Enam Opsi untuk Atasi Persoalan Bupati Sabu Raijua Terpilih
Opsi tersebut mulai dari pembatalan pelantikan, dilantik terlebih dulu baru kemudian diberhentikan setelah Orient terbukti bersalah, hingga pembatalan Orient sebagai bupati terpilih oleh Komisi Pemilihan Umum.
JAKARTA,KOMPAS — Pemerintah bersama penyelenggara pemilu belum mengambil keputusan terkait persoalan bupati terpilih Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur, Orient P Riwu Kore yang berstatus warga negara Amerika Serikat. Dari wawancara Kompas dengan sejumlah pakar hukum tata negara, setidaknya ada enam opsi jalan yang bisa diambil pemerintah atau penyelenggara pemilu untuk mengatasi persoalan tersebut.
Mulai dari membatalkan pelantikan, dilantik terlebih dulu baru kemudian diberhentikan setelah Orient terbukti bersalah, hingga pembatalan Orient sebagai bupati terpilih oleh Komisi Pemilihan Umum.
Seperti diketahui, Orient terpilih sebagai bupati Sabu Raijua pada Pilkada 9 Desember 2020. Saat mendaftar, ia melampirkan KTP elektronik dengan status warga negara Indonesia. Namun, pada 1 Februari 2021, Badan Pengawas Pemilu Sabu Raijua menerima surat balasan dari Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta terkait permintaan klarifikasi informasi soal status kewarganegaraan Orient. Di surat itu disebutkan Orient merupakan warga negara AS.
Pengajar hukum tata negara dan administrasi negara Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Umbu Rauta, saat dihubungi, Jumat (5/2/2021), mengatakan, dalam kasus ini, Orient dapat terlebih dulu diangkat atau dilantik menjadi kepala daerah sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Selanjutnya, karena ada dasar temuan yang bersangkutan menggunakan dokumen atau memberikan keterangan palsu sebagai syarat pencalonan kepala daerah atau wakil kepala daerah, hal ini dapat menjadi alasan pemberhentiannya sebagai kepala daerah. Hal itu sebagaimana diatur di dalam Pasal 78 Ayat (2) huruf h UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Baca juga: Status Bupati Sabu Raijua Terpilih Masih Mengambang
”Ini artinya calon kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih mesti diangkat terlebih dahulu oleh pemerintah pusat melalui mendagri (menteri dalam negeri). Setelah itu, atas dugaan penggunaan dokumen atau keterangan palsu, DPRD setempat menggunakan hak angket untuk melakukan penyelidikan sesuai peraturan tata tertib DPRD. Jika hasil penyelidikan DPRD terbukti, dapat diusulkan pemberhentian ke mendagri melalui gubernur,” ucapnya.
Pendekatan ini, menurut Umbu, adalah jalan legalistik-formal yang dapat dipilih oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Setelah nantinya Orient diberhentikan sebagai kepala daerah, wakil kepala daerah yang menjadi pasangannya dapat diangkat menjadi bupati pengganti.
”Yang bermasalah, kan, hanya bupatinya. Logika yang dibangun sama dengan ketika ada salah satu calon berhalangan tetap, pasangannya yang menggantikan, bukan calon lain. Dalam kasus ini, yang melanggar syarat pencalonan hanya bupati, sedangkan wakil bupati tidak,” katanya.
Jalan kedua, pelantikan tetap dilakukan sambil menunggu tuntasnya proses pidana atas pengusutan dugaan keterangan palsu oleh Orient. Saat ini, kepolisian sedang menyelidiki kasus tersebut. Ketika nanti putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap menyatakan Orient bersalah, Kemendagri dapat memberhentikannya.
PTUN atau DKPP
Jalan lainnya, mendagri tetap melantik pasangan tersebut, kemudian bagi pihak yang merasa dirugikan, misalnya pasangan calon lain di Pilkada Sabu Raijua, dapat menggugatnya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Putusan PTUN dapat membatalkan pelantikan pasangan itu.
Selain itu, menurut Umbu, pembatalan pasangan bisa juga dilakukan dengan melaporkan kasus Orient tersebut ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Pelaporan dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang merasa KPU Sabu Raijua melakukan pelanggaran etik sehingga pasangan itu lolos pencalonan. Dengan demikian, keputusan KPU daerah soal pencalonan Orient dapat dibatalkan DKPP.
