Kader Partai Korupsi, Tidak Cukup lewat Proses Hukum
Setelah Menteri KKP Edhy Prabowo dari Gerindra ditangkap dalam dugaan korupsi ekspor benih lobster, kini Mensos Juliari P Batubara dari PDI-P serahkan diri karena ”fee” terkait bansos. Kader partai harus ambil hikmahnya.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kader partai politik yang menjadi menteri di kabinet kembali ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi. Setelah Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dari Gerindra ditangkap dalam dugaan korupsi terkait dengan ekspor benih lobster, kini Menteri Sosial Juliari P Batubara dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang ditangkap dalam dugaan korupsi atau penerimaan fee dari paket bantuan sosial pandemi Covid-19.
Sebelumnya, dua kader PDI-P yang menjadi kepala daerah juga ditangkap oleh KPK, yakni Wali Kota Cimahi Ajay Muhammad Priatna, dalam kasus pemberian izin pendirian rumah sakit (RS); serta Bupati Banggai Laut Wenny Bukamo dalam kasus dugaan suap untuk kepentingan kampanye Pilkada 2020. Keduanya juga sama-sama kader terbaik partai di tingkat lokal. Selain menduduki posisi kepala daerah, keduanya sama-sama Ketua Dewan Perwakilan Cabang (DPC) PDI-P di wilayah masing-masing.
Dalam kasus terbaru, Mensos Juliari P Batubara menyerahkan diri kepada KPK setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan korupsi bantuan sosial (bansos) penanganan Covid-19 untuk wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, tahun 2020. Juliari diduga menerima fee bansos sembako dua periode untuk keperluan pribadi. Sebelumnya, Juliari juga kader PDI-P yang menjadi anggota DPR.
Setelah Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dari Gerindra ditangkap dalam dugaan korupsi terkait dengan ekspor benih lobster, kini Menteri Sosial Juliari P Batubara dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang ditangkap dalam dugaan korupsi atau penerimaan fee dari paket bantuan sosial pandemi Covid-19.
Pelaksana tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri, Minggu pagi, mengatakan, Juliari telah menyerahkan diri ke KPK. ”Tersangka JBP (Juliari) menyerahkan diri ke KPK, hari Minggu, 6 Desember 2020 sekitar pukul 02.50 WIB, dini hari,” kata Ali. (Kompas.id, 6 Desember 2020).
Sebelumnya, Juliari ditetapkan sebagai tersangka setelah penangkapan terhadap sejumlah pegawai Kemensos. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kemensos Matheus Joko Santoso bersama PPK lainnya, Adi Wahyono, ditetapkan sebagai tersangka penerimaan fee (imbalan) dari setiap paket pekerjaan dalam pengadaan paket sembako untuk bansos dari Kemensos.
KPK menduga Matheus dan Adi menerima Rp 10.000 dari setiap paket sembako dengan nilai Rp 300.000 per paket bansis. Pada pelaksanaan paket bansos sembako periode pertama diduga ada penerimaan fee Rp 12 miliar. Matheus memberikan uang itu secara tunai kepada Juliari melalui Adi senilai Rp 8,2 miliar. Uang itu dikelola Eko dan Sekretaris di Kemensos Shelvy N, selaku orang kepercayaan Juliari. Uang itu akan dipergunakan untuk membayar berbagai keperluan pribadi Juliari. Untuk periode dua, fee yang terkumpul dari Oktober sampai Desember 2020 sekitar Rp 8,8 miliar yang juga diduga akan digunakan untuk keperluan Juliari.
Tantangan parpol
Penangkapan kader-kader parpol ini, menurut Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia (UI) Aditya Perdana, saat dihubungi terpisah, tidak cukup diserahkan kepada proses hukum. Sebab, penegak hukum telah melaksanakan tugasnya menangkap mereka. Namun, tantangan justru terletak pada pundak parpol. Parpol memiliki tanggung jawab untuk memberikan pendidikan dan memastikan kader-kader mereka tidak mengulangi perbuatan korup itu. Parpol harus membenahi sistem perekrutan selain juga karakter kadernya.
”Kita selama ini melihat penangkapan menteri, kepala daerah, yang semuanya berasal dari kader parpol itu sebagai hal yang biasa. Dibutuhkan upaya nyata dari parpol untuk mencegah perilaku koruptif ini berulang di antara kadernya. Tidak cukup hanya menyerahkannya kepada proses hukum atau memecat kadernya. Sebab, dengan hanya itu saja tidak cukup menimbulkan efek jera,” kata Aditya.
Upaya internal yang dapat dilakukan parpol, antara lain, dengan melakukan ”pembersihan” kepada jaringan kader terkait. Pembersihan itu untuk memastikan perantara korupsi dan orang-orang dekat kader yang korupsi itu dipecat dan dikeluarkan dari parpol.
