Kinerja penindakan KPK berdenyut kian kencang. Namun, hal itu belum mampu menghapus rapor merah yang diberikan publik kepada komisi antikorupsi pada tahun ini.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Denyut Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penindakan semakin kencang. Setelah menangkap Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, KPK mengamankan Wali Kota Cimahi, Jawa Barat, Ajay Muhammad Priatna pada Jumat (27/11/2020).
Penangkapan terhadap 10 orang, termasuk Ajay, dilakukan KPK dalam operasi tangkap tangan (OTT) di Bandung, Jawa Barat, sekitar pukul 10.40 WIB. Beberapa orang yang ditangkap KPK tersebut berasal dari pejabat Pemerintah Kota Cimahi dan swasta.
Ajay Muhammad Priatna diamankan KPK atas dugaan tindak pidana korupsi dalam proyek pengadaan pembangunan rumah sakit di Cimahi.
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, Ajay diamankan KPK atas dugaan tindak pidana korupsi dalam proyek pengadaan pembangunan rumah sakit di Cimahi. ”Turut diamankan dalam kegiatan tangkap tangan ini uang dalam pecahan rupiah sekitar Rp 425 juta dan dokumen keuangan dari pihak rumah sakit,” ujarnya.
Ali mengungkapkan, KPK masih memeriksa pihak-pihak yang diamankan. KPK memiliki waktu 1 kali 24 jam untuk menentukan sikap terhadap status para terperiksa.
Sekretaris Daerah Pemerintah Kota Cimahi Dikdik Suratno Nugrahawan menegaskan, korupsi yang dilakukan Ajay akan menjadi catatan bagi Pemkot Cimahi agar tidak terulang. Ajay merupakan wali kota ketiga Cimahi yang terjerat kasus korupsi. Sebelumnya ada Atty Suharti. Kasus Atty melibatkan suaminya yang juga wali kota Cimahi dua periode, 2002-2012, M Itoch Tohija.
Sebelum penangkapan ini, KPK menangkap Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo pada Rabu (25/11/2020). Edhy ditangkap terkait kasus dugaan suap perizinan budidaya lobster 2020.
KPK semakin berdenyut dengan adanya penangkapan terhadap Edhy dan OTT terhadap Ajay. Akan tetapi, menurut dia, KPK belum bisa dikatakan kuat dalam memberantas korupsi.
Pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar, mengakui, KPK semakin berdenyut dengan adanya penangkapan terhadap Edhy dan OTT terhadap Ajay. Akan tetapi, menurut dia, KPK belum bisa dikatakan kuat dalam memberantas korupsi. Sebab, KPK belum bisa mengungkap kejadian korupsi tersebut secara detail. Beberapa kasus yang ditangani, seperti penyuapan terhadap bekas anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan, yang dilakukan Harun Masiku hingga saat ini belum tuntas.
Selain mengungkap kasus, kata Zainal, KPK juga harus bisa membawa semua yang terungkap ke pertanggungjawaban hukum. Ia menegaskan, tingkat tertinggi KPK bisa dikatakan kuat ketika mampu melakukan perbaikan agar tidak terjadi lagi tindak pidana korupsi.
Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola, mengapresiasi apa yang dilakukan KPK dalam pekan ini. Namun, penangkapan dalam dua kasus ini belum cukup untuk menghapuskan nilai buruk publik pada kinerja penindakan KPK tahun ini.
”Kita perlu belajar, misalnya, dari OTT Rektor UNJ yang justru dilimpahkan ke kepolisian atau Harun Masiku yang masih buron hingga saat ini,” kata Alvin.
Terkait dengan dugaan korupsi yang dilakukan Ajay, Alvin mengatakan, korupsi yang dilakukan kepala daerah ada irisan dengan pemenangan pilkada. Seperti dalam kasus korupsi yang dilakukan Atty Suharti yang mengumpulkan uang untuk modal pilkada.
Menurut Alvin, kasus Ajay bukan hanya masalah individu seorang petahana, melainkan juga menegaskan ada masalah di partai politik yang gagal menjalankan proses kandidasi yang berkualitas.