Karangan Bunga, antara Simpati dan Pro-Kontra Peran TNI
Tak kurang dari 250 karangan bunga terpajang di luar Markas Kodam Jayakarta sejak Minggu hingga Rabu ini. Selain sebagai tanda dukungan dan simpati dari warga, langkah TNI menurunkan baliho juga dianggap kontroversi.
Dukungan masyarakat terhadap penjagaan ketertiban umum oleh Tentara Nasional Indonesia akhir-akhir ini terus mengalir sejak TNI menurunkan sejumlah baliho bergambar Rizieq Shihab di persimpangan-persimpangan jalan di Ibu Kota dan sekitarnya. Dukungan itu terlihat dari ratusan karangan atau papan bunga yang memadati area luar Markas Kodam Jaya, Jayakarta, di Jalan Mayjen Sutojo, Cawang, Jakarta Timur.
Tak kurang dari 250 papan karangan bunga memadati area luar Markas Kodam Jayakarta, Selasa (24/11/2020). Hingga Rabu (25/11/2020) siang, satu demi satu, karangan bunga masih terus berdatangan. Namun, di balik euforia dan simpati tersebut, ada pula yang menilai langkah TNI tersebut kontroversi. Hal itu karena ada yang menganggap langkah Kodam Jaya tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
”Terima Kasih kepada Bapak Pangdam Jayakarta. Berani Bertindak Tegas dengan Mempertaruhkan Reputasinya untuk Kepentingan Bangsa dan Negara” demikian bunyi pesan di karangan bunga yang dikirimkan dengan menyebut diri Silent Mayority.
Ada pula pesan yang berbunyi ”Terima Kasih Kodam Jaya atas Ketegasanmu Melawan Pemecah Bangsa” dari Komunitas Srikandi Indonesia. ”Keberanianmu Menggetarkan Hatiku. Tindak Tegas Terus Pelanggar Protokol Kesehatan dan Jaga NKRI Tetap Utuh” dari pihak lainnya yang menyebut Generasi Muda-Mudi Bangsa Indonesia.
Sebagian besar karangan bunga yang memenuhi halaman luar Makodam Jaya tampaknya ada yang dikirim secara berani oleh pihak-pihak yang memang bersimpati dengan langkah TNI. Sebut saja seperti yang dikirim Dr Richard H Pasaribu, B.SC, M.Sc, yang mengaku anggota DPD Kepulauan Riau. Atau karangan bunga yang dikirim PT Baladika Wahana Abditama Security Service (BWASS).
Juga karangan bunga yang dikirim dengan mengatasnamakan Projo Alumni SMA 9 Bandung. Pesan di karangan bunga ditulis dalam bahasa Sunda yang isinya memberi dukungan kepada Panglima Kodam Jaya untuk menertibkan baliho. Dari penelusuran Kompas, Dudung adalah Ketua Ikatan Alumni SMA 9 Bandung.
Baca juga : Karangan Bunga Dukung TNI
Sebaliknya, ada juga yang tampaknya tidak berani menyebutkan diri, tetapi mengirimkan karangan bunga sehingga anonim di karangan bunganya. Mungkin juga tak tertutup adanya pihak-pihak yang memobilisasi pengiriman karangan bunga. Misalnya, karangan bunga yang dikirim oleh mereka yang menyebut diri ”Warga yang Muak dengan Covid”, ”Kami Kaum Rebahan”, ”Silent Mayority”, hingga ”Warga Ujung Jakarta”.
Karena tugasnya sebagai kurir dan pengantar, Hasan tidak tahu siapa pengirimnya. Namun, tugasnya, setelah mengirim, ia memfoto dan memvideokan, dan selanjutnya mengirim ke customer service toko bunga yang menugasinya. Bukti unggahan foto dan video itu akan diteruskan kepada pengirim.
Berbagai motif pengiriman
Hasan, kurir karangan bunga yang berasal dari Irandra Florist, Cipayung, Jakarta Timur, mengatakan, dirinya sudah mengirimkan total tujuh papan bunga ke depan Makodam Jaya sejak Minggu, (22/11/2020). Harga papan bunga berukuran 120 sentimeter x 100 sentimeter itu Rp 400.000-Rp 500.000 dan berukuran 2 meter x 2 meter Rp 2,5 juta.