”Jalan lainnya, pemerintah sebagai pemegang kewenangan mengangkat dan melantik pejabat dapat menunda pelantikan sampai terbukti status kewarganegaraan yang bersangkutan. Apabila memang terbukti dia berkewarganegaraan ganda, mendagri dapat mengeluarkan diskresi untuk tidak melantik yang bersangkutan,” katanya.
Namun, kebijakan menunda pelantikan ini menyisakan pertanyaan tentang siapa yang akan menjadi bupati definitif selanjutnya lantaran pasangan wakil bupatinya turut serta tidak dilantik. ”Kalau mau aman, harus dilantik dulu semuanya, baru proses pemberhentiannya berjalan. Dalam hukum administrasi negara dikenal asas praduga absah. Artinya, segala sesuatu dianggap absah, termasuk syarat-syarat pencalonan, kecuali dibuktikan sebaliknya,” katanya.
Baca juga: Sengkarut Administrasi Kependudukan Berlanjut
Batal demi hukum
Adapun Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Katolik Parahyangan Asep Warlan Yusuf menawarkan opsi lain.
Menurut dia, KPU bisa langsung membatalkan keterpilihan dan pelantikan Orient. Pasalnya, dengan berstatus sebagai warga negara AS, ia tidak memenuhi syarat pencalonan sebagai kepala daerah. Ini otomatis berimplikasi pada keterpilihannya. Pencalonan dan sekaligus keterpilihan Orient disebutnya batal demi hukum atau void ab initio karena ia melanggar syarat pencalonan.
”Jadi, batal demi hukum, bukan dapat dibatalkan. Kalau dapat dibatalkan itu ketika ada sengketa, lalu ada yang mengakibatkan dia tidak sah, itu dapat dibatalkan. Tetapi, ini batal demi hukum karena di dalamnya ada cacat dalam prosedur, cacat dalam persyaratan,” ucap Asep.
Bahkan tak hanya Orient, pasangannya di pilkada pun turut batal demi hukum. Ini karena dalam UU Pilkada, syarat pencalonan itu, partai politik mengusung pasangan calon kepala-wakil kepala daerah. Selanjutnya, menurut Asep, pasangan calon peraih suara terbesar kedua yang dilantik. Dengan demikian, pilkada tak perlu digelar kembali di Sabu Raijua.
KPU didorongnya untuk menempuh langkah itu sebelum Orient dilantik pada 17 Februari mendatang. Ia mengingatkan, syarat kewarganegaraan, termasuk dalam pencalonan pilkada, merupakan syarat yang vital. Dengan calon berstatus warga negara lain, calon bisa saja berafiliasi atau mementingkan kewarganegaraan di mana dia terikat. ”Jadi, syarat warga negara itu vital, itu adalah urusan yang sangat pokok karena tidak boleh warga negara asing jadi pejabat publik di sini,” ujar Asep.
Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Arif Wibowo mengatakan, tidak ada dasar hukum untuk menunda pelantikan. Jalan terbaik ialah tetap melantik pasangan tersebut.
”Dilantik dulu baru kemudian dibawa ke pengadilan untuk diputus inkrah apakah yang bersangkutan WNl atau WNA. Pasal 7 UU 10 Tahun 2016 dan Pasal 184 UU 8 Tahun 2015 tentang Pilkada telah mengonstantir hal tersebut. Oleh karena itu, tidak bisa dengan menunda pelantikan atau memberhentikan yang bersangkutan tanpa putusan pengadilan,” ucapnya.
Baca juga: Orient Patriot Riwu Kore Sekadar Memenuhi Keinginan Sang Ayah
Dengan demikian, Orient harus dinyatakan sebagai WNl sampai dengan adanya putusan hukum berkekuatan tetap yang menyatakan bahwa dia bukan WNl. Cara pembuktiannya, menurut Arif, ialah dengan membawa ke pengadilan karena pembuktian itu tidak cukup dengan berbekal surat dari Kedutaan Besar (Kedubes) Amerika Serikat.
Menurut Arif, pemalsuan dokumen untuk pencalonan pilkada berkonsekuensi pidana. Sanksi pidananya paling singkat 3 tahun dan paling lama 6 tahun dengan denda paling sedikit Rp 36 juta dan paling banyak Rp 72 juta, sesuai Pasal 184 UU No 8 Tahun 2015. Dengan demikian, perihal pemalsuan dokumen itu harus ada putusan pengadilan untuk membuktikannya dan menjadi dasar pemberhentian.