Alexander Marwata: Meskipun Dinilai Tidak Baik, KPK Tetap Bekerja yang Terbaik
Berbagai sorotan mengiringi langkah pimpinan KPK periode 2019-2023 selama setahun terakhir. Berikut petikan wawancara membahas kinerja KPK setahun terakhir bersama Wakil Ketua KPK Alexander Marwata.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
Pada 20 Desember tahun lalu, lima unsur pimpinan dan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi 2019-2023 dilantik di Istana Negara, Jakarta. Berbagai sorotan dan kritik mengiringi langkah mereka dalam setahun ini seiring dengan adanya revisi Undang-Undang KPK.
Pada Kamis (17/12/2020), Kompas berbincang dengan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di Gedung KPK, Jakarta. Alex, yang menjadi unsur pimpinan KPK pada dua periode, menegaskan, KPK tetap bekerja meskipun banyak kritik dari masyarakat. Mereka tetap akan memberantas korupsi dengan fokus pada pengembalian kerugian negara. Berikut ini petikan wawancaranya:
Bagaimana tanggapan Anda terkait banyaknya sorotan negatif terhadap KPK di awal periode ini?
Rasa-rasanya sorotan terhadap pimpinan KPK selalu berulang setiap periode kepemimpinan yang baru. Dulu waktu saya di tahun 2016, saya dilantik pada periode pertama tanggal 20 Desember 2015. Sama juga isunya. Bahkan, sebelum dilantik pun ketika pada tahap pemilihan juga sudah mendapat perhatian masyarakat. Saya dulu dicap sebagai hakim yang prokoruptor karena saya sering membuat dissenting (pendapat berbeda).
Sekarang isunya kebetulan sorotannya ke Pak Firli (Ketua KPK Firli Bahuri). Yang lain juga disorot. Ini rasa-rasanya bagi kami, terutama bagi saya sendiri, salah satu bentuk perhatian dari masyarakat. Saya perhatikan suara masyarakat. Kita tetap bekerja. Kalau Pak Firli bilang, sekalipun kami dinilai tidak baik, kami akan tetap melakukan pekerjaan yang terbaik. Jadi, tidak usah panik.
Di awal tahun, KPK minim operasi tangkap tangan atau OTT, tetapi di bulan November hingga Desember gencar melakukan OTT. Apa yang terjadi?
Dulu saya di periode pertama langsung OTT. Kalau tidak salah tahun 2016 itu ada 18 OTT. Apakah sekarang kita berhenti melakukan OTT? Masyarakat melihatnya hanya itu. Ini, kok, kepemimpinan yang sekarang tidak ada OTT, apalagi dikaitkan dengan keberadaan Undang-Undang KPK yang baru dan keberadaan Dewas (Dewan Pengawas). Kecurigaan itu semakin kencang.
Berarti benar UU KPK ini melemahkan. Benar ini Dewas melemahkan. Padahal, senyatanya saya sampaikan di sini, tetap penyadapan kami lakukan. Sejak Januari, itu sudah kami lakukan. Dewas sangat responsif. Memang ada satu tahap berdasar undang-undang kalau penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan harus seizin Dewas, tapi waktunya dibatasi 1 kali 24 jam harus keluar.
Isu bahwa Dewas menghambat itu tidak betul. Terkait dengan OTT, kenapa tahun ini sedikit, OTT itu kan semua berdasarkan laporan informasi dari masyarakat. Kami menindaklanjuti apakah setiap laporan dari masyarakat selalu terbukti. Ternyata tidak. Kalau dalam proses penyadapan tidak ada komunikasi apa pun, sehingga kita tidak mendapatkan bukti adanya transaksi adanya penerimaan suap, ya otomatis kita hentikan penyelidikannya. Jadi tidak semua proses penyelidikan itu otomatis bisa naik ke penyidikan.
Bagaimana tanggapan Anda terkait dengan opini masyarakat yang menyatakan dua menteri yang terkena OTT berhubungan dengan politik?
KPK tidak pernah melihat tersangka itu dari partai apa pun. Karena laporan masyarakat tidak menyebutkan orang ini dari partai mana dan kita juga tidak peduli.
Bupati Kutai Timur Ismunandar dan Bupati Banggai Laut Wenny Bukamo diduga menggunakan uang suap untuk pilkada. Bagaimana Anda melihat fenomena ini?
Kami tidak lihat dia dari partai apa, tetapi dia menerima uang dari pengusaha, rekanan. Uang itu dalam rangka untuk pendanaan pilkada. Itu saja. Itu yang kami tindak. Tidak ada urusannya dengan partai A, B, C, D. Tidak ada urusannya. Saya pastikan itu. Makanya saya selalu sampaikan KPK itu tidak main politik.
Jika melihat kinerja satu tahun ini, hal apa yang bisa diambil untuk dijadikan fokus pada tiga tahun ke depan?
Arah penindakan, kami mendorong pengembalian kerugian negara. Arahnya ke sana. Artinya kami harus membangun kasus. Kami masih meyakini sebetulnya dalam proses pengadaan barang dan jasa, kepala daerah atau siapa pun kutipan-kutipan pada proses pengadaan barang dan jasa itu masih ada.
Kami melihat, mulai perencanaan bahkan korupsi itu dilakukan. Misalnya, penyaluran bansos (bantuan sosial) atau pengadaan APD (alat pelindung diri). Ini yang sudah kami tindak penyaluran bansos. Kenapa kami lebih fokus untuk mengungkap kasus-kasus yang berindikasi kerugian negara? Karena esensi dari pemberantasan korupsi salah satunya adalah mengembalikan kerugian keuangan negara.
Jadi pada tahun depan penindakan KPK akan lebih fokus pada upaya pengembalian aset itu?
Ya. Dan case building. Kami dorong ke sana. Tentu untuk itu kami harus siapkan SDM (sumber daya manusia) di penindakan. Jadi, mungkin ada satgas (satuan tugas) khusus yang menangani proses penyelidikan tertutup, tetapi lebih banyak satgas yang membangun kasus.
Banyak case building yang kami bangun bisa mengungkap kerugian sampai ratusan miliar. TPPU (tindak pidana pencucian uang) dan korporasi itu nanti juga akan kami dorong. Kami sudah membentuk satgas TPPU tahun ini dan berkoordinasi dengan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan).