Tak Cukup Revisi, Moratorium Kasus Laporan Pelanggaran UU ITE
Revisi UU ITE penting karena pasal-pasal karet di dalamnya dinilai telah menggerus demokrasi. Namun, tak cukup hanya itu, polisi pun diminta melakukan moratorium penanganan kasus-kasus laporan pelanggaran UU ITE.
Oleh
IQBAL BASYARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dinilai telah melenceng dari tujuan awal. Undang-undang yang dibuat untuk memperkuat informasi dan transaksi elektronik itu justru berubah menjadi alat mengkriminalisasi. Imbasnya, demokrasi Indonesia kian menurun akibat kekhawatiran publik menyampaikan pendapatnya.
Laporan yang dihimpun koalisi masyarakat sipil menunjukkan, sejak 2016 hingga Februari 2020, untuk kasus-kasus yang dijerat dengan Pasal 27, 28, dan 29 UU ITE menunjukkan tingkat penghukuman (conviction rate) mencapai 96,8 persen (744 perkara) dengan tingkat pemenjaraan mencapai 88 persen (676 perkara).
Sejak disahkan pada 2008, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mencatat ada 375 kasus yang menjerat warganet terkait UU ITE.
Laporan SAFEnet menyimpulkan bahwa jurnalis, aktivis, dan warga kritis paling banyak dikriminalisasi dengan menggunakan pasal-pasal karet yang cenderung multitafsir dengan tujuan membungkam suara-suara kritis. Sektor perlindungan konsumen, antikorupsi, pro-demokrasi, penyelamatan lingkungan, dan kebebasan informasi menjadi sasaran utama.
Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto dihubungi dari Jakarta, Selasa (16/2/2021), mengatakan, setidaknya ada sembilan pasal yang bermasalah dalam UU ITE sehingga perlu direvisi, yakni Pasal 26 Ayat 3, Pasal 27 Ayat 1 dan 3, Pasal 28 Ayat 2, Pasal 29, Pasal 36, Pasal 40 Ayat 2a dan 2b, serta Pasal 45 Ayat 3.
Pasal 27-29 dinilainya sebagai pasal karet karena multitafsir. Di luar itu, ada sejumlah pasal yang rawan persoalan terkait penghapusan informasi, penghinaan dengan kerugian, kewenangan pemerintah untuk melakukan pemutusan akses, serta ancaman pidana.
”Kita sudah sampai pada situasi UU ITE merobek tatanan sosial masyarakat. Bukan hanya soal hukum, UU tersebut juga memberikan dampak sosial dan politik di masyarakat,” katanya.
Dampak sosial yang terjadi akibat UU tersebut, antara lain, digunakan sebagai alat balas dendam, barter kasus, untuk memberikan terapi kejut, serta membungkam aktivis dan jurnalis. Adapun dampak politik adalah digunakannya UU ITE oleh politikus untuk menjatuhkan lawan-lawannya.
Moratorium
Selain perlu direvisi, Damar mendorong agar kasus-kasus terkait UU ITE dimoratorium. Kepolisian perlu menerapkan keadilan restoratif dalam kasus-kasus yang dijerat dengan UU ITE, terutama penggunaan pasal ”karet”.
”Jika pemerintah mau berdialog, kami siap memberikan masukan-masukan,” ucap Damar.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi menuturkan, salah satu faktor yang menyebabkan penurunan indeks demokrasi yang dirilis sejumlah lembaga disebabkan kebebasan berpendapat. Ketakutan warga menyuarakan pendapatnya tidak hanya dipengaruhi kondisi negara, tetapi juga ada kekhawatiran menjadi korban perundungan di media sosial.
Laporan Indeks Demokrasi 2020 yang diluncurkan The Economist Intelligence Unit (EIU) menunjukkan, skor Indonesia tercatat 6,30 atau turun dibanding 2019 pada 6,48. Dari skala 0-10, semakin tinggi skor, semakin baik kondisi demokrasi sebuah negara.
