Penurunan indeks persepsi korupsi Indonesia 2020 akan membuat citra Indonesia di mata internasional menurun. Akibatnya, menurunkan pula kepercayaan investor terhadap Indonesia. Perlu keseimbangan dalam penegakan hukum.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menurunnya indeks persepsi korupsi Indonesia pada 2020 dinilai akan membuat citra Indonesia di mata dunia internasional menurun. Akibatnya, dapat berdampak pada menurunnya kepercayaan investor terhadap Indonesia. Jika tidak ingin penurunan ini terus terjadi, sistem yang ada harus diperbaiki, khususnya di sektor politik.
Seperti diberitakan sebelumnya, indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia pada 2020 mengalami penurunan hingga tiga poin dari 2019, yakni dari skor 40 menjadi 37. Dari rentang 0-100, semakin tinggi skor, semakin dipersepsikan sebuah negara bebas dari korupsi. Dengan skor 37, Indonesia kini berada di peringkat ke-102 dari 180 negara yang disurvei. IPK Indonesia 2020 dirilis oleh Transparency International Indonesia (TII), Kamis (28/1/2021).
Peneliti TII, Alvin Nicola, mengatakan, anjloknya skor IPK Indonesia untuk pertama kali sejak dua dekade terakhir mengindikasikan tingkat kepercayaan pelaku usaha, investor, dan para ahli menurun drastis.
”Artinya, persepsi terhadap maraknya praktik korupsi akan menyebabkan semakin kuatnya pandangan bahwa biaya berpolitik dan biaya berbisnis di Indonesia sangat mahal serta berisiko,” kata Alvin, Jumat (29/1/2021), saat dihubungi.
Persepsi terhadap maraknya praktik korupsi akan menyebabkan semakin kuatnya pandangan bahwa biaya berpolitik dan biaya berbisnis di Indonesia sangat mahal serta berisiko.
Menurut Alvin, hal tersebut berkorelasi dengan semakin tidak berkualitasnya sektor ekonomi, penegakan hukum, dan integritas politik serta demokrasi. Dampak buruknya, investor, calon anggota legislatif, dan presiden yang berkualitas kelak akan ragu, bahkan bisa pergi karena menganggap sektor-sektor tersebut berisiko. Investor yang berkualitas dan bersih adalah mereka yang ingin berusaha dengan mematuhi kaidah sustainabilitas, penghormatan lingkungan dan hak asasi manusia, serta ketenagakerjaan.
Penyebab terbesar kemerosotan ini, menurut Alvin, adalah paket pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta potensi kerusakan lingkungan akibat Undang-Undang Cipta Kerja dan revisi UU Mineral dan Batubara. Kebijakan tersebut dianggap telah merusak iklim investasi dan menguatkan persaingan usaha yang tidak sehat.
Hal senada diungkapkan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Azyumardi Azra. Penurunan IPK ini akan berdampak pada investasi yang masuk. Akibatnya, harapan pemerintah untuk meningkatkan investor melalui UU Cipta Kerja akan gagal.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, mengatakan, penurunan IPK ini akan membuat citra Indonesia di mata dunia internasional juga menurun. Karena itu, investasi dalam negeri akan terhambat. Investor akan melihat pemberantasan korupsi dan penegakan hukum di Indonesia lemah.
Menurut Kurnia, penurunan ini juga akan membuat komitmen Indonesia yang telah menandatangani konvensi PBB tentang antikorupsi atau United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) dipertanyakan. Apalagi, Undang-Undang KPK telah bertabrakan dengan UNCAC.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari berpandangan, IPK yang turun menjadi bentuk prediksi bahwa ada sistem yang bermasalah. Masyarakat tidak puas terhadap berbagai tindakan koruptif negara. Kalau hal tersebut dibiarkan, sama seperti bencana alam.
”Bagi yang abai, bisa kehilangan nyawa. Begitu juga dengan negara. Jika diabaikan, bukan tidak mungkin dampak buruk IPK yang menurun akan terbukti, yang membuat negara demokrasi rusak,” kata Feri.
