Kominfo Kaji Rencana Revisi UU ITE
Kominfo siap untuk mengkaji secara mendalam kemungkinan revisi pasal-pasal karet dalam UU ITE. Sebaliknya sebagian pihak menilai problem UU ITE ada di tataran implementasi oleh penegak hukum, bukan substansinya.
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Komunikasi dan Informatika masih mengkaji rencana revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Kajian itu harus dilakukan secara mendalam sebelum diproses menjadi rancangan undang-undang. Di sisi lain, masih ada peluang jika revisi dilakukan di tahun 2021, sepanjang dilakukan rapat kerja kembali antara pemerintah dan DPR guna mengubah Prolegnas Prioritas 2021.
Staf ahli Menkominfo yang juga ketua panitia kerja (panja) pemerintah dalam revisi UU ITE, tahun 2016, Henri Subiakto, mengatakan, semangat UU ITE sejak awal adalah untuk menjaga ruang digital Indonesia agar bersih, sehat, beretika, dan bisa dimanfaatkan secara produktif. Pemerintah di satu sisi juga berpedoman, pelaksanaan UU ITE tidak boleh juga menimbulkan rasa ketidakadilan. Oleh karena itu, kajian mendalam harus lebih dulu dilakukan sebelum mengusulkan revisi terhadap UU ITE.
”Pemerintah akan secara lebih selektif menyikapi dan menerima pelaporan pelanggaran UU ITE dan pasal-pasal yang bisa menimbulkan multitafsir diterjemahkan secara hati-hati, sesuai norma asli saat dibuat,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (18/2/2021), dari Jakarta.
Semangat UU ITE sejak awal adalah untuk menjaga ruang digital Indonesia agar bersih, sehat, beretika, dan bisa dimanfaatkan secara produktif.
Henri mengatakan, pihaknya mengikuti instruksi Presiden Joko Widodo saat memberikan arahan dalam rapat bersama pimpinan TNI/Polri, 15 Februari lalu. Dalam kesempatan itu, Presiden meminta penegak hukum untuk membuat pedoman terhadap kasus-kasus dugaan pelanggaran UU ITE sehingga tidak terjadi multitafsir di lapangan. Namun, jika hal itu dinilai belum memberikan keadilan, pemerintah terbuka untuk melakukan revisi UU ITE.
”Kominfo mendukung Mahkamah Agung, kepolisian, Kejaksaan, dan kementerian atau lembaga terkait dalam membuat pedoman, peraturan Kapolri, peraturan jaksa agung. Ataupun SEMA jika dimungkinkan. Itu semacam pedoman resmi terhadap UU ITE di dalam instansi atau lembaga masing-masing agar lebih jelas dalam penafsiran,” tuturnya.
Baca juga : Kritik dan Masukan Publik Perlu Dikanalisasi
Beberapa pasal yang selama ini dinilai ”karet”, lanjut Henri, sebenarnya telah berkali-kali diajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam beberapa putusannya, MK menyatakan pasal-pasal itu konstitusional. Pasal yang diuji, antara lain, Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE, yang mengatur mengenai penghinaan, pencemaran nama baik, serta ujaran kebencian.
Persoalannya sebenarnya pada tataran implementasi atau penafsiran UU ITE, bukan pada norma UU itu sendiri. Dalam beberapa kali putusan MK, pasal-pasal yang dinilai karet itu pun dinyatakan konstitusional. Oleh karena itu, pedoman yang dibuat oleh penegak hukum menjadi sesuatu yang penting.
Problem implementasi
Henri mengatakan, UU ITE dinilai merupakan hasil kajian dari norma-norma peraturan perundang-undangan lain yang berlaku saat ini. Ketentuan pasal-pasal itu sudah ada di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), terutama yang berhubungan dengan Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE. UU ITE juga memperhatikan praktik baik negara-negara lain untuk menjaga ruang digital yang aman dan produktif. UU ITE sendiri juga telah mengalami revisi di tahun 2016 sehingga melahirkan UU No 19/2016.