Dari lima aspek demokrasi yang diukur EIU, aspek kebebasan sipil stagnan di 5,59 poin dan berada di urutan dua terendah dibanding empat indikator lain. Adapun aspek budaya politik (4,38), partisipasi politik (6,11), proses elektoral dan pluralisme (7,92), dan keberfungsian pemerintah (7,50).
Senada dengan EIU, dalam survei Indikator Politik Indonesia yang dilakukan pada 24-30 September 2020 kepada 1.200 responden menunjukkan, sebanyak 69,6 persen responden sangat setuju dan agak setuju dengan pendapat bahwa warga makin takut menyatakan pendapat.
”Pekerjaan rumah terbesar terkait penurunan indeks demokrasi yakni terkait kebebasan sipil karena memiliki kontribusi dalam membuat rakyat ketakutan menyuarakan pendapatnya karena khawatir dikriminalisasi,” kata Burhanuddin.
UU ITE saat ini, dinilai menjadi alat untuk mengadukan sesama kelompok masyarakat kepada kepolisian. Sebab ,ada pasal-pasal karet, terutama tentang pencemaran nama baik dan ujaran kebencian yang membuat kritik masyarakat dianggap sebagai bentuk pencemaran nama baik. ”UU ITE yang awalnya untuk melindungi informasi dan transaksi elektronik seolah-olah berubah menjadi alat untuk merepresi warga,” katanya.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jimly Asshiddiqie, berharap, revisi UU ITE segera disusun dan diajukan dalam program legislasi nasional. Aba-aba dari Presiden Joko Widodo untuk melakukan revisi jika implementasinya menimbulkan ketidakadilan perlu segera direspons oleh instansi-instansi terkait.
Bahkan jika perlu, revisi UU ITE bisa menggunakan metode omnibus terbatas untuk juga merevisi sebagian UU Polri agar tidak semua laporan atau pengaduan diproses seperti apa adanya. Namun, revisi tersebut jangan sampai menimbulkan “dagang sapi” sehingga fungsi pengawasan Polri tetap mesti ditingkatkan.
“Para pembantu di sekitar Presiden mesti banyak dan sering memberi masukan seperti ini dengan maksud untuk memperbaiki keadaan, jangan cuma menunggu perintah. Indonesia butuh transformasi sistemik, maka dibutuhkan banyak masukan untuk membangun dan mereformasi sistem, bukan Cuma retorika balas membalas kritik yang justru menambah ketidakpuasan dan memperluas permusuhan,” tutur anggota Dewan Perwakilan Daerah dari DKI Jakarta ini.
Konstitusional
Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Gerard Plate menjelaskan, semangat UU ITE sebetulnya adalah untuk menjaga ruang digital Indonesia agar bersih, sehat, beretika, dan bisa dimanfaatkan secara produktif. Namun pemerintah berpedoman bahwa dalam pelaksanaan UU ITE tidak boleh justru menimbulkan rasa ketidakadilan.
”Pemerintah akan lebih selektif menyikapi dan menerima pelaporan pelanggaran UU ITE dan pasal-pasal yang bisa menimbulkan multitafsir diterjemahkan secara hati-hati,” katanya.
Terkait pasal karet, Johnny mengatakan bahwa Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE, yang kerap kali dianggap sebagai pasal karet telah beberapa kali diajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi dan selalu dinyatakan konstitusional.
Namun, kementeriannya bersama Mahkamah Agung, Kepolisian, Kejaksaan, akan bekerja sama membuat pedoman resmi penafsiran terhadap pasal-pasal UU ITE yang dianggap kontroversial agar lebih jelas dan dapat menghindari penafsiran yang beragam.
”Upaya-upaya di atas terus dilakukan dan dioptimalkan oleh pemerintah. Namun, jika dalam perjalanannya tetap tidak dapat memberikan rasa keadilan, maka kemungkinan revisi UU ITE juga terbuka, kami mendukung sesuai arahan Bapak Presiden,” ucap Johnny.