Bagi yang abai, bisa kehilangan nyawa. Begitu juga dengan negara. Jika diabaikan, bukan tidak mungkin dampak buruk IPK yang menurun akan terbukti, yang membuat negara demokrasi rusak.
Penegakan hukum kelembagaan
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Krisnadwipayana, Indriyanto Seno Adji, menuturkan, solusi atas penurunan IPK yang terjadi di Indonesia adalah dengan kembali pada sistem penegakan hukum kelembagaan. Selain dari sisi struktur birokrasi dan substansi regulasi, juga yang terpenting adalah atensi terhadap budaya hukum.
Menurut Indriyanto, reformasi kultur menjadi kunci dalam perbaikan melalui pendekatan sistemis. Masyarakat dan penegak hukum harus memiliki kesadaran serta taat dalam tertib hukum. Rendahnya budaya tertib hukum dan sosial sangat mengganggu struktur serta substansi dari sistem hukum secara keseluruhan.
Terkait masih tingginya korupsi di sektor politik, Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Bidang Pencegahan Ipi Maryati mengatakan, episentrum korupsi di Indonesia adalah masih lemahnya sistem politik, khususnya partai politik.
”Sistem politik yang ada saat ini menjadi iklim yang subur bagi tumbuh dan berkembangnya politik yang koruptif. KPK telah memberikan rekomendasi untuk perbaikan sistem politik, termasuk di dalamnya pembenahan partai politik,” kata Ipi.
Dari hasil studi dan penelitian KPK di sektor politik, KPK menyoroti masalah perekrutan dan kaderisasi yang harus diperbaiki. Terkait perekrutan, sebagian besar partai politik belum mempunyai prosedur perekrutan yang mapan dalam bentuk konsep maupun cara-cara pelaksanaannya. Terkait kaderisasi, sebagian partai belum memiliki standar kriteria dan penjenjangan kaderisasi yang kokoh.
Selain itu, partai politik masih menghadapi persoalan pendanaan. Sumber pendanaan konvensional seperti iuran anggota belum mampu menutup biaya kegiatan partai politik selama setahun. Akibatnya, partai politik mencari jalan lain untuk mendanai kegiatannya.
Untuk menghadapi persoalan pendanaan partai politik, KPK merekomendasikan untuk dibuat mekanisme yang memungkinkan mereka mendapatkan uang dari sumber lain. Negara memberikan bantuan pendanaan kepada partai politik yang memperoleh suara dalam pemilu. Sumber uang berasal dari APBN atau APBD.
Partai politik juga diperbolehkan menerima dana dari pihak ketiga, baik perorangan maupun badan. Meskipun demikian, tetap ada batasannya.
Pemerintah harus segera memperkuat legislasi pemberantasan korupsi dengan perbaikan UU Tipikor, UU Perampasan Aset, UU Pembatasan Transaksi Tunai, dan pengembalian semangat pada UU KPK lama.
Menurut Kurnia, untuk memperbaiki IPK Indonesia, pemerintah harus segera memperkuat legislasi pemberantasan korupsi dengan perbaikan UU Tipikor, UU Perampasan Aset, UU Pembatasan Transaksi Tunai, dan pengembalian semangat pada UU KPK lama. Kurnia berharap, para hakim Mahkamah Konstitusi menjadikan hasil IPK ini sebagai salah satu pertimbangan penting dalam memutuskan permohonan uji materi perubahan UU KPK.
Untuk mengatasi penurunan IPK ini, TII merekomendasikan agar pemerintah memperkuat peran dan fungsi lembaga pengawas, memastikan transparansi kontrak pengadaan, merawat demokrasi dan mempromosikan partisipasi warga di ruang publik, serta memublikasikan dan menjamin akses data yang relevan.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, ia tidak kaget atau keberatan dengan IPK Indonesia yang turun. Menurut Mahfud, persepsi itu bukan fakta. Persepsi adalah semacam kesan setelah orang melihat sesuatu. Karena itu, bagi pemerintah, hasil IPK yang dikeluarkan oleh TII tersebut diterima sebagai masukan yang baik untuk perbaikan.