”Persoalannya sebenarnya pada tataran implementasi atau penafsiran UU ITE, bukan pada norma UU itu sendiri. Dalam beberapa kali putusan MK, pasal-pasal yang dinilai karet itu pun dinyatakan konstitusional. Oleh karena itu, pedoman yang dibuat oleh penegak hukum menjadi sesuatu yang penting. Kalaupun ada perubahan terhadap UU ITE, harus diberi batasan, yakni pada poin-poin yang membuka tafsir terlalu luas, misalnya soal penghinaan,” tuturnya.
Pasal 27 Ayat (3) UU ITE berbunyi, ”Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
Baca juga : Tak Cukup Revisi, Moratorium Kasus Laporan Pelanggaran UU ITE
Henri mengatakan, revisi yang paling mungkin dilakukan ialah dengan menghilangkan frasa ”penghinaan” dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE, karena frasa ”penghinaan” itu konsep yang luas dan kerap diasosiasikan dengan perasaan. Idealnya, aturan hukum tidak didasarkan pada subyektivitas perasaan. Selain itu, karena rujukan yang digunakan ialah KUHP, bab 16 yang terdiri atas 11 pasal, orang banyak mengira semua pasal mengenai penghinaan itu masuk ke dalam larangan yang diatur di dalam UU ITE.
”Setelah revisi UU ITE, 2016, sudah dijelaskan bahwa yang dimaksud penghinaan dan pencemaran nama baik itu hanya pada Pasal 310 dan 311 KUHP. Isinya sangat jelas, yaitu menuduhkan sesuatu hal kepada seseorang (Pasal 310). Adapun Pasal 311 dirujuk kalau tuduhan itu bertentangan dengan pengetahuan dan keyakinan si penuduh atau disebut juga dengan fitnah,” tuturnya.
Hanya pihak-pihak yang dirugikan langsung yang bisa melaporkan pelanggaran itu ke polisi. Hanya saja, pada praktiknya bukan demikian yang terjadi.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Effendi Simbolon, mengatakan, delik yang diatur di dalam UU ITE yang terkait dengan pencemaran nama baik, fitnah, dan ujaran kebencian itu merupakan delik aduan. Artinya, hanya pihak-pihak yang dirugikan langsung yang bisa melaporkan pelanggaran itu ke polisi. Hanya saja, pada praktiknya bukan demikian yang terjadi.
”Misalnya, ketika ada orang mengirim postingan di media sosial tentang seseorang, yang lapor bukan orang bersangkutan yang namanya disebut, tetapi kelompok lain. Nah, akhirnya terjadilah saling melapor. Sayangnya, laporan ini ditindaklanjuti oleh polisi. Padahal, sebagai delik aduan, itu tidak bisa direspons mestinya karena bukan orangnya langsung yang melapor,” tuturnya.
Kondisi ini, lanjut Effendi, tidak sesuai dengan aturan UU ITE. Secara normatif, karena UU ITE itu juga merujuk kepada KUHP, aturannya dianggap sudah jelas. ”Pemerintah harus mengatasi ini, dong, jangan seolah menganggap UU yang keliru. Padahal, aparat mereka sendiri yang tidak benar mengimplementasikan UU,” katanya.
Effendi mengatakan, revisi UU ITE pun harus dilihat secara komprehensif. Sebab, UU itu tetap dibutuhkan untuk mengatur ruang digital dan informasi elektronik yang lebih sehat. Tudingan adanya pasal-pasal karet pun harus dirinci dan dibuktikan. Ketika ada kajian untuk merevisi UU ITE, hendaknya bukan justru melemahkan upaya membangun ruang digital yang sehat.
”Amerika Serikat yang liberal saja menyadari hal ini, dan akun medsos Trump sampai ditutup. Sebab, mereka menyadari bahayanya medsos yang liar dapat memecah-belah bangsa. Apakah kita mau membuat bangsa ini terpecah-belah karena caci-maki yang demikian itu,” ujarnya.