Karena tugasnya sebagai kurir dan pengantar, Hasan tidak tahu siapa pengirimnya. Namun, tugasnya, setelah mengirim, ia memfoto dan memvideokan, dan selanjutnya mengirim ke customer service toko bunga yang menugasinya. Bukti unggahan foto dan video itu akan diteruskan kepada pengirim.
”Ini memang beda dengan papan bunga untuk hajatan pernikahan atau duka cita kematian. Dari kemarin yang saya antar, rata-rata atas nama komunitas atau organisasi,” kata Hasan.
Yuli Romli, pedagang bunga di Pasar Rawa Belong, bercerita mendapat pesanan bunga via telepon untuk Kodam Jaya beberapa hari lalu. Pesanan ini dia peroleh dari pelanggan setianya yang ada di Bandung, Jawa Barat. ”Saya sudah kenal lama, sudah beberapa kali pesan bunga,” kata Yuli, tak mau menyebut nama pemesannya.
Ia mengatakan, walau sudah beberapa kali memesan bunganya, pelanggannya dari Bandung itu tak pernah memesan bunga lagi untuk keperluan politik dukung-mendukung seperti saat Basuki Tjahja Purnama (Ahok) pada 2017 dan Polri pada 2019.
Yuli juga mencatat, karangan bunga untuk Kodam Jaya yang kedua juga dipesan lewat telepon oleh pihak yang mengatasnamakan dirinya dokter. Yuli mengaku tak mengenal pemesan yang mengucapkan terima kasih kepada TNI dan Polri yang bertindak tegas. Bagi Yuli, karangan bunga dukungan politik tetap etis asalkan bahasanya juga santun dan tak menyerang siapa pun.
Mengatasnamakan organisasi dan komunitas
Di luar pengiriman yang resmi, tercatat pula beberapa yang dikirim dengan mengatasnamakan komunitas dan organisasi tertentu meskipun sebenarnya komunitas dan organisasinya tersebut sama sekali tidak mengirim karangan bunga. Di antaranya ada yang dikirim Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Komunitas Historia Indonesia (KHI).
Pendiri Komunitas Historia Indonesia (KHI), Asep Kambali, mengatakan, pihaknya kaget ketika ada foto yang memuat tentang kiriman bunga ke Makodam Jaya. Dia pun segera menelusuri ke komunitas, siapa yang mengirimkan bunga itu. Setelah dicek, ternyata tak satu pun anggota ataupun pengurus yang mengirim bunga. Dia menyayangkan pencatutan nama KHI tersebut.
”Kalau sikap saya secara pribadi, memang mendukung langkah yang dilakukan TNI dalam pencopotan baliho Pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab. Hal itu saya tunjukkan di Instagram. Tetapi, saya tak pernah mengatasnamakan KHI,” kata Asep. Ia berharap siapa pun yang mencatut nama KHI segera meminta maaf.
Selain KHI, organisasi lain yang dicatut adalah AMAN. Sekretaris AMAN Rukka Sombolingi mengatakan, pengurus besar AMAN tidak pernah mengirimkan karangan bunga tersebut. Pengurus akan menyelidiki perbuatan pihak tidak bertanggung jawab yang mencatut nama organisasi AMAN tersebut.
Melawan hukum
Peneliti Hubungan Sipil-Militer Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Moch Nurhasim, mengatakan, fenomena kiriman karangan bunga di Makodam Jaya merupakan bentuk anomali. Sebab, masyarakat seolah membenarkan tindakan melenceng dari TNI. Pencopotan baliho oleh TNI adalah bentuk penegakan hukum, tetapi dengan cara melawan hukum. Sesuai UU TNI, militer tidak boleh berhadapan langsung dengan sipil. Sebab, TNI adalah alat pertahanan negara yang digerakkan negara saat situasi perang.
Ini adalah cerminan masyarakat yang melihat inkonsistensi praktik hukum di Indonesia. Dengan adanya pembenaran dari masyarakat itu justru membuat substansi bahwa TNI melakukan tindakan yang bukan tupoksinya menjadi kabur.
”Ini adalah cerminan masyarakat yang melihat inkonsistensi praktik hukum di Indonesia. Dengan adanya pembenaran dari masyarakat itu justru membuat substansi bahwa TNI melakukan tindakan yang bukan tupoksinya menjadi kabur,” kata Nurhasim.
Dukungan dari masyarakat itu, kata Nurhasim seolah-olah menjadi pembenaran praktik menyimpang tupoksi dari TNI. Tindakan pencopotan baliho FPI oleh TNI melanggar UU TNI. Masalah ketertiban dan keamanan adalah tupoksi dari kepolisian. TNI tidak boleh masuk dalam ranah politik pemerintah, tetapi menjalankan politik negara. Tugas utama TNI adalah menjaga kesatuan, persatuan, dan keutuhan sebagai bangsa.
Hal senada disampaikan peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Nicky Fahrizal. Ia menyatakan, dukungan dari masyarakat terhadap TNI muncul karena ada disfungsi hukum yang tidak bisa diselesaikan oleh aparatur sipil penegak hukum. Disfungsi hukum yang terjadi dalam jangka waktu lama membuat masyarakat jengah. Ketika TNI mengambil alih peran tersebut kemudian menjadi terobosan atas aspirasi warga yang tidak tersalurkan. Masyarakat yang selama ini diam (silent majority) akhirnya memilih mendukung tindakan tersebut.
Namun, Nicky sendiri menilai, tindakan yang dilakukan TNI dalam hal ini berisiko tinggi dan merupakan penafsiran yang meluas dari operasi militer selain perang (OMSP). Menurut dia, dalam OMSP pun militer tidak bisa berhadapan langsung dengan masyarakat. Militer hanya dapat bergerak membantu pemda dan kepolisian. Hal itu sesuai Pasal 7 Ayat (2) Huruf b angka 9 serta Pasal 7 Ayat (2) Huruf b angka 10 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004.
Nicky mengingatkan, euforia dukungan masyarakat terhadap TNI dalam jangka pendek memang seolah menjadi tindakan heroik dan sesuai aspirasi yang terpendam. Namun, dalam jangka waktu panjang, hal itu berbahaya karena artinya TNI kembali terlibat dalam urusan sipil. Ini tidak bisa dibiarkan karena bertentangan dengan prinsip negara demokrasi yang jadi cita-cita dari reformasi.
"Apa yang dilakukan Pangdam Jaya tidak melanggar UU TNI. Dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 disebutkan bahwa salah satu tupoksi TNI adalah mempertahankan keutuhan wilayah NKRI dan melindungi segenap tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Kelompok yang mengatasnamakan politik identitas untuk memecah belah termasuk dalam ancaman keutuhan bangsa dan negara."
Melindungi NKRI
Sebaliknya, dosen politik Universitas Indonesia, Reni Suwarso, menyatakan, apa yang dilakukan Pangdam Jaya tidak melanggar UU TNI. Dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 disebutkan bahwa salah satu tupoksi TNI adalah mempertahankan keutuhan wilayah NKRI dan melindungi segenap tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Kelompok yang mengatasnamakan politik identitas untuk memecah belah termasuk dalam ancaman keutuhan bangsa dan negara.
Baca juga : Karangan Bunga di Mabes Polri
Terlebih, dalam baliho yang diturunkan Kodam Jaya terdapat pesan-pesan bernada teror yang mengancam keutuhan bangsa. Reni menyebut kalimat-kalimat bernada teror itu, seperti ”Ingin Menjadikan Indonesia seperti Perancis” dan ”Siap Penggal Kepala”. Teror tersebut, apalagi dilakukan pada saat masyarakat Indonesia yang masih bergelut dengan pandemi, sangat meresahkan masyarakat.
”Kelompok yang sejak Pilkada Jakarta 2017 sudah menebar kebencian dan memanipulasi agama untuk kepentingan politik sudah sangat meresahkan. Apabila itu mengancam dan mengganggu keutuhan bangsa dan negara memang perlu dilarang di Indonesia,” kata Reni, yang mengirimkan bunga ke Makodam Jaya atas nama perusahaan suaminya, PT Baladika Wahana Abditama Security Service (BWASS).
Menanggapi hal itu, Kepala Penerangan Kodam Jaya Letkol Herwin Budi Saputra mengatakan, pihaknya tidak tahu-menahu siapa yang mengirim bunga. Pasalnya, bunga-bunga itu dikirim berbagai elemen masyarakat. Detasemen markas hanya mendaftarkan dan menerima bunga yang masuk. Terkait pengirim bunga yang identitasnya tidak jelas, Herwin mengatakan itu terserah yang mengirimkan bunga.