (14/3/2021), mengatakan, sejauh ini, MA baru menerbitkan pedoman pemidanaan untuk Pasal 2 dan 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Pedoman pemindaan tersebut tertuang dalam Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2020.
Adapun untuk aturan pidana lain di UU Pemberantasan Tipikor, seperti suap dan gratifikasi yang tertera di Pasal 11 dan 12, MA belum menerbitkan pedoman pemidanaan. ”Saya setuju bahwa pedoman pemidanaan untuk perkara lain seperti suap dan gratifikasi memang dibutuhkan. Sebab, berdasarkan pantauan Mappi memang ada disparitas dalam penjatuhan putusan,” katanya.
Problem disparitas putusan hakim dalam kasus suap dan gratifikasi terbaru terlihat pekan lalu saat hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan vonis terhadap Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte, Brigadir Jenderal (Pol) Prasetijo Utomo, dan mantan Sekretaris MA Nurhadi beserta menantu Nurhadi, Rezky.
Napoleon dan Prasetijo, terdakwa kasus pengurusan fatwa bebas MA untuk Joko Tjandra dan penghapusan nama Joko dari daftar pencarian orang, divonis hakim lebih berat dari tuntutan jaksa. Adapun Nurhadi dan Rezky, terdakwa kasus pengurusan perkara di MA, divonis lebih ringan atau hanya separuh dari tuntutan jaksa.
Selain itu, dalam kasus korupsi Jiwasraya, vonis hakim di Pengadilan Tinggi Jakarta mengoreksi vonis hukuman penjara seumur hidup terhadap empat dari enam terdakwa yang dijatuhkan hakim di pengadilan tingkat pertama, menjadi hukuman 18 sampai 20 tahun penjara. Adapun dua terdakwa lain tetap divonis hukuman penjara seumur hidup.
Sementara itu, pantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada semester I-2020, disparitas pemidanaan terjadi dalam beberapa perkara. Anggota DPR, M Romahurmuziy, misalnya, divonis 2 tahun penjara. Di sisi lain, Staf Khusus Bupati Kudus, Jawa Tengah, Agoes Soeranto divonis 4 tahun 6 bulan penjara. Keduanya sama-sama dijatuhi hukuman berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Nilai suap Romahurmuziy Rp 255 juta, sedangkan Agoes Rp 50 juta (Kompas, Sabtu 13/3/2021).
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) Liza Farihah juga mengatakan, pembuatan pedoman pemidanaan untuk kasus suap dan gratifikasi merupakan ide yang bagus. Apalagi disparitas putusan dalam kasus-kasus itu kerap terjadi. Dengan demikian, urgensi mengenai kebutuhan pedoman pemidanaan telah terpenuhi.
Namun, ia mengingatkan agar pedoman dibuat dengan jeli. Ini terutama untuk melihat faktor penentu seperti dampak kerugian tindak pidana, jenis kesalahan pelaku, apakah tindak pidana berupa perulangan, dan sebagainya.
”Pembuatan pedoman pemidanaan ini harus jeli. Jangan sampai demi meminimalisasi disparitas putusan, perkara-perkara yang dampak kerugiannya tidak terlalu besar masuk kategori penghukuman seperti perkara yang dampak kerugiannya besar,” kata Liza.
Mantan Ketua Komisi Yudisial (KY) Suparman Marzuki dalam buku Disparitas Putusan Hakim: Identifikasi dan Implikasi yang diterbitkan KY pada tahun 2014 menyebutkan, ada beberapa petunjuk umum yang diatur dalam RUU KUHP dan wajib dipertimbangkan hakim dalam membuat putusan perkara pidana.
Di antaranya kesalahan pembuat pidana, motif dan tujuan melakukan tindak pidana, sikap batin pembuat pidana, apakah tindak pidana dilakukan berencana, cara melakukan tindak pidana, sikap dan tindakan pelaku setelah melakukan tindak pidana, serta riwayat hidup dan keadaan sosial-ekonomi pelaku. Selain itu, pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku, pengaruh pidana terhadap masa depan korban dan keluarga korban, maaf dari korban dan keluarga, serta pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.
Selain membuat pedoman pemidanaan, ia menganjurkan agar MA lebih intens menggelar rapat pleno kamar. Dari yang saat ini hanya setahun sekali menjadi minimal dua bulan sekali. Rapat pleno kamar yang diterapkan sejak 2011 di MA bisa menjadi wadah bagi hakim untuk membahas perkara atau isu hukum tertentu. Tak terkecuali soal disparitas putusan perkara korupsi. Jika diskursus antarhakim berjalan, hal itu dapat mendorong terobosan hukum baru untuk menangani masalah disparitas putusan.
Awal September 2020, Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro mengatakan, wacana dan harapan untuk membuat pedoman pemidanaan dalam perkara tindak pidana khusus sudah lama dipikirkan MA. Banyak referensi yang merekomendasikan betapa perlunya pedoman pemindaaan dibuat tanpa bermaksud mengganggu independensi dan kemandirian hakim.
Keberadaan pedoman pemidanaan di sejumlah negara pun sudah lama diterapkan untuk menghindari terjadinya disparitas pemidanaan dalam perkara yang sama dan sejenis. Ke depan, MA bakal menyusun pedoman pemidanaan untuk pasal-pasal tindak pidana korupsi lain, tidak hanya terbatas pada Pasal 2 dan 3 UU Tipikor.