Pemerintah: KLB Partai Demokrat Urusan Internal
Menko Polhukam Mahfud MD menilai, persoalan KLB Demokrat di Deli Serdang pada dasarnya adalah persoalan internal partai, bukan urusan hukum.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menilai peristiwa di Deli Serdang, Sumatera Utara, yang disebut sebagai Kongres Luar Biasa Partai Demokrat sebagai persoalan internal partai. Sampai saat ini, belum ada laporan atau permintaan legalitas hukum baru yang diajukan oleh Partai Demokrat kepada pemerintah.
Oleh karena itu, persoalan tersebut belum menjadi suatu urusan hukum dan legalitas partai. Di sisi lain, Partai Demokrat di bawah pimpinan Agus Harimurti Yudhoyono sedang menyiapkan langkah hukum terkait dengan KLB di Deli Serdang.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD dalam akun media sosialnya, Sabtu (6/3/2021), mengatakan, pemerintah tidak pernah melarang pengadaan KLB atau musyawarah nasional luar biasa (munaslub) yang diadakan partai politik. Hal itu merupakan bentuk independensi parpol.
Seperti diketahui, pada Jumat (6/3/2021), KLB Partai Demokrat di Deli Serdang telah menunjuk Moeldoko yang saat ini Kepala Staf Presiden sebagai Ketua Umum versi KLB dan Marzuki Alie, mantan Ketua DPR, sebagai Ketua Dewan Pembina. Demokrat di bawah pimpinan Agus Harimurti Yudhoyono menyatakan KLB dan hasilnya itu tak sah.
Baca juga : Kubu Agus Harimurti Siapkan Upaya Hukum
Menurut Mahfud, sejak era pemerintahan sebelumnya, yakni dari era Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Joko Widodo, sikap pemerintah tersebut tetap. Dengan sikap tidak melarang KLB atau munaslub itu, lanjut Mahfud, pemerintah berisiko dituding cuci tangan.
”Tetapi, kalau melarang atau mendorong, bisa dituding intervensi, memecah belah, dan sebagainya,” katanya.
Sesuai Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, menurut Mahfud, pemerintah tidak bisa melarang atau mendorong kegiatan yang mengatasnamakan kader Partai Demokrat di Deli Serdang. ”Sama dengan yang menjadi sikap pemerintahan Bu Mega pada saat Matori Abdul Jalil (2002) mengambil PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) dari Gus Dur yang kemudian Matori kalah di pengadilan (2003),” ujarnya.
Pemerintah tidak bisa melarang atau mendorong kegiatan yang mengatasnamakan kader Partai Demokrat di Deli Serdang.
Saat itu, Megawati yang menjadi presiden tidak melarang ataupun mendorong karena secara hukum hal itu masalah internal PKB. Demikian halnya, menurut Mahfud, dengan sikap pemerintahan Yudhoyono ketika tahun 2008 tidak melakukan pelarangan saat ada PKB versi Parung (dipimpin oleh Abdurrahman Wahid/Gus Dur) dan versi Ancol (dipimpin Muhaimin Iskandar). Alasannya, itu adalah urusan internal parpol.
Oleh karena itu, bagi pemerintah sekarang ini, peristiwa Deli Serdang merupakan masalah internal Partai Demokrat. Hal itu bukan atau belum menjadi masalah hukum.
Selain itu, Mahfud mengatakan, sampai saat ini belum ada laporan atau permintaan legalitas hukum baru kepada pemerintah dari Partai Demokrat. Dengan demikian, pemerintah sekarang hanya menangani sudut keamanan, bukan legalitas partai.
Kasus KLB Partai Demokrat baru akan jadi masalah hukum jika hasil KLB itu didaftarkan ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. ”Saat itu, pemerintah akan meneliti keabsahannya berdasarkan UU dan AD/ART parpol. Keputusan pemerintah bisa digugat ke pengadilan. Jadi, pengadilanlah pemutusnya. Oleh karena itu, sekarang tidak atau belum ada masalah hukum di Partai Demokrat,” kata Mahfud.
Kasus KLB Partai Demokrat baru akan jadi masalah hukum jika hasil KLB itu didaftarkan ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Upaya hukum
Partai Demokrat di bawah kepemimpinan Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono tengah mempertimbangkan untuk melaporkan, baik secara pidana maupun administrasi dan tata usaha negara, terkait dengan kegiatan tersebut.