”Saya yakin menteri maupun kepala daerah itu tidak bekerja sendiri. Kerap kali mereka dibantu orang dekatnya yang juga jaringan kader parpol. Sebab, semua orang sudah mafhum dan mengetahui posisi atau jabatan publik kerap kali menjadi sarana untuk mendulang uang bagi kelompok, jaringan di antara pelaku, termasuk pembiayaan untuk parpol,” katanya.
Untuk membersihkan partai, orang-orang yang termasuk di dalam jaringan yang merupakan kader atau simpatisan yang diduga berafiliasi terhadap parpol atau kelompok yang sama, menurut Aditya, harus pula disasar. Partai tidak cukup menyerahkan kepada proses penegakan hukum, tetapi harus ada upaya mitigasi di internal parpol sendiri.
Seluruh anggota dan kader partai agar benar-benar mengambil pelajaran dari apa yang terjadi.
Jadikan pelajaran antikorupsi
Terkait dengan kasus Juliari, Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto, Minggu, mengatakan, partainya mendukung sepenuhnya berbagai langkah pemberantasan korupsi, termasuk dalam bentuk operasi tangkap tangan yang secara simultan dilakukan oleh KPK.
”Partai menghormati seluruh proses hukum yang sedang berlangsung. Hukum adalah jalan peradaban untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Siapa pun wajib bekerja sama dengan upaya yang dilakukan oleh KPK tersebut,” katanya.
Terkait dengan kasus yang menimpa Juliari, Hasto mengatakan, partainya mengambil pelajaran atas apa yang telah terjadi. Partainya disebut terus berupaya membangun sistem pencegahan korupsi yang distemik, serta penegakan disiplin agar kejadian itu benar-benar menciptakan efek jera. ”Seluruh anggota dan kader partai agar benar-benar mengambil pelajaran dari apa yang terjadi,” katanya.
Di internal PDI-P sendiri, lanjut Hasto, penanaman sikap antikorupsi itu terus diingatkan oleh jajaran pimpinan PDI-P. Dalam berbagai kesempatan, termasuk sekolah partai bagi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri selalu mengingatkan kadernya untuk tidak menyalahgunakan kekuasaan, apalagi korupsi. Hal serupa juga disampaikan dalam forum resmi partai, seperti Rapat Kerja Nasional (Rakernas).
”Kami selalu tegaskan bahwa kekuasaan itu untuk rakyat. Partai melarang segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan, termasuk korupsi. Kalau sudah menyangkut hal tersebut, Ketua Umum PDI-P Ibu Megawati selalu memberikan arahan kepada kadernya yang punya jabatan politik untuk tidak melakukan penyalahgunaan kekuasan, tidak korupsi. Tertib hukum adalah wajib bagi wajah pemerintahan yang bersih, bebas dari korupsi,” ujarnya.
Dalam upaya membangun sistem antikorupsi itu, PDI-P dalam tiga kali sekolah calon kepala daerah terakhir selalu mengundang pembicara dari KPK. Hasto mengatakan, pelibatan narasumber dari KPK itu diharapkan dalam memberikan penekanan terkait pentingnya membangun kesadaran dan semangat antikorupsi tersebut.
Ketua Umum PDI-P Ibu Megawati selalu memberikan arahan kepada kadernya yang punya jabatan politik untuk tidak melakukan penyalahgunaan kekuasan, tidak korupsi. Tertib hukum adalah wajib bagi wajah pemerintahan yang bersih, bebas dari korupsi.
Sebelumnya, terkait dengan penangkapan Edhy Prabowo, Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani mengatakan, partainya menghargai proses hukum yang berjalan di KPK. ”Kami percaya sepenuhnya kepada KPK dalam menangani masalah ini. Persoalan ini akan ditangani secara transparan, secara baik, secara cepat, dan pada akhirnya masyarakat dapat mengetahui persoalan ini secara jelas duduk masalahnya,” kata Muzani.
Selain respons mitigasi dari internal parpol, Aditya mengatakan, Presiden Joko Widodo dalam waktu dekat sebaiknya segera melakukan perombakan kabinet (reshuffle). Perombakan ini penting untuk memastikan roda pemerintahan dapat dijalankan oleh menteri definitif, terutama karena ada dua menterinya yang ditangkap KPK.
”Ada kecenderungan pengganti menteri dari suatu parpol itu berasal dari partai yang sama. Sebab, seolah-olah posisi menteri itu sudah jatah partai tertentu tersebut. Ini bagian dari komitmen pemenangan pemilu lalu. Namun, kapasitas dan integritas sebaiknya juga menjadi pertimbangan utama presiden dalam memilih pembantunya,” ujar Aditya mengingatkan.