UU ITE perlu dirombak total, yakni dengan memisahkan soal transaksi elektronik dengan informasi elektronik. Sebab, itu dua hal yang berbeda.
Secara terpisah, di dalam diskusi daring, Kamis, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Jazilul Fawaid, mengatakan, fraksinya mendukung dilakukan revisi UU ITE. Bahkan, Wakil Ketua Umum PKB itu mengusulkan agar UU ITE dirombak total, yakni dengan memisahkan soal transaksi elektronik dengan informasi elektronik. Sebab, itu dua hal yang berbeda.
”Apalagi menyangkut penghinaan dan pencemaran nama baik, itu menjadi sangat multitafsir,” ujarnya.
Di dalam revisi UU ITE, 2016, juga diatur agar terlapor atau tersangka yang diadukan terkait UU ITE dapat ditangkap. Padahal, sebelum revisi, penangkapan itu harus memperoleh izin pengadilan. Belum lagi adanya kewenangan pemerintah untuk mencegah informasi-informasi yang dianggap memiliki konten penghinaan dan sebagainya. PKB juga masih menginventarisasi pasal-pasal yang dianggap multitafsir atau pasal karet.
”Kami sepakat dilakukan revisi karena sejatinya UU ini titik tekannya pada transaksi elektronik. Akan tetapi, yang menonjol ialah pemidanaan kepada mereka yang aktif di dunia elektronik sehingga dianggap pemerintah itu mengendalikan informasi atau mengekang kebebasan informasi. Namun, koridor revisi itu harus tetap mengacu pada norma konstitusi, dan jaminan kepada warga negara untuk menyampaikan pendapat,” tutur Jazilul.
Sejatinya UU ini titik tekannya pada transaksi elektronik. Akan tetapi, yang menonjol ialah pemidanaan kepada mereka yang aktif di dunia elektronik sehingga dianggap pemerintah itu mengendalikan informasi atau mengekang kebebasan informasi.
Belum berproses
Namun, sampai saat ini, revisi UU ITE itu belum melangkah lebih jauh di dalam proses legislasi di DPR. Sebelumnya, Wakil Ketua Badan Legislasi dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi mengatakan, Baleg DPR pada dasarnya tidak keberatan atas keinginan Presiden merevisi UU ITE.
”Bahkan, untuk menjunjung profesionalitas Polri sebagaimana disampaikan Jenderal Listyo Sigit Prabowo saat fit and proper test di Komisi III DPR. Untuk itu, jangan sampai UU ITE digunakan untuk menjerat orang atau kelompok kritis dengan mengada-ada. Namun, jika memang sudah memenuhi unsur, ya, tetap bisa digunakan. Artinya harus dipilah benar mana yang bisa dijerat UU ITE dan mana yang tidak bisa dijerat UU ITE,” tuturnya.
Adapun untuk memasukkan revisi UU ITE ke dalam Prolegnas Prioritas 2021, menurut Baidowi, ada jalan yang dapat ditempuh sesuai UU No 12/2011 yang telah diubah dengan UU No 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hasil raker Baleg dengan pemerintah, 14 Januari 2021, tentang pengesahan prolegnas sudah pernah dibahas di Badan Musyawarah DPR untuk dijadwalkan di dalam paripurna. Namun, sampai sekarang masih tertunda.
”Maka, bisa saja Bamus menugaskan Baleg untuk raker ulang dengan pemerintah untuk mengubah prolegnas prioritas, yakni bisa dengan menambah, mengurangi, ataupun mengganti daftar RUU. Atau bisa juga nanti di paripurna diputuskan. Namun, perlu ditegaskan bahwa keputusan prolegnas harus dibuat dalam rapat tripartit antara DPR, pemerintah, dan DPD,” ucapnya.