Deputi Badan Pemenangan Pemilu DPP Partai Demokrat Kamhar Lakumani saat dihubungi pada Sabtu mengatakan, partainya menilai KLB Deli Serdang bukan hanya soal intervensi terhadap kedaulatan Partai Demokrat, melainkan juga menjadi preseden buruk bagi kehidupan demokrasi yang dibangun selama ini. Pihaknya berharap pemerintah dapat melihat hal ini secara jernih dan obyektif.
”Kita harapkan Presiden Jokowi selaku produk reformasi juga bisa berada pada posisi itu. Sebagai buah reformasi dan demokrasi itu, ia tentu harus punya komitmen untuk menjaga agenda reformasi serta demokrasi, dan bukan justru mematikan demokrasi,” katanya.
Baca juga : Akar Persoalan dan Potensi Skenario Akhir Kisruh Partai Demokrat
Terpilihnya Moeldoko dalam KLB itu, menurut Kamhar, menegaskan ada kekuatan besar yang berafiliasi dengan kekuasaan dalam penyelenggaraan KLB tersebut. ”Hal itu mengonfirmasi kecurigaan Moeldoko ada di balik semua ini,” katanya.
KLB yang diadakan di Deli Serdang itu, menurut dia, tidak hanya ilegal, tetapi juga abal-abal. Penyelenggaraan, eksistensi, dan kedudukan hukum (legal standing) dari para pihak yang melakukan KLB itu tidak jelas. Sebagian besar dari pemrakarsa dan peserta KLB Demokrat itu adalah kader yang telah dipecat dengan tidak hormat. Selain itu, dalam prosesnya, KLB itu juga tidak sesuai dengan AD/ART Demokrat.
”Kami sedang menyiapkan langkah-langkah hukum, mulai dari melaporkan orang-orang yang tidak punya legal standing itu, tetapi masih bawa-bawa nama parpol. Termasuk juga untuk melakukan perlawanan hukum terhadap kegiatan-kegiatan yang melanggar AD/ART sebagaimana disetujui pada 2020 yang lalu dan juga telah disahkan oleh pemerintah,” kata Kamhar.
Kami sedang menyiapkan langkah-langkah hukum, mulai dari melaporkan orang-orang yang tidak punya legal standing itu, tetapi masih bawa-bawa nama parpol (Kamhar Lakumani).
Sebelumnya, Agus menegaskan, KLB di Deli Serdang itu sebagai sebuah dagelan, ilegal, dan inkonstitusional. Ini karena penyelenggaraan KLB tidak mengacu AD dan ART Demokrat yang telah disahkan oleh pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Adapun syarat pelaksanaan KLB sesuai AD/ART Demokrat, antara lain, harus disetujui, didukung, dan dihadiri oleh minimal 2/3 ketua dewan pimpinan daerah (DPD) dan minimal setengah dari jumlah ketua dewan pimpinan cabang (DPC). Kemudian, harus disetujui oleh Ketua Majelis Tinggi Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono. ”Namun, ketiga klausul itu sama sekali tak dipenuhi,” ujarnya (Kompas, 6/3/2021).
Dihubungi terpisah, Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat versi KLB Marzuki Alie mengatakan, jika yang dijadikan patokan ialah AD/ART 2020, memang tidak akan mungkin ada KLB karena keputusan di ujung dalam pelaksanaan KLB itu ada di ketua majelis tinggi. Namun, ia menilai, KLB itu penting dilakukan untuk menegaskan kembali nilai-nilai demokrasi lantaran sebuah partai tidak ditentukan oleh keputusan oleh satu orang, tetapi diputuskan bersama-sama.
”Artinya, kami kembali merujuk kepada AD/ART 2005. Dalam aturan itu, untuk menyelenggarakan KLB, yang diperhitungkan ialah jumlah pemilik suara. Jika mayoritas pemilik suara mendukung KLB, hal itu dapat diselenggarakan. Soal klaim bahwa kami tidak legal atau tidak sah, itu nanti dulu. Nanti itu, kan, bicara di ranah hukum soal legalitas kepartaian,” ucapnya.
Dalam sepekan ini pihaknya sedang menyusun kepengurusan Partai Demokrat hasil KLB. Dengan demikian, targetnya pekan depan kepengurusan itu sudah dapat didaftarkan ke Kementerian Hukum dan HAM.
Mantan Ketua DPR itu mengatakan, dalam sepekan ini pihaknya sedang menyusun kepengurusan Partai Demokrat hasil KLB. Dengan demikian, targetnya pekan depan kepengurusan itu sudah dapat didaftarkan ke Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
Bergantung figur
Terkait dengan hasil KLB yang memilih Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko sebagai Ketua Umum, menurut Marzuki itu suatu keniscayaan dalam kehidupan sebuah partai politik di Indonesia. Sebab, kolaborasi antara figur partai dan kekuatan atau mesin partai itulah yang dapat mendorong kemajuan sebuah parpol. Sosok Moeldoko dinilai sebagai figur yang memenuhi unsur ketokohan itu. Marzuki juga menyinggung Demokrat di masa lalu yang dapat maju karena adanya sosok Yudhoyono di dalam partai.
”Dari hasil disertasi yang pernah saya buat, mayoritas orang memilih partai itu karena ada tokoh atau figur di baliknya, selain juga program dan platform parpol yang ditunjukkan. Tetapi, secara umum melihat ketokohan seseorang lebih daripada program partainya. Idealnya memang orang melihat program partai, tetapi dalam masyarakat kita yang paternalistik, kita membutuhkan figur,” katanya.
Sementara itu, dalam pidatonya, Jumat malam, Moeldoko mengatakan, KLB itu konstitusional dan sesuai dengan AD/ART. Ia mengajak kader berjuang bersama. Moeldoko juga berbicara tentang kepemimpinan. Menurut dia, kekuatan Partai Demokrat ada di tangan para kadernya, mulai dari tingkat provinsi, kabupaten, kota, sampai kecamatan dan kelurahan.
”Panglima tidak ada artinya kalau tidak memiliki prajurit-prajurit yang tangguh, dan seorang pemimpin tugasnya adalah memberikan perkuatan kepada komandan-komandan di bawahnya. Itu pemimpin, bukan malah mengecilkan bawahannya. Itulah pemimpin memberikan kekuatan dan energi yang luar biasa kepada bawahannya,” ucap mantan Panglima TNI ini.
Sebelumnya, Yudhoyono dalam keterangannya mengatakan, ia tetap percaya Presiden Joko Widodo memiliki integritas dan kearifan dalam menyikapi hal ini. ”Saya juga tetap percaya bahwa negara dan pemerintah akan bertindak adil serta akan sepenuhnya menegakkan pranata hukum yang berlaku, baik itu konstitusi kita, Undang-Undang Dasar 1945 dan undang-undang partai politik, maupun AD dan ART Partai Demokrat yang secara hukum juga mengikat,” ujarnya.
Menurut peneliti politik Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes, konflik di tubuh parpol disebabkan oleh berbagai faktor. Bukan kali ini saja konflik di tubuh parpol terjadi di Indonesia. Sebelumnya, banyak parpol yang juga berkonflik, seperti Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Hanura, PKB, dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) sebelum akhirnya muncul PDI Perjuangan di akhir era Orde Baru.
Penyebab konflik di tubuh parpol, antara lain, soal distribusi politik atau akomodasi politik yang kurang adil oleh elite-elite di internal parpol. Hal lain yang mendorong ialah perbedaan preferensi pilihan atau dukungan politik serta proses suksesi kepemimpinan yang dianggap tidak adil.
Konflik pada akhirnya memang akan mengganggu pelembagaan di internal partai karena partai harus melakukan pemulihan dalam waktu yang cukup lama.
Konflik pada akhirnya memang akan mengganggu pelembagaan di internal partai karena partai harus melakukan pemulihan dalam waktu yang cukup lama. Partai juga akan disibukkan dengan urusan hukum dan legalitas kepengurusan yang sah.
”Akibatnya, partai bisa kesulitan melakukan konsolidasi menjelang pemilu sehingga berpotensi memengaruhi suara partai. Sebab, konflik ini berpotensi berkepanjangan lantaran jalan hukum bisa saja sampai kasasi di Mahkamah Agung,” ujarnya.
Secara terpisah, Kepala Bagian Humas dan Protokol Kemenkumham Tubagus Erif Faturahman mengatakan, terkait dengan KLB Demokrat, pihaknya hanya bersikap pasif menunggu pengajuan surat dan dokumen dari pihak-pihak yang berkepentingan. Sampai saat ini, Kemenkumham belum menerima surat atau dokumen apa pun. ”Nanti dokumen-dokumen itu akan dipelajari apakah sudah berdasarkan mekanisme peraturan perundang-undangan yang berlaku serta aturan atau mekanisme internal yang disepakati AD/ART atau belum,” katanya.
Menurut Erif, Kemenkumham dalam hal ini akan bersikap obyektif berdasarkan konstitusi, dan tidak akan mengambil keputusan dengan cepat, melainkan hati-hati, cermat, dan berimbang. Sejauh memenuhi ketentuan, hasil KLB itu dapat saja diterima, tetapi demikian juga sebaliknya, jika tidak memenuhi persyaratan akan ditolak.